Soca
•
•
Lantaran kesempatan hidup Nereid sangat tipis, bahkan tidak ada. Alepa lekas meminta salah satu penjaga untuk membuangnya.
Penjaga bertubuh tinggi besar meringis melihat makhluk yang tak bergerak penuh luka. Kotor, berantakan, dan bergelimang darah. Dirinya sudah sering melihat kondisi mengenaskan seseorang. Namun, tidak sememprihatinkan remaja itu.
"Buang anjing ini."
Si penjaga mengerjap, tersadar dari kengeriannya. "Baik."
Paliv keluar dari sel.
Pemilik arena hiburan paling besar di Soesa itu memandang penasihatnya. "Kenapa kau tidak meminta agar penyusup itu ditangkap hidup-hidup? Jika mati, kita tidak bisa mengorek informasi dari cecunguk itu bukan?"
Alepa menerawang lorong panjang di depan. "Meminta penyusup itu ditangkap hidup-hidup hanya akan membebani anak buahmu. Hidup atau mati tidak masalah. Jika dia berorganisasi, teman-temannya tidak akan tinggal diam. Bila dia bermain sendiri, toh pada akhirnya akan kita habisi juga."
Mengangguk kecil. Paliv maklum, tidak bertanya lebih jauh lagi.
Si penjaga bertubuh tinggi besar keluar dari sel sembari memanggul Nereid di pundaknya. Membungkuk hormat pada Paliv dan Alepa. Kemudian bertolak.
Di lorong, si penjaga berpapasan dengan Rallia yang tengah membawa nampan makanan. Tampak raut gadis kurus itu terkejut setengah mati. Kondisi Nereid jauh lebih mengenaskan dari yang dilihatnya terakhir kali. Takut-takut gadis itu pun bertanya, "Tuan, apa yang terjadi? Tuan Nereid mau dibawa ke mana?"
"Pembuangan mayat." Si penjaga menjawab sembari berlalu tak acuh.
"P-pembuangan mayat?" Rallia bergetar ketakutan.
Selama ini, Rallia memiliki perhatian lebih terhadap Nereid daripada petarung Paliv yang lain. Mungkin, lantaran usia mereka sepantaran. Juga karena di antara semua budak petarung, Nereid-lah yang paling kasihan nasibnya.
Entah. Yang pasti bukan karena suatu perasaan cinta atau semacamnya. Sebab, seorang budak tidak memiliki waktu berfantasi perihal manisnya cinta. Lewat lama, Rallia masih saja mencangah. Menampilkan raut gelisah.
Aroma busuk bercampur anyir menyengat, diliputi aura yang suram. Inilah tempat pembuangan mayat. Tubuh Nereid dilempar pada gerobak berisikan tumpukan jasad yang sebagian tengah mengalami pembusukan.
Rallia yang nekat mengintil hampir tidak dapat menahan diri. Ingin muntah. Ia Bersembunyi di balik lemari alat-alat.
Beberapa orang berdatangan melempar mayat-mayat ke gerobak. Termasuk ke gerobak yang mana Nereid berada di dalamnya. Saat menjelang dini hari, mayat yang terkumpul sudah mencapai enam gerobak.
Seorang pria kekar berkepala botak datang. Merakit keenam gerobak menjadi satu kesatuan. Dihubungkan dengan enam ekor sekaligus. Pria botak itu merupakan seorang kusir. Bertugas membuang mayat bilamana keenam gerobak telah terisi penuh.
Suara tapal kuda membuhul dalam keheningan gulita. Di kejauhan, burung hantu meratap pilu. Dari hutan, samar suara lolongan serigala menambah angker suasana. Purnama di langit mencorong seperti sengit mengawasi.
Kusir berkepala botak menghentikan laju kuda di sebuah jembatan kayu──yang tak memiliki pembatas atau langkan──di kedua sisinya. Arus sungai sangat deras. Suara derunya menggema di udara. Bertempiar bersama angin malam yang dingin menghunjam.
Si kusir melepas tali yang menghubungkan gerobak dengan kuda. Menendang satu persatu gerobak hingga jatuh ke sungai. Suara jebur nyaring menggema ke mana-mana. Mengagetkan burung-burung yang tengah tertidur. Beterbangan.
Setelah semua gerobak dihanyutkan. Si kusir berkepala botak lantas bergegas pergi.
Tanpa diketahui siapa pun. Tadi, Rallia diam-diam menyelinap ke dalam gerobak. Sekarang, tubuhnya ikut mencebur ke dalam sungai. Gelap dan dingin. Ia berusaha mencari tubuh Nereid di antara mayat-mayat yang melayang dan hanyut.
Lantaran gelap, sulit membedakan tubuh satu dengan yang lainnya. Rallia hampir merasa putus asa. Ditambah, arus sungai benar-benar deras. Tubuhnya mulai mengalami kelelahan. Namun, di saat ia hampir menyerah. Tiba-tiba dari permukaan air melesat sebuah anak panah bercahaya kebiru-biruan.
Ajaibnya, cahaya dari panah itu menyebar. Menerangi seisi sungai.
Rallia tertegun kagum. Saat tersadar, seseorang telah membantunya naik ke permukaan. Tidak tahu siapa.
Begitu sampai di hilir, Rallia mendapati Nereid telah ada di sana. Seorang pemuda berambut cokelat tengah memeriksanya.
Altair Asael, pemuda itu memiliki bola mata berwarna biru secerah segara di bawah purnama. Menawan. Allera Costel, wanita muda bertubuh ramping. Memiliki rambut legam dan panjang. Berparas cantik. Bola matanya berwarna keunguan.
"Bagaimana keadaan Nier?" Allera menatap cemas.
"Cederanya terlalu parah." Altair balas menatap. Mata birunya melindap. "Melihat kondisinya, aku khawatir Nier tidak akan bisa disela──"
"Kita akan menyelamatkannya!" Allera menukas tegas.
Termangu beberapa waktu. Altair akhirnya mengangguk setuju. "Kalau begitu, lebih baik kita cepat-cepat pergi. Membawa Nier ke tempat yang lebih layak dan mengobatinya."
Begitu usai mengucap, Altair langsung menempatkan Nier di punggungnya. Bersiap untuk pergi.
Melihat hal itu Rallia buru-buru berkata, "T-tuan, izinkan aku untuk ikut."
Bukannya menjawab, Altair malah menatap Allera. Katanya, "Sebaiknya kau putuskan dengan cepat. kita harus buru-buru menolong Nier."
Berbalik, Altair mencelat ke udara. Menapak pada dahan pohon terdekat dan pergi. Dalam sekejap sudah hilang menyatu dengan kegelapan malam.
Allera memerhatikan Rallia dengan saksama. Kumal, lusuh, juga rudin. Benar-benar memprihatinkan.
Berjongkok. Allera menoleh. "Kau cepatlah naik ke punggungku!"
Meski canggung, Rallia menurut. Walau bagaimana, ia ingin tahu kondisi Nereid.
Bersambung ....