Soca
(Mata yang Tak Bisa Melihat)
•
•
Deildra merupakan siswa dari Aaron Costel. Jadi, Rigel dan Altair masih memiliki benang merah, menilik dari asal usul guru masing-masing. Lebih sederhananya, Altair dan Nereid adalah adik seperguruan Deildra.
"Jika kau memaksa ingin membunuh Nier, berarti kau sedang mencoba membunuh adik seperguruan Deildra, gurumu sendiri. Yakin, masih ingin bersikeras?" Altair merapikan berbagai perkamen ke dalam ransel kulit.
Mengesah, Rigel tak menjawab. Manik keemasannya menatap datar Nereid yang tengah dipakaikan mantel bulu tebal oleh Allera. Rigel yakin, malam itu sudah mengoyak leher Nereid dengan belatinya. Namun, kenapa tidak mati? Saman sekalipun kalau tenggorokannya dihunjam secara langsung pasti akan mati.
"Jika tidak memiliki urusan lainnya lagi, kami akan segera pergi."
Mengerjap, suara Altair berhasil membuat Rigel terbangun dari lamunan. "Ke mana kau akan membawanya?"
"Rohellio," jawab Altair, singkat.
Allera sudah selesai memakaikan mantel, gadis itu pun lekas berbenah. Merapikan pelbagai obat-obatan yang berserakan ke dalam kotak berukuran sedang. Membungkus kotak obat dengan kain berwarna cokelat pudar lalu dimasukkan ke dalam ransel.
Dari arah belakang, Rallia telah mengganti pakaiannya, menghampiri. Ia menganakkan baju Allera, terlihat agak kebesaran.
Allera memiliki postur tinggi juga berisi, sedangkan Rallia cenderung pendek juga kurus.
"Seharusnya tadi aku menyuruhmu membeli baju sekalian." Allera memperhatikan gadis kurus yang kini berdiri di dekatnya.
"Terima kasih, sudah meminjamkanku pakaian ini." Rallia tampak canggung dan tak enak hati. Merasa terus merepotkan orang yang baru dikenalnya.
"Bukan masalah, tidak usah sesungkan itu." Allera tersenyum diiringi tawa kecil.
"Kita berangkat sekarang?" Altair membawa Nereid di punggungnya, sementara tas ransel ditaruh di depan.
Allera menyerahkan sejumlah uang pada Rallia. "Ambillah. Pergilah sejauh mungkin dari sini dan mulailah kehidupanmu yang baru." Setelah itu, ia lekas mengambil ransel dan menyusul Altair meninggalkan ruangan.
Di luar, ringkik kuda merebak nyaring, disusul oleh suara tapalnya yang tak kalah bising. Altair dan Allera bertolak menjauh. Lewat beberapa saat, suasana pun kembali hening. Menyisakan senyap yang merayap membawa cekam.
Menghela napas, Rigel melirik ke arah gadis kurus yang masih membeku di tempatnya.
Rallia menatap hampa dan bingung. Tidak tahu mau ke mana atau apa yang harus di lakukan. Tidak memiliki rumah untuk kembali. Tidak ada sanak saudara yang bisa dijadikan sandaran. Juga, tidak terlalu mengenal dunia luar.
"Ke mana kau akan pergi?" Rigel berbasa-basi.
"Aku tidak tahu ...." Rallia menunduk, menjawab sejujurnya. Ia memang kebingungan harus pergi ke mana. Mustahil bila kembali pada keluarga yang telah menjualnya sebagai budak.
"Kau, apa kau tahu sesuatu tentang pria bernama Nereid itu?" Rigel berjalan mendekati.
"A-aku tidak tahu."
Sudut mata Rallia melirik ke arah pemuda berambut pirang yang baru saja duduk di kursi. Ada semacam ketakutan atau perasaan tak nyaman di dalam dirinya. Mungkin, lantaran mereka masih asing satu sama lain.
"Hmm, tadi dia dibaringkan di sini. Aroma darahnya masih tercium kentara, aura gelap dalam darahnya ikut tertinggal. Aku bisa merasakan itu." Jari-jemari Rigel mengusap darah yang tercecer di sofa, mengendus pelan.
Rallia tidak paham dengan apa yang diucapkan Rigel, ia pun tidak mengatakan apa-apa. Toh, ada hal lebih penting yang harus dipikirkan, yaitu keberlangsungan hidupnya sendiri. Meskipun begitu, ia bisa merasa sedikit lega saat ini. Sebab, Nereid telah berada di tangan yang aman.
Entah kenapa, Rallia merasa turut bahagia bila Nereid baik-baik saja.
Dari kejauhan, terdengar suara gaduh tapal kuda mendekat. Sontak mengagetkan Rigel dan Rallia yang sama-sama tengah tercenung di atas pikiran masing-masing. Keduanya hampir memiliki pertanyaan serupa; apa mungkin Allera dan Altair kembali? kenapa mereka kembali?
Rigel yang pertama bergerak menuju kaca di sisi pintu. Melongok dari celah kayu yang sudah tidak ada kacanya. Kedua matanya langsung terbelalak. Segerombolan orang berseragam hitam menunggangi kuda sedang mendekat menuju ke arahnya.
"Sebaiknya kita lekas pergi dari sini!" Rigel berbalik cepat. Menatap Rallia yang masih saja membeku di pijakannya.
Walaupun sepenuhnya sadar bahwa gerombolan orang di luar sana itu mengejar dirinya, bukan Rallia. Namun, Rigel juga tahu, kalau sampai anak buah Paliv Kliros menemukan Rallia, nyawa gadis itu pun tidak akan aman. Sebab, hukuman untuk budak yang melarikan diri tidak lain dari kematian atau penggal kepala.
Rigel memang tidak tahu kenapa Rallia melarikan diri. Namun, satu hal yang pasti, tidak ada manusia yang memiliki cita-cita dirinya menjadi budak.
"Kenapa?" tanya Rallia bingung.
"Sudahlah! Nanti kujelaskan!" Rigel mencengkeram pergelangan tangan gadis kurus itu kemudian menyeretnya pergi, tergesa-gesa.
Sementara itu, gerombolan orang berseragam hitam sampai di halaman rumah. Mereka dipimpin oleh seorang pria berambut gimbal, memiliki bertubuh besar dan berotot. Kumis pria itu sangat lebat juga panjang, cambangnya pun kian rimbun.
Si pria berambut gimbal menginstruksikan anak buahnya supaya masuk mendobrak pintu. Dalam sekejap, pintu usang pun terlempar dari tempatnya. Orang-orang berseragam hitam berhamburan memasuki rumah, menggeledah tiap-tiap sudut.
Berbeda dengan yang lainnya, si pria berambut gimbal cenderung melenggang santai. Matanya memendar menyapu ruangan. Mencoba mencari sesuatu yang janggal atau sebuah informasi yang tertinggal.
Jari-jemari si pria berambut gimbal menyusuri kursi panjang yang sudah usang. Ada bercak darah berceceran di sana. Ia mengendus dan roman wajahnya sedikit berubah. Sekelumit senyum tercipta di dua baris bibirnya.
Tak lama, orang-orang berseragam hitam yang tadi berhamburan menggeledah kembali semua. Berkumpul di ruang paling depan, di mana si pria berambut gimbal berada.
"Tuan Bagad, kami menemukan ini." Salah satu dari orang berseragam hitam menyerahkan pakaian lusuh.
"Bukankah ini pakaian budak?" Bagad atau si pria berambut ikal mengamat-amati pakaian lusuh dan meraihnya.
"Malam kemarin, seorang budak wanita yang bernama Rallia melarikan diri. Mungkin saja budak itu masih ada hubungannya dengan pemuda pirang yang di waktu bersamaan menyusup," jelas salah pria cungkring .
"Hmmm, menarik. Namun, aku memiliki sesuatu yang jauh lebih menarik lagi." Bagad kembali mengendus darah yang menempel di jari-jemarinya yang sebagian dipakaikan cincin-cincin emas berukuran besar.
Berjongkok, pria berambut gimbal itu mengelus dua serigala yang masing-masing lehernya dibelenggu dengan rantai. Ia mengeluarkan dua uang kertas dan membiarkan kedua serigala mengendusnya——uang itu sebelumnya milik Rigel, sehingga bau pemuda itu masih tertinggal di sana.
"Kalian semua lanjutkan mengejar si penyusup!" Bagad bangkit berdiri. "Aku harus kembali dulu untuk melaporkan sebuah kabar penting."
"Baik!" Orang-orang berseragam hitam berhamburan ke luar. Tak lama kemudian suara ringkikkan kuda menguar nyaring diikuti tapalnya yang bising.
Sementara itu, Bagad pun lekas bertolak. Hanya saja jalan yang diambilnya berlawanan dengan anak buahnya. Entah informasi penting apa yang diperoleh, hingga harus lepas tangan atas anak buahnya demi untuk buru-buru menyampaikan kabar pentingnya.
Sepenting itukah kabar itu?
<>
Di atap rumah, Rigel melompat dari satu genteng ke genteng lainnya dengan Rallia berada di punggungnya. Walaupun begitu, gerakannya tetap gesit juga lincah. Tidak nampak bahwa dirinya tengah membawa beban.
Meski canggung, Rallia terpaksa mengeratkan kedua tangannya pada tubuh Rigel. Ini merupakan kali pertama ia dibawa melompat-lompat di ketinggian. Sangat mengerikan. Tiap kali tubuhnya dibawa melompat, jantungnya juga ikut melompat. Bayangan-bayangan jatuh terus menghantui. Rallia sampai harus menggigit bibir supaya tidak berteriak histeris.
"Jangan takut, aku tidak akan membiarkanmu jatuh!" Rigel memiliki kepekaan tinggi. Sekalipun tidak melihat secara langsung bagaimana kondisi gadis di punggungnya. Namun, ia mampu menebak bahwa gadis itu tengah ketakutan. Dan memang benar.
Rallia tidak mengatakan apa-apa. Ia memberanikan diri membuka mata lantaran Rigel berbicara padanya. Begitu matanya terbuka, ia tidak tahan untuk melihat ke bawah. Namun, pemandangan di bawah sana justru sangat mengerikan. Tidak, bukan karena tanah berbatu yang membuat orang takut jatuh. Melainkan gerombolan orang berseragam hitam tengah mengejar dengan anak-anak panah yang siap diluncurkan.
Tiap-tiap satu ekor kuda ditunggangi dua orang. Satu orang bertugas mengendalikan laju kuda, sedangkan satu lainnya berdiri sembari memegang busur. Orang-orang yang berdiri sembari siap melayangkan anak panah itu tentu bukan sembarang orang. Mereka sudah menjalani latihan keras sampai bisa mencapai keseimbangan sedemikian luar biasa stabil.
Suara deru angin bersiuran saat anak-anak panah di luncurkan pada satu titik yang seragam, yakni Rigel sebagai objek panahan.
Kecepatan melompat Rigel meningkat berlipat-lipat untuk menghindari serangan anak panah. Terkadang tubuhnya berkelit pada sisi cerobong asap. Namun, serangan anak panah tak kunjung reda, malah semakin gencar.
Terpaksa, Rigel menciptakan pedang aura untuk menghalau anak-anak panah di sekitarnya. Satu tangan digunakan untuk menahan tubuh Rallia, satunya lagi memainkan pedang.
Mendapati serangan menggunakan anak panah tidak cukup membuahkan hasil. Orang-orang berseragam hitam yang tadi berdiri di atas kuda mulai melompat ke atas genteng, berusaha mendekati Rigel. Beberapa dari mereka masih memanahi, sebagian telah mencabut pedang dari sarungnya.
Dalam beberapa saat, orang-orang berseragam hitam itu telah mampu mengejar Rigel dan mulai terlibat pertarungan satu lawan beberapa orang.
Dari jarak agak jauh, salah seorang berseragam hitam terdiam sembari mengarahkan anak panahnya. Kedua matanya menyipit hingga selewat terlihat seperti merem. Pandangannya fokus pada kedua kaki Rigel yang bergerak-gerak bersama beberapa kaki rekannya——orang-orang berseragam hitam yang tengah mengeroyok Rigel.
Siur, anak panah dilepaskan.
Anak panah melesat menembus angin, melewati kaki yang dibalut kain hitam, kemudian menancap tepat di betis Rigel. Anak panah menancap hingga hanya tersisa setengah, sebagian lagi menyembul di bagian depan betis.
Rigel kehilangan keseimbangan, tubuhnya jatuh bergulingan di genteng dan berakhir dengan bergedebug di lantai batako. Rallia terlempar beberapa meter. Orang-orang berseragam hitam langsung mengepungnya dari berbagai arah.
Rallia beringsut merapatkan dirinya ke tembok, sedangkan Rigel yang berdiri di depannya dikepung oleh orang-orang berseragam hitam.
"Sudahlah! Menyerah saja, setidaknya kau masih bisa hidup beberapa saat lagi. Hahaha ...," ejek salah satu orang berseragam hitam.
Rigel mengabaikan ejekan itu, matanya berkeliling mengamati satu-satu orang yang mengepungnya. Lalu, tanpa banyak bicara tubuhnya tiba-tiba saja melesat bagai kilat. Salah satu orang berseragam hitam langsung jatuh dengan leher menganga lebar, darah berhamburan keluar dari mulut luka di lehernya itu.
Orang-orang berseragam hitam lainnya tergemap bukan main. Perasaan ngeri mulai terasa dingin menyelinap ke dalam jiwa mereka.
Tampaknya kali ini Rigel tidak main-main lagi, sekali tubuhnya berkelebat satu orang berseragam hitam pasti tumbang menjadi mayat. Meskipun mereka berusaha melawan, menangkis, membokong, tetap saja berakhir bersimbah darah.
Dalam waktu singkat, semua pengeroyok telah berubah menjadi mayat.
"Ayo pergi!" Rigel menarik tangan Rallia.
Memang benar, Rallia sudah tidak asing lagi melihat darah. Namun, melihat orang tersambit, mengejang, sekarat di depan matanya secara langsung. Tetap membuatnya syok, gemetar ketakutan hingga membuatnya sulit berpikir secara normal.
Rigel menendang salah satu orang berseragam hitam dari atas kuda dan mengambil alih posisinya. Dengan ringan pula ia menarik lengan Rallia serta mengangkat tubuh mungil gadis itu ke atas kuda. Menempatkannya di depan.
Rallia merasa canggung sekaligus gugup sendiri, sebab kedua lengan Rigel seperti tengah memeluk tubuhnya. Padahal, ia tahu benar bahwa pria pirang itu tidak bermaksud demikian. Rigel mengendalikan tali kekang, tentu saja posisinya begitu. Seperti memeluk orang di depannya.
Orang-orang berseragam hitam yang selamat berkumpul mengamati rekan-rekannya yang telah menjadi mayat. Mendapati rekan-rekannya tewas mengenaskan, tak ayal nyali pun menjadi ciut. Oleh karena itu, mereka pun pasrah membiarkan sang buruan melarikan diri.
Bersambung ....
Catatan:
Altair Asael
Altair: Altair adalah bintang tercerah di rasi Aquila, bintang tercerah keduabelas di langit malam. Bintang ini berada pada kategori tipe A dengan magnitudo 0.76. Altair berputar sangat cepat dengan kecepatan 286 km / detik.