WebNovelJANJI89.12%

Serangan fajar

"dia baik, hanya ada sedikit berita baik juga berita buruk" jawab meri.

Ilham tidak banyak menanggapi masalah keluarga meri mengingat saat ini bukan hanya mereka berdua.

Matahari semakin tenggelam dan kembali ke peraduannya dengan memancarkan warna jingga yang semakin lama semakin menakjubkan. Tatapan penuh kekaguman muncul dari semua mata yang tahu betapa estetika itu tidak dapat di acuhkan.

Perlahan berubah semakin kelam hingga hanya akan muncul siluet hitam di hadapan mereka.

Saat orang lain merasa terpana dengan keindahan matahari terbenam itu, andre justru terpana dengan tatapan mata jernih meri. Wanita itu seperti tak memiliki beban di pundaknya. Hanya beberapa kali andre melihat tatapan ini saat mereka bersama.

Masalah tak berhenti mepanda rumah tangganya kala iyu, hingga mereka hampir lupa cara tersenyum lepas. Saat gelombang masalah itu reda, orang yang berada di samping meri justru sudah berganti.

Tapi itulah masalalu yang tidak akan bisa ia ubah. Sekarang fokusnya hanya membuka hati untuk clara sebisa mungkin.

Entah mengapa, melihat ilham merangkul pinggul meri sambil berdiri di pagar tower itu andre masih merasakan sakit di hatinya. Penyesalan selalu muncul belakangan. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini.

"apa kau bahagia?"

Mendengar pertanyaan itu, meri berpikir bahwa ia mendengar ilham yang menanyakan hal itu. Tapi saat ia melihat kenyataan ternyata andrelah yang bertanya.

"Mmm, sangat" jawab meri kemudian kembali menatap ke arah suaminya.

"sudah malam, kita harus cepat pulang" kata ilham.

Ia baru ingat meninggalkan junior di rumah. Anaknya itu pasti akan marah di tinggal selama ini. Terlebih lagi, ia melewatkan waktu bermain game bersama putranya itu.

Dengan wajah khawatir, ilham menuntun meri untuk turun dan masuk ke mobil dengan sangat hati-hati.

"ada apa dengan ekspresimu?" meri merasa ada yang aneh.

"junior sendiri di rumah" jawab ilham.

"dia di temani pengurus rumah dan penjaga. Mengapa kau khawatir begitu"

Di perjalanan meri terus saja mengajak suaminya itu berbicara tapi suaminya itu hampir tidak menanggapi. Dia hanya fokus untuk menyetir dengan cepat.

Tiba di rumah, ilham segera turun dengan terburu-buru tapi tetap tidak melupakan untuk membukakan pintu untuk istrinya. Di dalam rumah, ilham segera berlari ke kamarnya.

"hei, kamar junior di lantai dua" teriak meri merasa keheranan dengan sikap suaminya itu. "ada apa dengannya? Tadi dia mengatakan ingin menemui junior, sekarang justru berlari ke kamar sendiri"

Meri terus menereka-nerka sikap suaminya hingga ia tiba di pintu kamarnya. Mendengar suara dari dalam kamar mandi, tawa meri seketika lepas.

"hahaha, aku lupa tadi ia ingin ke toilet tapi aku menahannya"

Tawanya tak berhenti hingga ilham keluar dari kamar mandi sambil merapikan pakaiannya.

"apa junior bersembunyi di kamar mandi kita?" goda meri.

"kau terlihat sangat senang" ilham membalas dengan senyum tak kalah licik.

Dengan satu gerakan tak berarti, meri terhempas di kasur dengan ilham yang menindihnya. Pandangan mereka bertemu dan terkunci satu sama lain.

Seakan sudah lama menantikan hal ini, meri tidak menolak sama sekali. Ia justru menyambut suaminya dengan lebih agresif. Tidak tahu apa yang ia lakukan, ilham yang tadinya bersemangat kini justru menjadi gusar melihat tingkah istrinya yang terlalu liar.

"hati-hati" ujar ilham mengingatkan istrinya.

Alis yang tadinyaterkesan menantang dengan semangat kini melengkung turun seakan kehilangan sesuatu.

Tubuh ilham tersingkir ke samping tanpa aba-aba. Meri berdiri berlari ke kamar mandi.

Ilham yang kali ini merasa di gantung memperhatikan kepergian istrinya itu dari arena. Tadi sore sangat jelas meri yang menginginkannya, sekarang istrinya itu berhenti saat permainan baru mencapai tahap pemanasan.

"apa dia membalasku?" batin ilham.

Pintu kamar mandi perlahan terbuka dengan meri yang menggunakan handuknya. Rambutnya tergerai basah dan kulit putih itu masih tampak basah.

"apa yang kau lihat? Cepat mandi, kita belum shalat magrib" meri berbicara setengah berteriak.

Ilham segera masuk kamar mandi dan tak berselang lama keluar dengan pakaian tergulung dan kepala sedikit basah.

"kau tidak mandi?" tanya meri.

"waktu magrib hampir habis, lagipula untuk apa aku mandi. Milikku bahkan belum menyentuh milikmu sedikitpun"

Dengan gontai, ilham melangkah ke lemari mengambil sajadah untuknya dan untuk istrinya.

Meri dengan fokus mengikuti semua gerakan suaminya yang menjadi imam shalatnya.

Perasaan damai seperti saat ini belum pernah ia rasakan bahkan setelah 27 tahun ia hidup. Hanya saat ini, bersama suami yang tidak hanya menuntunnya di dunia tapi juga membimbingnya untuk kebahagiaan akhiratnya.

Sebagai putri yang terlahir dari keluarga pebisnis dan besar di negara barat yang mayoritas berkeyakinan berbeda, meri hampir tidak pernah melaksanakan kewajibannya. Bahkan tidak pula bersama keluarganya.

Ia cukup beruntung hari seperti ini tiba walau sebelumnya emosi dan airmatanya terurai habis karena masalah rumah tangganya.

Menikah tanpa restu, hamil tanpa suami di sisinya, pertempuran dengan mertuanya, hilang ingatan, kehilangan satu orang putra, bercerai hingga memenjarakan suami sendiri. Hari bahagia akhirnya datang.

Di setiap doanya, meri selalu meminta gar kebahagiaan ini tidak akan berakhir hingga maut yang memutusnya. Dan di setiap doanya, ilham meminta agar setiap keinginan istrinya terwujud.

Secara tidak langsung, mereka medoakan satu hal yang sama yaitu kebahagiaan rumah tangga mereka.

Di tempat lain, rido sedang kalut bersama tumpukan berkas di hadapannya. Ia seperti ingin berteriak memaki bawahannya yang tidak berguna hingga memaksa ia selalu turun tangan.

Laporan di hadapannya menunggu untuk di analisi. Kepalanya hampir pecah karena berpikir keras. Sejak kecil ia menolak sekolah formal karena tak ingin banyak berpikir tapi sekarang ia justru menyesali hal itu.

"sayang, kau belum tidur" syasya dengan mesra merangkul suaminya yang masih duduk di depan meja kerjanya.

"kau istirahatlah lebih dulu. Aku akan menyusul kalau sudah selesai"

"aku tidak bisa tidur sendiri" keluh syasya manja.

Rido menarik istrinya untuk duduk di pangkuannya. Dia dengan lembut membelai wajah istrinya yang semakin hari tampak semakin menggemaskan.

"ada apa? Apa perutmu sakit?" tanya rido.

Syasya menggelengkan kepalanya.

"kau mengingikan sesuatu?" tanya rido lagi.

Kali ini syasya menganggukkan kepalanya dengan senyum mengembang indah di bibirnya yang seksi. Bibir sedikit tebal dan terbelah dengan indah itu selalu mampu menarik minat pria lain untuk menciumnya.

"katakan apa yang kau inginkan?"

"aku menginginkanmu, tadi aku sudah mengeluhkan hal ini pada adik kesayanganmu itu" ujar syasya dengan wajah di buat sebal.

Rido mengerutkan alisnya tak percaya istrinya mengadu pada adiknya dan bukan pada ibunya.

"apa kau memberitahu bahwa saat ini kau sedang hamil?" tanya rido.

"Mmm, ini berita baik jadi untuk apa menyembunyikannya. Aku juga berencana memberitahu ibu besok"

"hahaha, kau tidak perlu melakukannya, meri akan melakukannya untuk kita. Kau baru saja memberi tahu seorang reporter penyebar berita. Lihat saja, besok apa yang akan terjadi pada kita"

Benar saja, ke esokan harinya ibu rido beserta keluarga yang lain datang dengan puluhan hadiah memenuhi ruang tamu rumah mereka.

Sejak menikah, rido memutuskan untuk tidak tinggal bersama ibunya. Kakak sulungnya beserta anak istrinya tinggal di rumah orang tuanya jadi ia merasa akan sangat tinggi kemungkinan mereka bertentangan jika mereka berkumpul dalam satu rumah.

Rumah yang ia tempati bersama istrinya sangat sederhana jika di bandingkan dengan rumah keluarganya. Rumah itu terdiri dari dua lantai dengan tiga kamar dan satu ruang kerja. Hanya ada kolam renang dan tidak ada fasilitas lain.

Rido merupakan pebisnis yang tidak seberhasil ilham. Karena itu, ia masih belum bisa memberikan sebuah istana megah untuk keluarga kecilnya. Selain itu, ia juga tidak ingin bergantung pada ayah dan ibunya.

"kalian tidak memberitahu ibu dan justru memberi tahu meri lebih dulu" ocehan ibu meri mulai terdengar panjang lebar memenuhi seisi ruangan.

"ibu, kami baru akan memberi tahu ibu hari ini" kilah rido.

Di dalam hatinya ia mengomeli adiknya yang tidak bisa menyimpan rahasia. Ia berniat menjadikan kehamilan syasya sebagai kado ulang tahun pernikahan ibu dan ayahnya yang akan di gelar satu bulan ke depan.

Sekarang semua rencananya gagal total. Ia jadi harus memikirkan kado lain yang harus ia berikan.

Telfonnya berdering dan melihat meri yang menelfon. Pucuk di cinta ulampun tiba, ia sejak tadi ingin menelfon adik lesayangannya itu.

📞"kakak, apa kalian baik-baik saja?" goda meri

Ia sudah bisa menebak ibunya akan memarahi kakaknya itu karena merahasiakan hal penting ini. Terlebih, kakaknya itu akan di marahi karena meri juga memberitahu bagaimana kakaknya itu mengacuhkan istrinya karena pekerjaan.

📞"anak nakal, aku membantumu selama ini dan kau menusukku dari belakang"

📞"hahaha, kakak kau lupa aku perempuan. Walau kau kakakku, aku tentu akan berpihak pada ibu juga kakak ipar. Ku dengar kau mendapat masalah di kantormu"

📞"kalau begitu mulai sekarang aku akan memihak pada suamimu" balas rido.

📞"hahaha, suamiku itu sekarang menjadi backingan terbesarku. Jika kau mendukungnya secara tidak langsung kau juga mendukungku" meri tak berhenti membuat kakaknya kesal.

Ini pertama kalinya sejak lima tahun terakhir ia memiliki kesempatan untuk menggoda kakaknya itu.

Di belakangnya, ilham terus saja menggodanya dengan menciumi tengkuknya. Meri terus menggeliat geli, ia tadinya mengira ilham masih tertidur jadi ia mengambil kesempatan untuk menelfon kakaknya karena tahu ibunya pasti akan memarahi rido pagi-pagi buta.

Ternyata tidak hanya rido yang mendapat serangan di pagi buta, ilham juga melakukan hal yang sama kepadanya. Suaminya itu terus menggodanya bahkan saat di izmir masih pukul tiga dini hari.