Episode 4

Aku bertopang dagu di kelas remedial kebaikan. Kelas ini sungguh membosankan. Kenapa ketika murid lain bebas, kami terkurung seperti ini?

Yang mengajar kelas ini adalah kepala sekolah, Ibu peri.

"Jika seseorang bersalah dan kalian penguasa di tempat itu, apa yang akan kalian lakukan?" baca Ibu peri. "A.Menghukum mati, B.Membantai keluarganya, C.Mencuri semua hartanya, dan D.Mengikuti hukum yang berlaku."

Eve mengangkat tangan.

"Ya, Evie?" Ibu peri menunjuk Eve dengan tongkat kayu yang dipegangnya.

"Apa pilihan yang kedua?" Eve tersenyum lebar.

"Ok. Ada yang lain?" tanya Ibu peri.

Aku tidak terlalu peduli. Sibuk menggambar kekuatan sihir, sekolah ini, kamar, dan tiga orang tadi pagi.

"Grace!" panggil Ibu peri.

Aku mendongak, "Ya?"

"Apa kamu tau jawabannya?" tanya ibu peri lembut.

"D," jawabku datar.

Ibu peri mengangguk sambil tersenyum manis kepadaku.

Justin dan Darren menatapku sambil tertawa kecil.

"Kamu bersemangat, rupanya," kekeh Justin.

"Padahal, dari tadi kamu cemberut," sahut Darren.

Aku memutar bola mata sambil terus melanjutkan gambaran sekolah ini yang belum selesai.

30 menit kemudian, kelas selesai.

Aku memasukkan buku, alat tulis, dan lembaran gambar ke tas.

Eve menunggu di ambang pintu.

"Zac sebenarnya lumayan untuk seorang pangeran," ucap Eve.

"Kamu suka dengannya?" tebakku datar.

"Tidak, Curse," Eve menggeleng. "Dia tidak akan menyukaiku, terlebih lagi dia sudah mengejek sahabat-sahabatku."

"Kamu akan menemukannya, Greed," hiburku.

"Apa?" tanya Eve heran.

"Orang yang pantas berada di sampingmu," ucapku. "Orang yang pantas mendapatkanmu."

Eve merangkulku, "Kamu memang sahabat terbaik di dunia ini."

Suara cempreng memotong obrolan kami.

Kami mengadah dan melihat Audrey yang menarik Avery, juga Zac yang berdiri di sisi kiri Audrey.

"Betapa menjijikannya," sindir Zac. "Pura-pura menjadi baik."

"Memang dari sananya udah busuk, kan," ledek Audrey.

"Kalian berdua berhentilah mengejek," Avery menggeleng. "Mereka pantas mendapat kesempatan kedua."

Aku dan Eve saling pandang. Lagi-lagi, kami bertemu dengan mereka.

"Jangan terlalu baik, Avery," ucap Zac. "Mereka hidup di kalangan penjahat."

"Apa yang diajarkan penjahat pada anaknya?" sahut Audrey. "Kebaikan? Tidak mungkin!"

"Mereka tidak dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang," sahut Zac.

Ok. Ini sudah sangat keterlaluan.

Aku melihat Eve terkejut dengan mata yang berkaca-kaca. Aku juga kaget.

"Eve?" panggilku. "Are you ok?"

Eve mengangguk pelan.

Ucapanku membuat ketiga orang yang sedang adu mulut menoleh.

"Maaf soal-" Ucapan Avery terputus karena aku mengangkat tangan.

"Enggak apa," Aku memberi mereka senyuman terpaksa.

"Aku cuma kaget doang, kok," ucap Eve.

Aku memandangnya dan mengangguk kecil. Ia tersenyum.

"Kalau seorang pangeran yang terhormat bisa mengucapkan hal sekejam itu," Eve tersenyum.

"Berwaspada, menepati janji, ubahlah pakaian Eve," gumamku.

Rok hitam Eve menjadi rok biru dongker seatas lutut yang dilengkapi legging, kemeja putihnya menjadi kaus biru berlengan putih, ia memakai jaket hitam, dan flat shoesnya berubah menjadi bot biru dongker.

"Kenapa?" Eve memandangku.

"Supaya semua orang tau, kamu memiliki kecantikan yang setara dengan para putri di sini," bisikku.

Zac melongo. Audrey memandang Eve dengan iri.

Aku menjentikkan jari. Rambut Eve menjadi bergelombang sempurna dengan kepangan kecil di bagian depan.

Avery memandangku dengan tatapan bahagia.

Audrey cemberut dan menyikut Avery.

"Maafkan aku jika perlakuan kami membuat kalian risih," ucapku.

"Kami, kan, memang orang buangan," sahut Eve.

"E!" panggilku.

"Ya?" Eve menoleh.

"Ada yang perlu kubicarakan," Aku berjalan pergi.

Eve mengangguk.

Aku pergi duluan ke kamar untuk beres-beres.

Sementara itu...

Eve sedang berada di sudut cafe di lingkungan sekolah.

"Hei!" Avery melambai. "Aku boleh duduk di sini?"

"Tentu, Pangeran," Eve mengangguk.

"Panggil aku Avery saja," ucap Avery santai. "Namamu Evie, kan?"

"Ya," gumam Eve.

"Kenapa Grace memanggilmu Greed, E, atau Eve?" tanya Avery.

"Kami punya panggilan akrab masing-masing," jelas Eve.

"Oh, ya?" Avery tampak tertarik. "Kalian akrab sekali, rupanya."

"Kami mengalami nasib yang serupa," gumam Eve. "Orang tua kami juga dekat."

"Boleh aku tau panggilan akrab kalian?" tanya Avery.

Eve mengangguk takzim.

"Panggilan Justin adalah J atau Gluttony," ucap Eve.

"Kenapa Gluttony?" tanya Avery.

"Karena dia itu suka sekali makan," jelas Eve.

Avery terkekeh pelan.

"Lalu, panggilan Darren itu Steal," lanjut Eve.

"Karena dia suka mencuri?" tebak Avery.

Eve mengangguk.

"Dan panggilan Grace adalah Curse," gumam Eve.

"Curse?" Avery mengernyit.

"Ibunya penyihir, ingat?" Eve menatap keluar jendela. "Dan dia juga penyihir."

Suasana menjadi hening. Eve memandang lesu ke arah asrama dan Avery memandang cangkir kopinya.

Eve bangkit membuat Avery mengadah.

"Aku harus kembali ke asrama," ucap Eve. "Curse bilang, dia ingin bicara sesuatu kepadaku secara pribadi."

Avery mengangguk.

Di kamar...

Aku duduk bersila di kasur dan membuka lembar demi lembar buku sihir itu.

"Mother, do I do this right? Do you teach me right? Steal? Black magic? And all the evils are not extended to be forgiven?" batinku sambil mengamati tulisan kuno di buku itu.

Aku mengadah dan melihat keluar jendela, ke langit biru yang indah.

"Do I deserve to see all this beauty? Where I intend to damage the beauty itself?" Aku menghela nafas panjang.

Aku bersender di pembatas balkon dan mengamati lingkungan sekolah yang indah dan dipenuhi murid.

"Why am I evil this is given the second chance? Do I really deserve it?" gumamku.

"Curse..." panggil seseorang, Eve.

"Kamu mendengarnya?" Aku menoleh.

"Ya, aku mendengarnya," Eve mengangguk.

"Kalau sampai ibu tau aku mengatakan itu..." ucapku.

"Kita akan mati," kekeh Eve. "Sesungguhnya sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, aku sudah memikirkan itu."

"Kita enggak pantas mendapatkan kesempatan kedua, Greed," ucapku.

Eve mengangguk, "Tidak akan pernah pantas."

"Bahkan, ketika kesempatan itu diberikan kepada kita," ucapku. "Kita malah ingin merusak kepercayaan mereka."

"We are very evil, Curse," gumam Eve sedih.

Aku menghela nafas panjang dan kembali ke ranjang.

Eve duduk di kursi meja belajar, membolak-balik lembaran buku pelajaran remedial kebaikan.

Pintu diketuk, Eve segera membukakannya. Justin dan Darren.

"Hei!" sapa Darren. "Kenapa kalian tampak murung begitu?"

"Kalian perlu tau, aku dikejar kucing ketika latihan bersama pangeran," kekeh Justin. "Dan kucing ternyata bukan hewan buas."

"Tentu saja bukan, Gluttony," komentarku sinis.

"Wow, Greed!" Darren duduk di kursi meja belajarku. "Kamu belajar kebaikan."

"Bicara tentang itu sekata lagi," ancam Eve. "Buku ini akan melayang ke kepalamu."

"You like demon now, Greed," kekeh Darren.

Buku itu benar-benar menghantam dahi Darren dengan keras.

"Ouch!" Darren mengaduh.

"Itu karma karena mengejekku ketika latihan tadi!" tawa Justin. "Apa yang kamu baca dari buku sihir itu, Curse? Apa kamu sedang melatih mantra baru?"

"Ya," Aku mengangguk.

Eve tampak membolak-balik sebuah buku hard cover bersampul merah jambu dengan tulisan emas.

"Apakah kalian tau cerita Queen of Heart?" Eve mengadah.

"Ratu hati?" tanya Darren.

"Apakah ratu seperti itu sungguh ada?" tanya Justin.

"Ada, kok," ucapku datar.

Teman-temanku menatapku bingung.

Aku menunjukkan apa yang kubaca sejak tadi, sebuah catatan kuno.

"Pulau terpencil

Tanpa jalan keluar besar atau kecil

Diselimuti putus asa

Dipenuhi perasaan negatif tiada akhirnya

Kenapa dia bisa terperangkap di sana

Padahal dulunya begitu berjaya

Di pegunungan tinggi

Kabut menyelimuti

Kastil megah nan anggun

Menggambarkan kepribadian

Sang pemilik hati

Yang menunggu pengunjung setiap hari" bacaku.

"Wow!" ucap Eve.

Darren menatap kalender yang berada di meja Eve, "Penobatan pangeran, Guys!"

"Lalu?" tanya Justin bingung.

"Kita bisa mencuri kekuatan itu ketika waktu penobatan," jelasku.

"Kalau seseorang dari kita mampu menjadi salah satu orang paling berharga bagi Avery," potong Eve.

"Itu tidak mungkin!" pekik Justin.

"Mungkin!" bantah Eve. "Kalau kita memakai ramuan cinta."

"Ow..." kekehku. "Kamu terdengar seperti ratu hati, E!"

Darren memandangku, "Kenapa?"

"Memainkan hati seorang pria," jelasku dingin.

"Tapi, aku tidak bisa melakukannya," Eve menggeleng.

Aku memandangnya terkejut. Kalau bukan Eve yang melakukan...

"Kenapa?" tanya Justin.

"Ramuan cinta memang selalu bermanfaat," jelas Eve. "Tapi, lebih bermanfaat jika target benar-benar menyukai pemberi."

"Eve!" seruku. "Yang disukai pangeran itu adalah Audrey, pacarnya."

"Benar!" Darren menunjukku.

"Jangan menunjukku!" seruku kesal.

Darren hanya menyeringai dan Justin menatap lurus.

"Bukan! Bukan Audrey yang Avery sukai!" bantah Eve.

"Lalu, siapa yang disukai pangeran, Eve?" tanya Justin riang. "Tidak mungkin aku dan Darren."

Darren membuat gestur seolah ia sedang muntah.

"Grace," jawab Eve yakin.

Aku memandang Eve tidak percaya.

Darren melongo dan Justin yang sejak tadi mengulum permen, tersedak permennya yang masih berbentuk.

"GRACE?!" pekik Justin dan Darren serempak.

"Bagaimana kamu bisa yakin, E?" tanyaku.

"Avery selalu tertarik dengan segala hal yang berhubungan denganmu," jelas Eve. "Aku tau pasti, dia jatuh cinta sejak pertama kali bertemu denganmu."

Justin dan Darren terbahak, lalu mereka menyanyikan lagu cinta sambil bersiul-siul.

"Jatuh cinta pada pandangan pertama!" ledek Darren.

"Diam!" Aku menutupi wajahku.

Dan dari waktu itu hingga lonceng tanda jam malam dimulai, mereka terus-terusan menggodaku.