Aku berbaring di ranjangku, menatap langit dari jendela.
Terik sekali. Hanya angin sepoi-sepoi yang bisa sedikit mendinginkan rasa panas. Aku menatap tirai transparan yang bergoyang-goyang.
Pintu kamar dibuka, menimbulkan bunyi derit yang terdengar agak horor.
Aku bergegas duduk dan melihat siapa yang membuka pintu itu.
Di ambang pintu, tampak Ibu yang memakai pakaian lusuhnya dibalik celmek putihnya yang ternoda beberapa cairan herbal.
"Athena, bisa tolong bantu ibu mengumpulkan herbal?" Ibu memandangku.
"Tentu, Bu," Aku mengangguk. "Herbal apa yang Ibu cari?"
"Bunga Akonit Cielle," ucap Ibu. "Ada di puncak bukit seberang."
"Itu artinya aku harus melewati Hollow Hall?" tanyaku.
Hollow Hall adalah pusat desa yang menyerupai cekungan landai dengan danau sedang di tengahnya. Tempat itu sungguh rindang, untuk rapat desa dan festival. Tapi, di hari biasa untuk tempat anak-anak bermain.
"Tentu, Nak," Ibu tersenyum. "Kalau kamu tidak mau, tidak apa."
"Aku mau, kok, Bu," Aku mengambil keranjang tua untuk herbal.
Ibu tersenyum. "Kamu memang anak terbaik yang pernah ada."
"Kan, sudah tugasku untul membantu Ibu," Aku tersenyum.
Ibu hanya mengecup keningku dan berjalan pergi.
Aku memakai sandal tuaku dan berjalan turun dari bukit.
Hollow Hall sangat ramai. Banyak anak-anak yang sedang bermain. Ada yang bermain bola, mengobrol, piknik, membuat istana, berenang, dan masih banyak aktivitas lainnya.
Aku berjalan secepat yang kubisa. Aku tidak suka keramaian.
"Athena!" panggil Philippa. "Apa yang mau kamu lakukan?"
Seruan Philippa membuat anak-anak menoleh. Philippa terkenal karena paras, sifat, dan kekayaan miliknya.
Sedangkan aku dikenal sebagai anak penutup, pendiam, sombong, dan lain-lain.
Mulai terdengar bisik-bisik lirih. Beberapa bahkan menundingku.
Suara ceria yang menjengkelkan terdengar dari samping Philippa.
"Kamu dekat dengan anak yang sombong itu?" tanya suara itu, Feliaxanerian.
"Ya," Philippa mengangguk polos. "Dia sahabat baikku."
Bisik-bisik semakin terdengar. Semuanya bilang betapa beruntungnya aku atau bilang aku licik.
Aku membiarkan poniku menutupi kedua mata-ku. "Maaf, aku ada urusan."
Aku bergegas pergi menuju puncak bukit. Bukit itu agak terjal.
Banyak herbal bagus yang tumbuh subur di bukit itu. Hewan-hewan juga hidup bebas tanpa gangguan.
Aku memetik beberapa bunga akonit dan menaruhnua dengan hati-hati di keranjang yang kubawa.
Yang menarik perhatianku adalah biji sebesar biji ek, tetapi warnanya adalah ungu nyaris hitam.
"Biji apa ini?" batinku. "Aku akan mencarinya di buku."
Aku terus berjalan, melompati bonggol-bonggol kayu.
Sampai aku tiba di sebuah tebing dengan air terjun.
Aku tidak tahu ada air terjun!
Air terjun itu indah sekali, tidak ada sampah.
Yang menarik perhatianku adalah setangkai bunga layu. Itu herbal! Tapi, aneh sekali!
Bunga itu berbentuk mirip campuran bunga mawar dan sakura, warnanya adalah ungu.
"Banyak herbal baru," batinku.
Aku menaruh biji dan bunga itu di saku mantel lusuhku.
Malamnya...
Selesai makan malam, aku hendak mencaritahu tentang herbal itu.
Tapi, aku tidak menemukannya di saku mantel. Padahal, kukeluarkan saja tidak.
Aku mencari sampai jam 10 malam dan menyerah. Mungkin benda itu jatuh ketika di perjalanan pulang, sayang sekali.
Aku akhirnya tidur, tanpa menyadari bahwa sesuatu akan terjadi kepadaku dan semua orang di desa. Tidak! Semua orang di dunia.