Intersection Seer

"Percuma aku memberitahukan rencanaku. Para dewa akan membuatmu melupakannya esok hari, namun aku beri satu hal yang akan kau ingat." Aizen mencekikku seiring listrik menyebar dari kedua bola matanya yang menyala. "Namaku Susano'o, Dewa Petir dan Halilintar. Sampai aku dapatkan gadis itu, aku akan selalu mengawasimu hingga di dalam tidurmu."

Petir terus menyambar dari tubuhnya hingga menyerang kepalaku.

Dan membangunkan tidurku.

"Mimpi buruk lagi?" Tanya Fukurofuju yang duduk di sebelah tempat tidurku.

"Sepertinya begitu, tapi aku...ingat semuanya." Aku menggaruk kepalaku, merasa keadaan ini cukup aneh.

"Ingatanmu diatur ulang ke 48 jam sebelumnya saat kau bertemu kami, jadi kau masih mengingat kami. Tapi aku tak paham maksudmu dengan 'semuanya'."

"Maksudku, Susano'o. Dia menghantui kepalaku." Aku memegangi kepalaku yang saat itu terasa cukup berat karena terbangun dari mimpi buruk. "Dia bilang dia takkan memberitahu rencana besarnya dan akan terus menghantui kepalaku. Aku tak tahu dia menggertak atau tidak."

"Susano'o?" Fukuro terperanjat dari tempat duduknya, lalu berlari tunggang langgang untuk melakukan rapat darurat dengan teman-teman abadinya.

"Fukuro? Teman-teman?" Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju ruang tengah sembari mendengar pembicaraan lima dewa keberuntungan mencari tahu langkah selanjutnya.

"Kita harus batalkan semua ini. Terlalu beresiko!" Kata Daikoku.

"Hanya dia harapan kita satu-satunya dan kita tidak tahu apa yang direncanakan Susano'o. Membiarkan semua ini terjadi takkan selesaikan semuanya! Aku benci megatakan ini tapi itu kenyataannya." balas Benzaiten.

"Tapi kita juga tidak bisa langsung maju ke Yomi. Itu sama saja kita masuk kandang singa." kata Ebisu.

"Kita minta tolong pada bangsa Yokai." Celetuk Hotei setengah terbangun dari meditasinya.

"KITA TIDAK AKAN MEMINTA TOLONG PADA YOKAI! Kita tidak akan seputus asa itu." Kata Fukuro. "Kita bisa ke kuilku, cari arsip tentang sesuatu yang berhubungan dengan Susano'o. Bisa jadi ada sesuatu yang kita lewatkan."

Mendengar kata "yokai", sesuatu terlintas di pikiranku. Seakan ada sebuah kenangan yang kembali kurasakan di dalam pikiranku, kini memintaku memanggilnya.

"Bagaimana dengan Tsuji-ura? Apa dia termasuk yokai?" Usulku ikut nimbrung.

"Tsuji-ura? Kau gila?" Hardik Daikoku. "Maksudmu peramal di persimpangan jalan antara dunia manusia, yokai, dan alam baka? Kau tidak sedang bercanda, 'kan?"

"Tidak. Aku serius." Jawabku dengan yakin. "Kita tidak tahu sama sekali rencana Susano'o. Jadi selagi Fukuro pergi ke kuilnya mencari petunjuk, kita bisa bertanya padanya tentang rencana besar Susano'o dan alasannya memburuku."

"Itu gila karena tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Tsuji-ura. Dia tak suka orang asing dan selalu bersembunyi di balik kabut." kata Ebisu. "Dia bisa saja roh manusia yang sedang menyeberang, yokai, atau setan yang diutus Susano'o untuk membunuhmu."

"Kabut itu juga yang akan menutupi keberadaan kita dari mereka. Jadi, apa ruginya?" Aku mengangkat bahuku dengan penuh keyakinan.

"Baiklah, jika itu maumu. Tapi Tsuji-ura punya peraturannya sendiri dan kau harus mematuhinya apapun yang terjadi, dan kau akan melakukan ini sendiri. Paham?" Fukuro kemudian merangkulku, kemudian merogoh saku jas putihnya dan mengambil sebuah sisir plastik berwarna merah dan sebuah topeng berbentuk wajah rubah. "Kau perlu sisir dan topeng untuk menutupi wajahmu."

"Sisirnya untuk apa?" kugaruk kepalaku bingung.

"Pokoknya ikuti saja perintahku. Kau takkan keluar rumah sampai matahari terbenam."

"Aku? Tidak akan keluar?" mataku terbelalak. "Lalu bagaimana dengan Sei? Dia akan mencariku."

"Susano'o membunuhnya."

"Ah, berarti aku tidak perlu-APA?!" Aku tersentak mendengar kabar itu dari mulut Fukuro. "Sei...aku mulai ingat sesuatu saat aku di dekatnya...Bagaimana bisa?"

"Dia melakukannya tepat di malam hari setelah kau bertemu dengannya. Sepertinya, dia tak ingin kau mengingat apapun lagi." Ujar Daikoku sambil mengutak-atik kotak kecil yang menjadi alat penyokong hidupku dan pengubahku menjadi Marcus.

Semuanya terasa berjalan begitu cepat. Aku menghabiskan waktu meringkuk di sebuah kursi malas yang bergoyang di balkon apartemenku. Makan tak enak, tidur sebentar pun tak nyenyak. Setiap kali aku hampir mendapatkan ingatan yang berceceran dalam mimpiku ini, selalu saja ada yang merusaknya. Setiap hari, aku harus mengulang semuanya kembali dari nol dan semua itu karena aku terseret sebuah perkelahian antara dewa-dewi yang marah.

Atau mungkin, jika saja aku tidak pernah datang ke Tokyo, semua ini takkan terjadi. Mungkin aku masih ingat jika aku punya orang tua atau menjaga Sei tetap menjadi temanku.

Tapi, ini sudah terlambat. Ingatanku akan diatur ulang setiap harinya untuk melupakan kejadian ini, dan dengan semua wanita di negara ini terbunuh-satu-satunya yang menyelamatkanku saat berada di luar sana adalah Marcus Thomas Flynn.

Tapi, semua orang termasuk aku pada akhirnya akan mati. Dewa-dewi itu juga takkan tinggal di apartemen ini untuk waktu yang lama karena pada akhirnya mereka punya kendaraan untuk dibangun kembali.

Persetan dengan para makhluk mistis ini.

"Teman-teman, terima kasih atas kabarnya. Aku mau keluar dulu." Aku berjalan menuju ruang tengah dan langung mengambil kotak kecil pengubahku dari tangan Daikoku, kemudian menyimpannya di saku celanaku dan mengambil jaket hitam yang tergantung di belakang pintu.

"Hei, kau tak bisa mengambilnya begitu saja!" Sahut Daikoku yang belum selesai membereskan peralatannya dari meja bundar besar di ruang tengah.

"Ya, aku bisa!"

BLAM!

Kubanting pintu apartemen itu dengan kencang sembari berlalu keluar apartemen dan turun ke jalan.

Daikoku kemudian mentap Benzaiten sinis.

"Apa? Marie bukan usulanku. Kenapa kau menatapku begitu?" Ucap Benzaiten heran seraya menyibak rambut hitamnya yang panjang sementara Fukurofuju membaca buku dengan ketidakpeduliannya.

Hingga tiba-tiba dirinya teringat sesuatu.

"ASTAGA, AKU LUPA MEMBERITAHU MARIE TENTANG RITUAL MEMANGGIL TSUJI-URA!" Fukurofuju langsung berlari menuju pintu keluar apartemen.

"Fukuro, kenapa kau berlari?" Celetuk Hotei. "Kau 'kan dewa. Harusnya bisa terbang kan?"

Fukuro tepuk jidat, lalu berkata,"Hotei, kita tak bisa kemana-mana tanpa kapal kita, oke?"

.

.

Aku membiarkan ucapan nereka berlalu sambil terus berjalan. dengan tas selempang kecil berwarna hitam di pinggangku dan jaket hitam besar bertudung, aku terus meyusuri jalan langkah demi langkah. Siang itu, banyak orang berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing di setiap sudut jalanan ibukota Jepang ini. Dengan negara yang kini mayoritas penduduknya laki-laki, jangankan bertegur sapa. Melihatku saja tidak.

Kerumunan yang berdesakan ini membuatku sulit mencari tempat untuk menenangkan diri, hingga kemudian aku duduk di sebuah kursi taman yang ada di sudut persimpangan tiga jalan. Tepat di bawah rindangnya pohon, aku duduk berteduh melihat sinar mentari yang masih tampak sangat terik menyengat kulit wajah dan kepalaku. Tanpa kusadari, aku mengambil sisir pemberian Fukuro di tas selempangku dalam rangka melepas kebosanan. Kemudian, kumainkan jemariku pada gerigi sisir plastik murahan yang dari warna merah dan bekas bulatan yang menyisakan sebagian plastiknya yang tak terpotong menandakan itu sisir murah yang bisa dibeli di toko kelontong.

Hiruk-pikuk di persimpangan jalan itu tampak memudar. Tak ada manusia yang berbincang, menderapkan langkahnya, ataupun deru mesin kendaraan yang terdengar. Tiba-tiba, mentari terbenam dengan cepat dan kabut menyelimuti seluruh persimpangan jalan hingga ke langit. Dengan was-was, aku menutup wajahku dengan tudung jaket yang tebal itu dan mulai menunduk. Perasaanku mengatakan bahwa inilah Tsuji-ura yang dimaksud oleh Fukuro.

Aku merasa bodoh karena mengajukan ide ini kepadanya.

Sejurus kemudian, sesosok bayangan lelaki berbadan tegap mendekatiku dari balik kabut. Aku masih berusaha menutup wajahku dengan jaket yang kebesaran itu meskipun aku tak bisa melihat wajahnya dibalik kepulan awan dingin dan gelap.

"Tsuji-ura? B-bisakah kau m-membantuku?" ucapku gemetar pada bayangan itu, namun Ia tak menjawab. Tubuhku merinding dan posisi dudukku semakin tak nyaman, namun aku harus tetap berada disana jika tak ingin nyawaku diambil.

"Tsuji-ura, apakah kau tahu rencana Susano'o pada dunia manusia...dan bagaimana cara mengalahkannya?" Aku melanjutkan pertanyaanku langsung kepada intinya.

Sebuah suara lelaki muda kemudian menggema dari balik bayangan di kabut itu.

"Kuda Perang akan dilepaskan. Manusia berada di puncak amukan nafsu yang akan melahirkan kebencian. Suatu hari, derajat manusia takkan lebih tinggi dari derajat binatang."

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Aku menegaskan pertanyaan yang baru saja kulontarkan dengan wajah datar.

"Percayakan perjalananmu pada cerpelai pertama yang kau lihat dari kabut tertipis dan buat dewa-dewi berpihak kepadanya. Ada rahasia lain dibalik rahasia yang ingin kau ungkapkan. Sebagian dari rahasia itu akan meyelamatkan dunia manusia dari kehancuran."

"Rahasia apa yang kau maksud?" Aku kembali bertanya, namun bayangan itu perlahan menghilang. Seiring langit sore semakin bersinar, kabut di persimpangan jalan itupun menghilang. Begitupun sosok yang kuyakini sebagai Tsuji-ura tersebut.

Kuda Perang? Cerpelai? Sebagian dari ramalan itu tidak kupahami. Kenapa aku harus mempercayai seekor cerpe—

"Ciit, cit, cit!"

Suara berdecit terdengar di telingaku. Kutoleh kepalaku ke kanan dan kiri mencari arah suara itu. Tepat di hadapanku, sisa kabut tipis masih terlihat bersamaan dengan seekor cerpelai putih mungil dengan warna hitam di ujung ekornya.

"Ciciit! Ciciit!" Cerpelai itu berdecit seraya berlari menghampiriku. Aku langsung berdiri di bangku taman itu ketakutan.

Aku mengendus sekitarku, memastikan aku tak punya alergi pada binatang. Lalu ku meringkuk perlahan dan memungut cerpelai mungil yang menggemaskan tersebut. Kuteguk ludahku sendiri, teringat ucapan Fukuro bahwa aku harus menuruti perintah Tsuji-ura jika ingin nyawaku selamat.

"Kau menggemaskan, tapi aku takut...tapi kau mungil dan lucu seperti boneka...tapi aku tak berani membawamu pulang. Maksudku, bagaimana jika kau ternyata yokai?"

Aku terkesiap menatap mata cokelatnya yang tampak lebih besar dari kepalanya.

"Kurasa aku akan membawamu pulang. Aku percaya padamu, Kawan Kecil."

"Ciciiit!" Cerpelai itu kemudian merayap ke dalam lengan jaketku, lalu bergelung di bahuku dengan riangnya. Sambil mengelusnya lembut, aku membawanya pulang ke apartemen.

10 menit kemudian,

Aku sampai di pintu ruang apartemenku. Sejurus setelah aku membuka pintu, Fukuro sudah menyambutku dengan wajah kesal dan berkata, "Dari mana saja kau? Daikoku berusaha melacak lokasimu tapi kau menghilang begitu saja. Kami khawatir kau dibunuh!"

"Tenang saja, Rambut kuda. Aku habis berbicara dengan Tsuji-ura." ucapku santai seraya memegang cerpelai mungil yag ada di pundakku. "Dia bilang aku harus mempercayakan perjalananku pada kawan kecil baruku ini, dan siap atau tidak kalian harus merestui hubungan persahabatanku dengannya."

"MUNDUR SEMUANYA!"

Lima dewa-dewi keberuntungan melangkah mundur menjauhiku sementara Daikoku mengambil sebuah guci berisi abu yang dituangkan di tangannya.

"Um...kenapa kalian mundur dan abu apa yang ada di tanganmu?"

"Oh, ini abu dari kalender-kalender lama yang kubakar."

"Buat apa kau membakar kalender lama?" Aku memicingkan mataku pada abu yang digenggam Daikoku.

"Ini."

BRUFF!

Daikoku meniupkan abu tersebut kepadaku dan cerpelai kecil itu hingga terbentuk kepulan kabut dari abu yang berterbangan, namun seiring abu tersebut jatuh ke tanah aku merasakan sensasi sentuhan yang berbeda—bukan lagi bulu yang tebal dan empuk, melainkan tubuh yang padat berotot berbungkus kulit yang lembut.

"Ohok, ohok, ohok!" Aku terbatuk karena abu yang ditiupkan Dewa Kemakmuran tersebut, lalu mataku terbelalak ketika sosok yang kulihat sekarang menjelaskan sensasi sentuhan yang berbeda itu. Bukan lagi seekor cerpelai putih kecil yang empuk dan menggemaskan, melainkan punggung seorang pemuda tegap bersurai putih panjang yang tingginya lima sentimeter lebih tinggi dari tubuhku sekarang. Rambutnya yang diikat mengingatkanku kembali pada ekor cerpelai mungil tersebut.

Ingin diriku mengalihkan pandanganku pada punggung lelaki bertelanjang bulat itu, namun pengalamanku yang pernah memiliki tubuh seorang lelaki membuat mataku tertuju kepadanya.

Hening.