Rintik hujan di pagi itu dilengkapi dengan cuaca yang mendung sejak kemarin tidak membuat suasana hati kami menjadi muram, tidak untuk pagi ini. Kami memulai hari ini dengan sangat ceria, canda, tawa, dan ucapan syukur yang tiada tara terdengar dan terucap disetiap sudut rumah ini.
Abahku berpesan dengan sangat jelas dan tegas semalam, dia mewajibkan Aku untuk datang ke rumahnya setelah subuh, aku mendengar ada rasa kekhawatiran dalam perintahnya itu, khawatir kalau aku datang terlambat, khawatir aku bangun kesiangan, khawatir dengan segala kemungkinan yang tidak perlu dipikirkan sebenarnya. Kekhawatiran itu menjadi hal yang dapat dimaklumi sebenarnya, karena hari ini merupakan momen langka dan bersejarah dalam keluarga kami, yah untuk keluarga kami. Bagaimana tidak, dari seluruh keluarga besar ku, tidak ada yang makan bangku sekolah lebih dari tingkat SD saja, pendidikian bukan menjadi prioritas bagi kami. Aku saja sudah terpaksa berhenti dari dunia pendidikan di kelas 5 SD atau tepat pada saat aku mendapatkan haid di hari pertama. Namun, hal sebaliknya terjadi pada sepupu jauh ku yang bernama Ali yang kebetulan juga tinggal dirumah Abahku, dia tetap meneruskan pendidikannya, ini lah yang kubilang sebagai hal yang langka untuk keluargaku, bahkan untuk anak lelaki sekalipun, biasanya anak lelaki yang sudah baligh lebih diutamakan untuk membantu orang tuanya di pasar untuk berdagang. Namun, keyakinan Ali untuk menimba ilmu patut aku akui sebagai perjuangan yang luar biasa, mulai dari disepelekan sesama saudarannya, mencari beasiswa untuk terus menyambung sekolah agar tidak terputus, sampai harus rela tiap malam begadang dibawah lampu minyak untuk membaca buku-buku yang tak bisa kupahami isi nya. Hari ini, Ali membuktikan keberhasilanya mencapai puncak pendidikan yang dia yakini sebagai modal dasar untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik, keringat, getir dan tangis serta pesimistis yang terus menghantuinya telah sirna sudah. Hari ini, Ali telah menyadarkan keluarga ku bahwa pendidikan itu nyata dan kelak dia akan membuktikan bahwa pendidikan itu berguna untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik lagi.
Pahit dan getir perjuangan selalu menghasilkan akhir yang manis. Abah ku memberikan hadiah kepada Ali dengan mengadakan acara syukuran yang akan digelar pada ba'da Ashar nanti. Dadakan sekali idenya itu, Abah baru mengucapkan niatnya tersebut kemarin sore, tidak heran kalau, ibuku dan tanteku pagi-pagi buta sudah pontang panting pergi kepasar demi mendapat bahan-bahan makanan yang terbaik.
Subuh ini, seluruh keluarga ku bangun dengan pancaran sinar kebahagiaan, lagu rabana sudah mulai dimainkan sejak tadi lepas solat subuh, sementara aku bersama suamiku sebagai perwakilan keluarga yang diminta turut mendampingi Ali di acara kampusnya, diminta untuk bersolek ba'da subuh tadi dan mengenakan pakaian terbaik, karena tepat pukul 07;00 Wib kita semua diharuskan jalan menuju kampus Ali yang kelak kuketahui bernama UNSRI, jaraknya cukup memakan waktu, ditambah kami harus menyiapkan waktu kalau-kalau mobil Fuad suami ku itu kembali kumat.
"Hana mano yo.. la siang ini .. gek telat Ali di wisuda" panggil om ku dari ruang depan.
"tenang be .. Ami, Hana la siap, Fuad jugo la manasin mobel dari tadi," jawabku sembari keluar dari kamar ibuku dan memberikan salam ku pada abahku dan Ami ku. Kebiasaan sederhana pada keluarga kami, selalu salam dan cium tangan pada orang tua setiap kami bertemu dari mana pun bahkan ketika kita bangun tidur sebagai bentuk rasa hormat kita pada mereka.
"nah cantek nian anak abah ni, gek kalau ketemu dosennyo Ali, sampeken ye salam dari abah dan ami Daus, omongken ini Ali anak DAUS BIN MUSA, anak bujang pertamo, bapaknyo punyo pasar songket di Pasar 16 terus …" ujar abahku.
"ayy ayy.. katek orosan pak dosen tu dengan silsilah keluargo kito bah" selaku sambil tertawa.
Selama kami berbincang, ternyata Ali sudah berdiri dan tersipu malu dibelakang ku, aku sempat terpana melihatnya mengenakan baju yang kuketahui kemudian bernama 'toga', hitam warnanya menjuntai hingga dengkulnya, warna hitamnya bersinar, ditambah ada kain yang menutupi bahunya berwarna kuning dan list merah, serta kain selempang berwarna kuning dengan lambang kampusnya, ditangannya pun sudah ada Topi yang belum dia kenakan, Topi yang berbentuk persegi lima itu juga berwarna hitam dan ada tali warna kuning menjuntai. Untuk orang yang tidak pernah duduk di bangku sekolah, menurut ku baju yang dikenakan Ali ini sangat anggun dan luar biasa menawan.
"ya samannnn belagak nian anak abah .. " ucap Ami Daus dengan bangga sambil merangkul anaknya, Ali yang sedari tadi tersipu malu pun menyambut abahnya dengan pelukan.
"terima kasih ya bah, udah izinin Ali sekolah sampai selesai. Selanjutnya Ali akan merantau cari kerjaan untuk Aba dan Ummi" ucapnya sembari mencium tangan Ami Daus dengan lembut.
Sementara itu di pojok ruangan, tanteku yang juga merupakan ibunya Ali sudah berdiri dengan berlinang air mata, mendengar isakan air mata ibunya, Ali pun menghampirinya dan menghapus air matanya dengan menggunakan tangannya yang lembut,
"ummi,.. oh ummi kenapa nangis, Ummi harusnya tersenyum " sapa Ali dengan canda.
"ummi bangga dengan Ali" jawab tante Ida.
Menyaksikan kejadian ini semua membuat aku benar-benar terpaku, untungnya suamiku Fuad datang dan membubarkan adegan haru ini dengan candannya yang khas,
"ooiii… belum sah dio tu sarjananyo.. di wisuda dulu baru sarjana,… nah sekarang la jam 7 lewat 5, laju telat kito kesano, nangis nian kamok kalu Ali dak jadi diwisuda, hehehe"
Serontak kami semua kaget melihat jam dinding yang ternyata benar sudah jam 7 lewat, kami pun bergegas masuk kedalam Mobil suamiku yang lebih sering bermasalah dengan mesin ini, sebelum jalan, aku berdoa di dalam hati agar kami dapat sampai di kampus Ali tepat waktu dan mobil ini dapat menjalankan mesinnya sampai tujuan dan kembali lagi kerumah ini.
Sepanjang perjalanan Ali menceritakan bagaimana susahnya dia menyelesaikan pendidikan, sepeda ontelnya yang biasa dia gunakan sudah tidak dapat lagi digunakan karena seringnya menempuh perjalanan jarak jauh,
"hampir putus asa aku, kalu dak selesai jugo tahun ini, dak taulah lanjut apo idak' ujar Ali mengawali perbincangan,
"emang ado bates waktunyo li" Tanya ku polos,
"ado han, duit,… kalu sampe semester depan belum lulus jugo, aku la katek lagi duit nyo" jawab Ali.
"nah untungnyo aku pacak selesaiken tepat waktu, setelah ini aku nak ke Jakarta ngelamar begawe pulok" sambungnya.
"Begawe?? Begawe apo? Kan aba kau ado toko.. ngapo dak begawe ditoko aba kau be" Tanya ku polos,
"payo han.. mada'i Sarjana kau suru jago toko di pasar 16, percuma bae dio sekolah capek-capek, Ali ni nak ke Jakarta biar pacak begawe kantoran "jawab suamiku lantang,
Meskipun aku tak begitu paham dengan istilah kantoran, tapi dalam benak ku, aku membayangkan Ali akan bekerja dengan lebih layak, tidak seperti para lelaki dikeluargaku yang setiap pagi pergi ke pasar dengan hanya mengenakan sarung dan baju koko serta dilengkapi dengan peci, jam kerjanya pun tak beraturan terkadang mereka pergi selepas subuh tapi tak jarang mereka melanjutkan tidur dan baru bangun kembali 4 jam kemudian baru bergegas kepasar, dan pulang selalu ba'da ashar tak pernah lebih.
Hampir 2 jam berselang, akhirnya kami tiba dikampus Ali, syukur Alhamdulilah ku ucapkan berkali-kali karena kami bisa tiba sebelum acara dimulai, jadi secara spontan ku kecup kening suamiku, sembari memujinya,
"terimakasih ya habibi…" ujarku manja.
Suamiku yang terbuat dari salju itu hanya menanggapi ringan sembari membalas kecupan ku dengan lembut.
"hmmm hmmm laju pengen kawen jugo kamek " ledek Ali dari bangku belakang.
"ups.. maaf li… " jawabku tersipu malu.
"yuk turun.. macemnyo la nak mulai acaranyo" tambah ku membubarkan rasa malu ku yang berlebihan.
'MasyaAllah,… alangkah gagah dan cantik-cantiknya mereka' bisiku dalam hati, mata ku tak bisa berkedip dan sungguh terpanah melihat pemandagan di depan mata, dimana silih berganti wisudawan dan wisudawati melewati kami berjalan bergegas dengan pakaian yang sama dengan Ali. Tak ada tampak keraguan di wajah mereka, semua terlihat amat bahagia, dan raut wajah bangga pendamping mereka juga terlihat sangat jelas. Secara spontan aku menanyakan hal yang paling sederhana pada Ali yang sedang sibuk mencari rombongan teman-temannya,
"li… ali " panggil ku sembari menarik jubahnya,
"hmmm" jawabnya acuh,
"bagaiamana rasanya li" tanyaku,
"rasa apa" meskipun matanya tak tertuju pada ku, tapi Ali lebih menekankan jawabannya yang bingung dengan pertanyaan ku.
"rasa nya jadi sarjana" tanyaku lagi,
"hanya Allah yang tau han, hanya Allah yang tau" jawabnya kali ini menatap mata ku dengan penuh makna.
Kami pun berjalan menuju aula tempat acara, aku berpisah dengan Ali tepat di pintu masuk karena para wisudawan sudah harus berbaris di tempat yang sudah disediakan sementara para keluarga duduk di kursi undangan di atas balkon. Dari sini aku sama sekali tidak dapat mengenali mana Ali, semua terlihat sama dan dari atas jelas kami hanya bisa melihat topi persegi lima itu yang bergerak kesana-kemari.
Sepanjang acara itu, mungkin hanya diriku yang mengikuti seluruh rangkaian acara dengan penuh khidmat, bahkan Fuad yang duduk disampingkupun tak kuhiraukan, acara demi acara, pidato yang kemudian ku ketahui dari rektor itupun kudengarkan dengan seksama meskipun sebagian besar kata-katanya tak kupahami. Acara yang berlangsung lebih dari 3 jam itu benar-benar telah membiusku dengan sangat teramat sukses. Sampai tiba saatnya acara dimana para wisudawan dipanggil secara satu persatu lengkap dengan gelar yang baru mereka sandang, dan di kala nama Ali dsebut, hatiku sontak bergetar, air mata tak kuasa kubendung dan mengalir begitu saja dipipiku, bukan.. sungguh bukan karena aku sedih, ntah apa yang mendorong air mata ini keluar, tanpa kusadari tanganku meremas tangan Fuad dengan kencang, selanjutnya ketika aku melihat tali yang menjutai di topi Ali dipindahkan dari satu sisi kesisi lain, sontak terbesit satu doa yang sungguh membuatku bertekad dan tekad ini sangat kuat,
'Allah, jika engkau menitipkan hamba seorang anak atau lebih, bagaimana pun dan apapun yang terjadi pada hamba, hamba akan duduk kembali di sini untuk menyaksikan anak hamba yang berdiri di sana mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian Ali, tolong genggam doa hamba ini ya Allah, amin'
Kata-kata dalam Do'a ini mengalir begitu saja, Do'a ini lah, yang merupakan tekad awalku, yang menjadikan aku rela untuk melakukan apapun demi mewujudkannya, benar-benar rela. Genggaman tangan ku pun dari Fuad kulepaskan perlahan, kusandarkan kepalaku dibahunya yang keras itu, tak kuasa air mata ini masih terus mengalir,
"ya habiba ku, apa gerangan yang membuat mu menangis sedemikan rupa" bisik Fuad ditelingaku,
"Hanaa, hana hanya terharu kak, sungguh berat perjuangan Ali, dan hari ini dia membuktikan bahwa perjuangannya itu diakhiri dengan keanggunan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata" jawabku.
Fuad pun mengeluarkan sapu tangannya dari kantong celannya dan dengan lembut mengusap pipiku yang sudah basah dengan airmata. Ku menikmati hangat nafasnya dan kelembutan tanganya yang kekar itu ketika dengan perlahan mengusap airmata ku, ingin rasanya aku menceritakan do'a yang baru saja aku ucapkan kepadanya, tapi aku tak kuasa .. ntah apa yang menahan ku menceritakan nya, 'ah biar saja itu menjadi anganku seorang yang akan kuwujudkan dengan ridho Nya' pikir ku.
****
Keringat yang basah ditubuh kami, sudah cukup menggambarkan bahwa perjalanan pulang kami dari kampus kerumah tidaklah mudah, seperti biasa mobil suamiku tersayang ini berulah. Mobil Fuad berhenti di tengah tanjakan bukit tak jauh dari kampus Ali, ya dengan terpaksa Aku dan Ali mendorong mobil manja ini, untungnya ada bantuan dari penduduk setempat setidaknya amat membantu pada bagian sulit itu, dan tak berhenti sampai disitu, mobil tercinta ini pun kembali menunjukan aksi mogoknya 5 km sebelum tiba di rumah ku, sontak saja kami harus memarkir mobil itu ditepi jalan, dan karena kasihku pada suamiku, aku bersedia berdiri selama satu jam lebih menunggunya bersama Ali yang mencoba membujuk sang mobil untuk mau berbaik hati membawa kami lagi setidaknya 5 km kedepan.
"MasyAllah.. ngapo basa kuyup ni kamok" sambut abah ku didepan pintu dengan penuh was-was yang tersorot jelas dari matanya yang lembut itu.
"biasola bah… mobil kak Fuad mogok, dua kali pulok" jawab ku sembari meraih tangannya untuk ku kecup dengan hormat.
"maaf ba.. mobil Fuad mogok tadi" sambut suamiku dibelakangku yang juga menyalami abahku dengan penuh hormat ini disusul pula oleh Ali.
"ooyy aku kiro kamok ado apo dijalan, itu si Daus la nunggu dari tadi, habis minyak rambut aku dipakenyo" ujar abah ku sembari menoleh kedalam, tak lama kemudian ami Daus berjalan dengan setengah berlari menghampiri kami, dan anaknya pun dengan sigap menghampiri orang tua nya itu dengan senyuman yang menenangkan jiwa.
"bah… sah bah.. Ali sekarang sarjana bah" ujar Ali dengan suara yang getir namun tetap terdengar tegar.
"nak.. abah bangga nak.. habis kata-kata abah buat kau nak.. " kata Ami Daus yang untuk pertama kalinya aku melihat ada tetesan air mata yang sangat murni megalir di wajahnya yang syahdu itu.
Jelas kepulangan kami langsung menggemparkan seisi rumah yang sudah penuh dengan keluarga ku dari berbagai penjuru, kisah mobil mogok yang biasanya menjadi bahan tawa dan ledekan kali ini tidak menarik perhatian, Ali yang pulang basah dengan keringat pun menjadi alasan untuk para ibu-ibu dirumahku berebut membantunya mengelap keringat itu, sungguh Ali menjadi selebriti hari ini, dan aku melihat pemandangan indah ini dengan penuh seksama, sungguh nikmat sekali ketika melihat suatu keberhasilan dari perjuangan yang berliku.
Dari pemandangan yang aku lihat ini, membuatku sejenak larut dalam pikiran liar ku, dimana terkadang aku berpikir apa yang dicari dari pendidikan, selain buku yang tebal dan terlihat membosankan, serta harus dimengerti kata perkatanya, pernah kucoba membaca salah satu buku di kamar Ali, rasa penasaran mengusik jiwaku untuk membukanya, namun tak sampai 30 detik aku mengembalikan buku itu ketempatnya dan sempat terlitas dipikiranku saat itu bahwa saudara ku Ali ini orang gila karena mau mengorbankan waktunya berjam-jam untuk membaca buku-buku itu. Sampai hari ini pun, meskipun aku menyaksikan sendiri prosesi wisuda tadi, aku masih tak mengerti apa yang dicari dari sekolah tinggi, namun ada sebersit cahaya indah yang kulihat dibalik itu, yang ingin ku ambil dan kuraih sendiri meskipun bukan dari tangan ku, karena jelas tangan ini sudah tidak mungkin bisa mengenyam bangku sekolah, tapi tidak ada yang tidak mungkin untuk generasiku kelak, ini akan menjadi mimpiku yang harus benar-benar terwujud, dan tak sabar aku untuk terbangun dan melihat mimpiku ini menjadi kenyataan.
Jam terasa begitu cepat hari ini, tak lama dari kepulangan kami dari kampus Ali, kami sudah harus bergegas menyiapkan diri untuk acara sore ini yang akan dimulai kurang dari 2 jam lagi, belum kering rasanya keringat di badan ku ini, namun aku sudah harus berganti pakaian dan membantu para wanita di dapur menyelesaikan masakannya. Kehebohan dan perbincangan seru didalam dapur sempat membuat kami terlena akan waktu, hampir saja kami semua terlambat menyajikan makanan ini, karena tamu sudah berdatangan masuk kedalam rumah, dan Gede (nenek) ku pun mulai berteriak mengingatkan kami untuk lebih sedikit bicara dan banyak bekerja.
Sepanjang sore, kami bahu membahu mewujudkan acara syukran yang syahdu ini.
Namun aku merasakan hal aneh pada diriku di sore itu, awalnya aku merasa itu karena sedari pagi pikiranku terlalu sentimentil dan terbawa suasana haru menghadiri proses wisuda Ali, hingga saat ini walau tanganku sibuk mengupas bawang, dan mulutku sibuk tertawa, tapi kepalaku terasa sakit, tubuhku meriang.
Kesibukan semakin menggila ketika suara abeb (kakek) ku mulai terdengar dibalik michropone, teriakan perintah ini itu mulai terdengar sahut menyahut. Sementara Wardah adiku yang paling bungsu mendapat tugas yang sedikit membuatku iri karena dia tak perlu bau bawang dan segala macam bumbu dari dapur ini, dia cukup bersolek dan memasang senyum yang lebar menyambut tetamu yang datang lebih awal.
"bu… Hana boleh pamit rebahan kekamar sebentar dak?" Tanya ku,
"ada apa han, kita banyak kerjaan, ngapain kau rebahan dikamar?" jawab ibuku yang mempertanyakan permintaan ku yang tidak wajar dan bukan disaat yang tepat itu.
Sungguh bukan karena aku ingin kabur dari perhelatan syukuran ini, tapi mendadak kepala ku sakit sekali dan badan ini sangat tidak nyaman. Namun aku menyadari permintaan ku untuk istirahat dikamar kali ini sangat tidak tepat, dapur yang masih berantakan sementara waktu yang sudah mepet membutuhkan tenaga ekstra.
"hmm maksud Hana,.. hana mau ganti baju bu,.. kan malu kalau ada tamu.. hana pake baju ini" ujar ku bohong, karena tak tau harus bicara apa.
"hahaha..han bintang tamunyo itu Ali, ngapo kau yang nak besolek tu" sindir tante ku yang bernama Aisyah,
"yo dak nyingok apo gawe kito ini masih banyak, ini malah nak kekamar, ada-ada aja kau ni" kata-kata telak dari tante ku yang lain bernama Mirna.
Kata-kata yang menusuk ini tidak terlalu menggangguku, kepala ku sudah cukup senat senut, jadi tak perlu ditambah pusing lagi dengan mendengarkan kata-katanya. Ibuku juga tak menghiraukan keinginanku itu, itu sudah membuatku mengerti kalau jawaban dari pertanyaan ku adalah 'Tidak'.
'ah apa ini.. kenapa tiba-tiba aku mendadak lemah seperti ini' pikir ku, kucoba untuk mengabaikan apa yang ada dikepala ku ini, dan lebih memfokuskan pada kegiatan apa yang ada dihadapanku, kuraih apa yang bisa kukerjakan, semaksimal mungkin, percakapan terkait Ali mendadak tak menarik buatku, aku hanya ingin mengakhiri semua ini dan segera mengahmpiri suamiku untuk membawaku pulang.
Abeb (kakek) ku adalah salah seorang terpandang yang disegani oleh keluarga besar ku, mungkin ini salah satu alasan setiap acara syukuran yang diadakan keluraga ku selalu ramai, ada begitu banyak tamu yang hadir silih berganti, meskipun acara inti sudah selesai 30 menit yang lalu namun tamu yang datang terus saja mengalir sampai 4 jam kemudian, tawa canda dan do'a mengiringi acara ini, Ali saudara ku itu jelas menjadi selebriti hari ini, semua orang menghampirinya, ibu-ibu yang mengandeng putri nya yang jelas sekali maksudnya untuk diperkenalkan kepada Ali dan berharap Ali mengerti maksudnya, sampai kepada para lelaki dari berbagai usia yang mempertanyakan hal-hal sepele sampai pertanyaan berat mau dibawa kemana Negara ini.
Geli sekali melihat semua tingkah dan percakapan itu, seandainya kepala ku tak sesakit ini pasti aku sudah meledek Ali dari tadi seperti meledeknya untuk meminang saja salah satu gadis yang didekatkan padanya itu. Namun, Kepala ku semakin sakit dan ingin pulang lebih awal, Aku pun harus menghampiri Fuad yang tengah bersanda gurau dengan saurdara-saudaranya,
"kak….pulang yuk" pinta ku manja..
"kenapa han.. biasanya kau tak mau pulang kalau lagi ada acara disini" Tanya suamiku kaget.
"hana pengen pulang kak, capek sekali badan ini.. hayo lah kak… la melem ini" tuntutku padanya.
"wah ada yang minta tuh.. hayo lah Fuad… jangan ditunda…" ledek mufid.. entah apa maksudnya, yang jelas raut mukanya membuat aku mual.
Tak perduli dengan ledekan mereka aku tetap merengek minta pulang, memang permintaan yang aneh, sejak acara wisuda tadi aku menjadi sangat sentimentil dan sangat mudah terusik oleh hal-hal sepele, belum lagi kepala ini masih terus terasa sakit yang tak juga reda. Fuad pun tak kuasa melihat ku yang terus duduk disitu, tak sopan memang seorang isteri ikut bergabung dalam percakapan suami dan lelaki lainnya, tapi aku sudah tak sabar ingin segera pulang. Akhirnya Fuad berdiri dan meraih tanganku,
"mari lah kita pulang dinda" ledeknya sembari mengecup dahiku, dan mata jahilnya ke mufid, sontak saja rombangan lelaki ini tertawa terbahak-bahak karenanya, tapi aku lagi-lagi tak perduli dengan hal ini, segera saja kami pamit pada Abah dan Ibuku juga pada Ali yang masih dikerubuni oleh banyak tamu yang tak henti-hentinya berdatangan.
****
Seminggu sudah sejak hari bersejarah Ali itu, aku berada ditempat tidur ini, aneh memang semenjak malam itu, aku sama sekali tidak dapat berdiri dari tempat tidur, selaginya kupaksa bahkan hanya sekedar untuk kekamar mandi saja untuk urusan hajat manusia pada umumnya, aku harus membutuhkan bantuan Fuad, setiap kali diri ini mencoba untuk berdiri aku serontak merasa seperti berada di atas kapal yang sedang mengalami guncangan hebat, 'oh Allah penyakit apa yang sedang melanda diri ini' keluh ku dalam hati.
"hana.. gimana dek kabar nya?" Tanya suamiku membangunkan ku dengan kecupan lembutnya dikeningku.
"hmm" jawabku malas
"ayolah ke dokter, la seminggu kau seperti ini, tak kuasa kakak liatnyo" bujuk Fuad.
Memang benar aku sangat sungkan untuk pergi ke dokter, namun aku sendiri tak begitu merasa itu menjadi hal penting karena awalnya aku berpikir hanya masuk angin biasa, namun… sudah satu minggu, yah mungkin sudah saat nya aku ke dokter.
"iya kak" jawab ku singkat.