Puncak Pagelaran Pensi : 3

Lapangan ini semakin sesak. Orang-orang berdesakan, berusaha untuk melangkah saling berlawanan arah dengan teratur. Mendekati bazar-bazar yang berjejer sepanjang pinggir lapangan.

Malam yang dingin seharusnya memberi kehangatan sekaligus kesejukan, tapi suasana di sini menjadikan panas dan pengap.

Revan menyebarkan pandangannya ke arah sekitar, mengidentifikasi setiap wajah yang dilihatnya. Sesekali, ia berusaha kuat untuk melangkah ke depan, mencari Anna.

Ya, sejak tadi ia mencari gadis itu seraya terus mencoba menghubungi-nya lewat ponsel. Dalam kepadatan manusia-manusia, Revan melepaskan headset yang menempel pada telinga-nya dengan kesal, lalu menghela napas panjang. Ia berusaha menatap sekitar sekali lagi dan dahinya lantas mengerut saat menyadari bahwa ia tidak menemukan gadis itu. Bertanya kepada kedua sahabat gadis itu pun juga percuma, dirinya tidak menemukan jawaban yang memuaskan.

Sepanjang jalan orang-orang menyapanya, bahkan hampir setiap gadis yang melihat menatap lapar dirinya.

Tapi, ia tidak peduli.

Hingga akhirnya Revan pun menyerah dan mendudukan dirinya di pinggir lantai koridor.

Membuka kembali aplikasi chat pada ponselnya itu untuk mengetikan sesuatu dengan pandangan fokus.

Anastasya

18.46

Kamu di mana?

Bisa ke back stage sekarang?

Revan menatap sebentar pesan itu, hingga kedua jempol-nya kembali menari di atas layar dengan cepat.

Aku butuh kamu. please...

Dalam diam, Revan terduduk lemas di antara orang-orang lainnya. Ia melihat genggaman tangannya dan memukulnya ke udara. Apa yang terjadi padanya? dengan perasaannya? mengapa ia begitu tidak terkontrol?

Revan sangat heran kepada dirinya sendiri. Di satu sisi, ia bisa menjadi laki-laki yang baik. Tetapi, di sisi lain, ia adalah laki-laki yang dingin, dan begitu mudah meningkat emosinya, yang begitu mudah marah tanpa melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda. Ia tidak tahu harus membenci dirinya atau membenci kehidupannya.

Puncak-nya semenjak kejadian itu, ia harus kehilangan orang-orang dihidupnya. Dan, sekarang muncul Anna yang seolah mendobrak dinding pertahanan yang sudah ia bangun.

Revan memijat pelan pelipisnya, sungguh ia tidak mengerti.

Tak lama, ia kembali melihat sekitar dan mendapati salah satu anggota OSIS -koor keamanan, yang saat ini tengah berjalan memperhatikan keadaan sekitar.

Dasar bodoh!

Kontan setelah melihatnya, Revan bangkit dari duduknya untuk kemudian menghampiri orang itu.

"Bin."

Bintang -orang yang dipanggil Revan pun langsung menolehkan kepala padanya.

"Eh... Van, kenapa?"

"Bisa bantu gue? tolong kasih tahu temen-temen bagian keamanan buat cari Anna. Gue butuh dia, urgent."

"Oh.. siap!"

"Thanks, ya."

Ucapnya, dan Bintang mengangguk, lantas meninggalkan Revan yang menatap kepergiannya. Hingga akhirnya, Revan pun kembali melangkahkan kakinya entah ke mana.

Sementara Anna yang berlainan tempat dengan kekasihnya itu, masih setia menatap ke arah Leo dengan alis saling bertautan, menanti-nanti perkataan laki-laki itu selanjutnya.

Keheningan menyelimuti keduanya. Mereka saling menatap dalam detik-detik yang melamban. Hingga Anna pun merasa jengah sendiri.

"Atau apa, Leo?"

Tanya Anna tidak sabar. Tapi, bukan jawaban yang gadis itu dapat, melainkan senyuman dan gelengan.

"Nggak, bukan apa-apa."

Andai saja Anna tahu, Leo ingin sekali mengatakan semua perasaannya pada gadis itu. Tapi, jika ia mengatakan itu. Perkataannya pun tak akan mempengaruhi apa pun. Keadaan tidak akan langsung berubah. Yang ada Anna malah akan memandang aneh dirinya, dan pertemanan mereka yang sudah dekat menjadi taruhannya.

Ia harus sedikit bersabar untuk itu. Yang jelas, ia akan memasuki celah hati Anna pelan-pelan. Contohnya, saat-saat seperti saat ini, disaat gadis itu tengah merasa tak berdaya.

Tiba-tiba suara seseorang menyentaknya.

"Anna!"

Panggilan barusan membuat Anna dan Leo seketika menolehkan kepalanya ke belakang.

... Pada akhirnya, Anna melebarkan kedua mata setelah mengetahui siapa.

***

Menghela napas pelan, Revan berdiri dengan kedua tangan yang di masukan pada saku jaket bomber-nya. Saat ini, laki-laki itu tengah menunggu kedatangan seseorang di lapangan.

Sebentar lagi, band yang tampil terakhir itu akan berakhir. Dan sampai detik ini juga dirinya tak dapat menemukan di mana Anna.

"Van.."

Panggilan yang terdengar dari arah samping membuat Revan langsung menghadapkan tubuhnya pada orang itu.

"Gimana, Bin? lo udah nemuin Anna?"

"Belum, Van. Gue udah nyari ke mana-mana. Gue juga udah suruh temen-temen cari dia. Tapi mereka bilang gak nemuin, bahkan gak lihat."

Kedua alis Revan menaut samar, ia tidak habis pikir, sebenarnya ke mana gadis itu?

"Yeah... !! Akhirnya kita ada di penghujung acara guys!! Gimana pendapat kalian tentang penampilan band-band tadi? asik kan, ya? dan pastinya seru abis ya, kan?!"

Suara host dari atas panggung kontan membuat Revan langsung mendongkak-kan kepalanya. Bukankah ini sudah waktunya?

Dengan frustasi, Revan menatap para host di atas sana.

"Sudah gak sabar dong ya ketemu Jaz?!"

Tanya Gilang kemudian, hingga suara membahana dari bawah panggung berteriak menjawab.

"Tapi tunggu, Lang. Sebelum Jaz, kita ada satu penampilan lagi nih. Yang pasti gak kalah menarik!"

Revan mengerutkan dahinya mendengar itu. Sebelum menebak-nebak siapa. Gilang kembali bertanya..-

"Oh, ya? Siapa?"

Citra tersenyum lebar, sebelum akhirnya..-

"Ini dia, Anastasya....! Ayo guys, kita panggil. Anna... Anna.. Anna.."

Seru Citra, sengaja memprovokasi penonton. Alhasil para siswa siswi itu pun juga mengikutinya.

Mendengar ucapan Citra barusan, jelas membuat Revan membulatkan mata. Pasalnya, semenjak tadi ia mencari-cari gadis itu selalu tidak ketemu, bahkan dia sudah meminta yang lain juga untuk ikut mencarinya.

Dan, sekarang dia malah mendapati Anna yang sudah berada di atas panggung dengan senyum manis.

"Yo, Anna! masih ingat dong ya kalian anak-anak SMA Academy dengan penampilannya tahun kemarin"

"Masih dong, Lang. Gila!! bikin hati adem suaranya."

Anna terkekeh mendengar pernyataan Citra barusan.

"Oke nggak usah berlama-lama. Silahkan Anna."

Kedua host itu pun membalikan badannya meninggalkan Anna yang berdiri di balik piano. Anna terkekeh pelan menatap penonton di bawah sana.

"Semoga kalian semua menikmati. So, let's the play."

Anna mulai memainkan pianonya, membuat para penonton di bawah sana merasa takjub.

🎤

Sekian lamanya ku melangkah lewati cerita.

Begitu jauh dan berwarna, namun tetap saja

Tak ada yang sanggup tandingimu 'tuk membuatku luluh.

Abadi di hati...

Kau yang tak pernah hiraukanku, tak pernah pedulikan

Aku yang selalu kagumi dirimu....

Mata Anna kembali menelusuri para penonton, berharap menemukan seseorang di bawah sana. Sementara orang-orang yang mendengar nyanyian Anna terdiam, menghayati lagu tersebut.

🎤

Meski perih kuterima

Meski sedih kunikmati

Tak mampu

Aku sedikit pun lupakanmu...

Meski aku takkan mungkin, milikimu

Satu doaku

Suatu saat nanti kau 'kan mencintaiku...

Semua seolah ikut hanyut dalam perasaan "seseorang" dalam lagu itu, hingga mereka bisa merasakan sesak dalam dada.

Tak ayalnya dengan Revan, ia membeku mendengar lagu yang Anna bawakan. Entah mengapa, isi lagu tersebut terasa menusuk baginya.

🎤

Berbagai cara tlah aku tempuh 'tuk hapus dirimu

Namun engkau lagi dan engkau lagi, tetap engkau lagi

Cinta sejati yang enggan mati

Dan kokoh berdiri

Mungkin hingga mati....

Ooh..

Kau yang tak pernah hiraukanku, Tak pernah pedulikan

Aku yang selalu kagumi dirimu....

Tepat saat itulah, Revan mendapati Anna yang menemukan dirinya. Kedua mata mereka saling bertemu. Hingga membuat laki-laki itu seketika sadar, lagu itu memang untuknya.

Sejujurnya ia merasa tertampar saat matanya menatap intens Anna. Bahkan disaat Anna terus menatapnya, badannya terasa kaku. Dia merasa ada beban dalam hidupnya dan perasaan quilty yang tidak menyenangkan.

... Nyatanya, ia memang sudah terlalu sering menyakiti gadis itu.

***

Sepuluh menit sebelumnya...-

"Nggak, bukan apa-apa"

Anna mematung di tempatnya ia berdiri sekarang. Pernyataan Leo barusan membuatnya tidak dapat berkutik. Ia menatap lekat-lekat manik mata laki-laki itu, mencari kebenaran di matanya.

Tapi sebelum ia bisa menilai, suara seseorang menyentaknya.

"Anna!"

Seketika Anna pun menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati Dimas yang menatap dirinya dan Leo dengan kerutan di dahi.

"Oh, Dimas. Kenapa?"

Anna bertanya seperti biasa, karna ia memang merasa tidak punya salah apa pun.

"Lo di cari Revan di back stage."

"Revan?"

Tanya Anna memastikan. Dan, Dimas menjawab dengan anggukan. Anna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk juga, lantas melangkahkan kakinya mengikuti Dimas. Tanpa tahu ekspresi Leo yang menatap dirinya dengan pandangan yang sulit di deskripsikan.

Itu sebabnya, mengapa Anna ada di atas panggung sekarang. Dimas sudah menjelaskan semuanya. Tentang keterlambatan Jaz, tentang permintaannya untuk menyanyikan sebuah lagu, hanya demi mengulur waktu.

🎤

Meski perih kuterima

Meski sedih kunikmati

Tak mampu

Aku sedikit pun lupakanmu...

Meski aku takkan mungkin, milikimu

Satu doaku

Suatu saat nanti kau 'kan mencintaiku...

Anna- gadis itu bernyanyi tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun pada Revan. Ia berharap laki-laki itu bisa menangkap maksud dari lagu tersebut.

Hingga di mana Anna melihat pergerakan darinya, ia melihat laki-laki itu seperti tengah menerima telepon, lantas pergi kemudian entah ke mana.

Membuat gadis itu tersenyum sedih di sela-sela nyanyiannya.

🎤

Satu doaku

Suatu saat nanti kau 'kan mencintaiku...

Lagu selesai. Para penonton di bawah sana langsung bertepuk tangan, berteriak memanggil namanya. Anna hanya tersenyum ala kadarnya. Nyatanya, keramaian yang didapat itu tidak bisa mewakili perasaannya saat ini. Ia ingin segera turun dari atas panggung dan berlari sejauh mungkin setelah melihat betapa tidak pedulinya Revan terhadap dirinya.

Sementara Revan saat itu melangkahkan kakinya hendak menuju gerbang samping sekolah setelah menerima telepon dari Sisil.

Gadis itu memberitahukan padanya tentang kedatangan Jaz, karna itu Revan pun terpaksa pergi. Hingga di mana Jaz pun datang, Revan menyambutnya. Dan, mereka sama-sama ke back stage.

Revan mengerutkan dahi saat dilihatnya pada panggung hanya ada Citra dan Gilang yang tengah bercanda gurau dengan para penonton.

Ke mana dia?

Mendadak perasaan was-was itu muncul. Kedua bola mata hazel-nya mulai menelusuri sekitar. Haruskah ia kembali mencari gadis itu?

Karena bagaimana pun, Revan sudah tidak bisa menyangkal lagi. Anna sudah berhasil memporak-porandakan hatinya. Sekeras apapun ia menolak, rasa cinta yang diberikan gadis itu padanya pelan-pelan mengisi ruang hatinya.

Ya, Revan harus mengatakan itu secepatnya.

"Nif, lo lihat Anna?"

Tanya Revan, menghadang jalan Hanif yang baru saja lewat di depan-nya.

Hanif pun mengangguk.

"Tadi sih gue lihat. Pas dia turun dari panggung, kayak buru-buru gitu."

"Buru-buru? ke mana?"

"Kalau itu gue juga gak tahu ke mana-nya, Van."

Revan menghela napas lelah, mengusap wajahnya frustasi. Ia mengangguk mengarti, lantas mengucapkan terimakasih dan kembali membalikan badannya hendak melangkah.

"Lo cari Anna?"

Pertanyaan barusan membuat Revan seketika menghentikan langkahnya, dan mendapati Dimas yang memandang tanya dirinya.

"Iya, lo lihat dia?"

"Tadi gue lihat dia pergi ke taman belakang. Lo bisa cari dia di sana."

Jedanya sesaat.

"Oh ya, sebelumnya gue juga pernah lihat Anna dan murid baru itu berduaan. Gue ngerasa cowok itu mulai gencar ngedekati Anna. Lo harus hati-hati, Van. Atau lo akan menyesal nanti."

Ekspresi Revan seketika berubah kaget. Tak ingin menyia-nyiakan waktu. Dengan segera, Revan pun melangkahkan kakinya menuju taman belakang sekolah meninggalkan Dimas yang tersenyum penuh arti menatap kepergiannya.

Ya, dirinya harus bergerak cepat!

Hingga di mana, Revan tiba di taman itu dengan napasnya yang terengah-engah. Ia melihat punggung gadis itu, punggung yang terlihat rapuh.

Dengan langkah lebar Revan mendekat, untuk secara impulsif menarik Anna dan merangkuh tubuh itu ke dalam pelukannya.

Sementara Anna terkejut dan melebarkan kedua matanya sesaat seseorang memeluknya. Seolah tahu siapa orang itu, jatung Anna bedegup kencang kala helaan napas laki-laki yang memeluknya itu menerpa daun telinganya.

"Van?"

"Aku memang belum sepenuhnya mencintaimu, Anna. Tapi, maukah kau sedikit bersabar dan berusaha meyakinkan hatiku, sekali lagi."

Ucap Revan dengan lirih, lalu melepaskan pelukannya dan menatap langsung manik mata Anna yang kecoklatan.

Tubuh Anna menegang. Jantungnya kian berdegup kecang, darahnya berdesir menatap lekat-lekat laki-laki yang kini memandang dengan senyum yang menenangkan. Serta mencari kesungguhan dari perkataannya itu melalui kedua matanya.

Dan, ya. ia menemukannya.

Dalam satu helaan napas, Anna tersenyum seraya mengangguk. Pernyataan Revan seolah mimpi baginya. Jika benar.....

..... tolong jangan bangunkan..