"Gaps!"
"Hah hah hah ...." Ghania terengah, setelah tiba-tiba saja tersadar. Napasnya berat dan memburu. Dalam kebingungan ia melihat ke sekeliling, ada banyak orang yang mengerumuninya.
Sambil tetap masih linglung, Ghania berusaha mencerna dan memahami situasinya.
'Ada apa ini? Kenapa ada begitu banyak orang mengerumuniku?' tanya batinnya, sebelum ia teringat sesuatu. 'Ah, aku kan tertabrak! Tunggu! Bukankah aku tertabrak cukup parah dan akhirnya mati? Lalu kenapa aku ada di sini?!!!'
Penemuan fakta ini mengguncang dirinya.
Di saat yang sama, ketika batinnya tengah bergelut dengan kejadian mengejutkan ini, orang-orang yang mengerumuninya, melihat dan berbicara satu per satu.
"Lihat, dia sadar!" Teriak seorang gadis yang masih memakai seragam SMP.
Gadis-gadis lain yang juga bersamanya pun ikut berseru, menarik perhatian penonton lainnya.
"Bantu dia," kata seseorang. "Coba periksa apa dia terluka?"
Beberapa gadis membantunya untuk duduk. Begitu salah satu lengan menariknya untuk bangun, Ghania kembali tersadar dari lamunannya. Ia sekarang ingat!
Ini adalah hari di mana dia selamat dari maut, saat dia ditabrak oleh adik kelasnya yang mengendarai motor sambil ngebut, tanpa memperhatikan jalan. Dan kejadian ini terjadi 16 tahun lalu! Ah! Ghania kembali tercengang sendiri dalam batinnya.
16, 16 tahun lalu! Ia kembali ke 16 tahun lalu!
Itu artinya, ia sekarang berusia 14 tahun, lebih tepatnya hampir 15 tahun. Ia yang sekarang adalah siswi SMP kelas 9. Hanya tinggal beberapa bulan lagi sebelum ujian kelulusannya.
Gilanya, beberapa bulan sebelum itu, ia malah jadi korban dari kebodohan adik kelasnya yang baru duduk di bangku 8 SMP!
'Sialan! Setan! Anjing ....' Ghania mulai mengupat dan memaki dengan semua kata-kata kasar dan sumpah serapah yang ia bisa gunakan dalam kumpulan konsa katanya.
Meski kejadian itu terjadi hampir 16 tahun lalu, ia masih menyimpan ketidaksudian akan hal ini. Munafik jika dia bilang ia sudah memaafkan anak bodoh itu setulusnya dan tak menyimpan benci ataupun dendam!
Yah, dia tahu memaafkan itu lebih mulia, namun melakukannya berbeda dengan hanya bicara saja. Mempraktekan hal itu tak segampang teori, apalagi ini menyangkut nyawanya.
'Hah ....' Ghania menghela napas panjang, mengingat semua itu. Ia telah lama ingin menghajar anak bodoh yang nyaris meregut nyawanya itu.
Salah-salah dikit, nyawanya benar-benar bisa melayang! Syukurnya, Tuhan dan keberuntungan masih berpihak padanya. Selain luka kecil di kepala, serta luka ringan serta gesekan di kaki dan tangannya, plus urat pinggangnya yang tegang, tak ada luka yang cukup serius.
Tanpa sadar, Ghania secara naluri menyentuh kepalanya, dia menyentuh bagian yang terluka. Gerakannya membuat gadis SMP yang ada di dekatnya menyadari kalau kepalanya berdarah. Gadis itu mulai mengatakan hal itu ke gadis lainnya.
Singkat cerita, tak banyak yang berbeda dengan kejadian 16 tahun lalu. Ia di tuntun duduk di bangku toko fotocopy-an yang ada di dekat situ. Adik kelasnya yang merupakan pelaku, alih-alih minta maaf atau merasa bersalah, tetap bersikap arogan dan menyalahkan Ghania serta mengatainya buta, tak lihat jalan dan sebagainya. Anak egois itu menolak untuk mengakui kesalahannya. Ini adalah salah satu alasan mengapa Ghania begitu tak menyukai bocah lelaki ini. Bocah ini hampir membunuh seseorang tetapi tak ada rasa simpati atau bersalah sedikit pun di mata anak itu.
'Bibit busuk yang menakutkan,' Cap Ghania dalam hatinya.
Jika saja anak itu setidaknya ada sedikit penyesalan atau rasa bersalah, serta kesadaran diri akan kesalahannya, Ghania tidak akan sampai mendendam. Ia akan memaafkan anak itu, meski butuh waktu.
Sayang, anak ini sebaliknya. Jika saja tak ada seorang polisi yang kebetulan lewat. anak itu malahan benar-benar akan lari meski ditahan oleh anak-anak lain dan warga sekitar.
Ghania masih ingat tatapan dan ekspresi anak itu ketika anak itu dengan terpaksa meminta maaf.
'Mata ... tak mungkin bisa berbohong.'
Andai ia dulu tak mengindahkan bisikan hatinya akan tatapan itu, mungkin semua insiden selanjutnya tak akan terjadi.
Dan di sini, ia kembali, ia kembali melihat anak itu berusaha keras menyalahkan dan melimpahkan semua kesalahan dari kejadian ini padanya.
Pertama, anak itu membual soal Ghania yang menyebrang jalan sambil tengah asyik mengobrol dengan orang lain dan tak memperhatikan jalan.
Faktanya, Ghania tak pulang bersama siapa pun, ia berjalan sendiri dan ia telah menengok kiri dan kanan jalan, tergantung arah laju kendaraan.
Jelas anak itu berbohong.
Kedua, dia bilang dia sudah membunyikan klakson. Faktanya, anak itu mengebut tanpa memberi peringatan, dan memang tak ada niat akan itu pula. Niat awal anak itu hanya ingin ngebut. Buktinya, Ghania di tabrak di jalur yang berlawanan arah. Bukan di jalur yang di klaim oleh anak itu. Anak itu berniat melaju melewati Ghania tanpa peduli Ghania adalah pejalan kaki yang tengah menyebrang, karena sikap arogan, anak itu percaya dia bisa menghindari Ghania dengan cara masuk ke jalur yang melawan arah. (Sebab sebagian jalan tak memilik pembatas yang memisahkan dua arah)
Alhasil, bisa terlihat apa yang terjadi. Jadi wajar jika Ghania tak menengok ke arah datangnya motor anak bodoh itu, sebab Ghania telah memasuki jalur kiri, yang otomatis kendaraan akan lewat dan melaju dari arah kirinya, bukan kanannya.
Setelah, permintaan maaf paksa itu, anak itu ingin segera pergi tanpa peduli kondisi Ghania apakah bisa pulang atau tidak. Boro-boro begitu, Ghania bisa berdiri saja dia tak mau tahu. Berbasa-basi menanyakan kondisinya saja tidak. Salah satu anak laki-laki menegurnya untuk bertanggung jawab mengantar Ghania pulang. Namun anak bodoh itu marah dan berniat memukul anak lelaki itu.
Akhirnya, karena Ghania sendiri lelah, dia tak mau berdebat, ia biarkan anak itu pergi. Toh, ada seorang pegawai fotocopy yang baik hati, yang mau mengantarkannya pulang.
Tetapi tenang saja, karena dirinya berhasil kembali ke masa lalu, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia akan pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Dia kembali bukan untuk merasakan kembali siksaan dan derita masa lalunya.
Dia akan mengubah semuanya.
Dan semua akan di mulai dari anak bodoh satu ini dulu.