BAB 37 KABUR

Aku harus tenang. Walaupun kepalaku masih terasa sakit luar biasa, aku tetap harus bisa berpikir dengan kepala dingin.

Aryo sudah salah paham dengan situasi ini. Kekesalanku tidak akan menyelesaikan masalah ini. Andai saja aku bisa mengajaknya ke rumah sakit modern dan melakukan tes DNA tentu akan lebih baik lagi. Dia tidak akan meragukanku. Aku hanya bisa berharap perasaannya kepadaku cukup besar, sehingga dia akan mau mendengarkan semua penjelasanku.

Agar upayaku kali ini tidak mudah tercium oleh anak buah Daniel, aku harus benar-benar mempersiapkan dengan baik. Paling tidak mereka tidak segera menyadari bahwa aku telah kabur. Jadi seandainyapun mereka mengejarku itu sudah terlambat.

Sudah dua hari ini jendela kamarku hanya kubuka separuh dan kututup dengan tirai, sehingga dari luar tidak akan bisa melihat kedalam kamar.

Aku membuka sedikit tirai jendelaku untuk mengamati keadaan di luar.

Aku kembali melihat tubuhku. Gaun-gaun ini benar-benar menyulitkanku.

Untunglah dulu aku dulu menyukai aktifitas panjat tebing. Bahkan sempat mengikuti kejuaraan Rock Climbing kampus waktu itu. Jadi dengan ketinggian tembok beberapa meter bukan hal sulit bagiku. Hanya aku memang belum pernah melihat seorang wanita hamil melakukannya. Pasti teman-temanku panjat tebing akan mengutuk perilakuku jika mereka tahu. Aku jadi geli membayangkan ketika nanti bertemu mereka, dan aku menceritakan hal ini.

Tunggu!

Kapan aku bisa bertemu lagi dengan mereka? Bahkan nenek mereka saja belum lahir saat ini.

Apakah aku bisa kembali ke duniaku sendiri? Aku sudah benar-benar lelah. Aku siap merawat anak ini sendiri. Tapi apa anak ini bisa kubawa saat aku kembali ke duniaku?

Aahhh!! Kenapa kacau sekali?

Aku melihat sekeliling kamarku. Aku sudah mempersiapkan semuanya.

Talipun sudah siap, kulihat lagi tanganku.

Mungil sekali tangan ini. Tanpa otot sama sekali.

Ah, sial! umpatku dalam hati.

Harusnya aku melatih tangan gadis ini terlebih dahulu. Tapi tembok itu tidak terlalu tinggi. Semoga saja tangan gadis ini cukup kuat untuk aktifitas ini.

Pengait tali yang kupesan dari pandai besi di pasar tempo hari juga sudah datang. Walaupun bentuknya tidak sesempurna keinginanku, tapi ini sudah cukup. Pembuatnya sangat penasaran bertanya beberapa kali kepadaku. Karena bentuk pesananku yang tidak biasa.

Setelah melompati jendela, aku berjalan mengendap-endap, berharap situasi berjalan sesuai prediksiku, tidak ada seorangpun yang melihatku.

Aku lega.

Aku sudah memperkirakan waktu ini. Aku menggenakan celana yang cukup nyaman dibalik rok panjangku. Aku sudah menyiapkan tali untuk mengikat rokku agar tidak menyulitkanku saat harus memanjat dinding ini. Rok ini pun sudah yang paling sederhana dari yang ada.

Dibalik tembok ini adalah area perkebunan dan sungai kecil. Aku harus melaluinya dalam waktu kurang dari satu jam. Aku tidak ingin jejakku diketahui para penjaga ataupun pekerja perkebunan.

Aku lemparkan tali dengan pengait di atas tembok. Setelah yakin cukup aman segera aku memanjatnya. Aku tidak peduli dengan tanganku yang terasa perih karena gesekan dengan tali. Dan sialnya, lenganku terasa hampir putus menahan berat badanku. Padahal setiap orang bilang aku semakin kurus. Kenapa terasa berat sekali? Pasti lengan gadis ini sama sekali tidak terlatih. Kali ini aku mengutuk gadis van Jurrien ini.

Aku lega berhasil sampai diatas tembok. Aku harus kembali turun pelan-pelan. Seandainya aku tidak hamil tentu melompat dan berlari adalah pilihan terbaik.

'Oke baby, kamu harus kuat demi mama' batinku sambil mengelus perutku yang mulai menggembung.

"Aahhh..sialan.." umpatku saat rokku tersangkut dan aku terpeleset.

Hampir saja aku terjatuh, jika tanganku tidak mampu berpegangan erat. Tubuhku terasa benar-benar berat. Buku jariku memutih saat aku harus berpegang erat di tembok dengan satu tangan dan meraih tali yang terlepas dengan tangan yang lain.

Aku tidak mungkin melompat begitu saja, kecuali aku berniat mencelakakan anak dalam kandunganku.

Aku mendorong lagi tubuhku untuk bisa meraih tali yang akan kupakai untuk turun. Dadaku dan perutku bergesekan dengan tembok. Ada perasaan ngeri. Khawatir jika dia akan terluka karenaku. Pakaianku mirip dengan orang yang baru berada di area ledakan. Kotor dan sobek dimana-mana. Benar-benar compang-camping.

Setelah berhasil meraih tali untuk turun. Aku lega sekali. Sebelah tanganku kugunakan untuk memegang tali, kakiku bersilang di tali dan tanganku yang lain mengelus perutku, sekali lagi.

"Blijf sterk, schat." ujarku (*Tetap kuat, sayang)

Dan kemudian dengan lancar aku turun dari tali.

Aku harus menghilangkan jejak ini. Tapi itu segera kurapikan dan kusembunyikan di area perkebunan.

Aku berlari di sepanjang area perkebunan. Hingga sampai ditepian sungai.

Aku masih belum melihat siapapun yang mengejarku.

Sepertinya kondisi masih aman.

Sungai ini cukup dangkal. Jadi tidak akan menyulitkanku. Aku melepas sepatuku. Dan mulai berjalan diatas bebatuan didasar sungai. Batu-batu itu ternyata sangat licin. Beberapa kali aku hampir saja terpeleset.

Akhirnya aku berhasil mencapai seberang sungai.

'Ingat Margie... Gadis ini bahkan pernah kabur lebih jauh darimu!! Dari Inggris hingga Hindia Timur. Jadi pelarian ini bukanlah apa-apa baginya.' aku mengingatkan pada diriku sendiri tentang gadis van Jurrien ini.

Ada perasaan geli membayangkan seorang gadis di era ini yang sangat pemberontak seperti dia. Dia berada di jaman yang salah.

Aku kembali memasang sepatuku dan kembali berlari. Kali ini kakiku tidak bisa kompromi. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah.

Aku harus mencapai rumah penjual kuda yang sudah kupesan beberapa waktu lalu.

Aku kembali melihat tubuhku.

Sebaiknya aku berganti pakaian dulu sebelum bertemu seseorang.

Aku hanya membawa satu pakaian ganti. Itupun bukan satu set, melainkan hanya baju luar saja.

Setelah berganti pakaian dibalik semak-semak tinggi di pinggir perkebunan, aku segera menuju rumah penjual kuda itu.

Aku berjalan dengan terburu-buru di sepanjang jalan setapak kecil diujung perkebunan.

"Ya Tuhan!" seruku