BAB 41. PESAN

Aryo membantuku berpakaian dan menyiapkan makanan untukku. Dia benar-benar mengurusku seperti bayi.

"Makanlah. Kau harus sehat. Demi anak kita."

Aku hanya mengangguk dan menurutkan kata-katanya.

"Jika kau lelah, kau bisa beristirahat. Apa kau ingin aku memijatmu? Biasanya wanita hamil sering dipijat oleh dukun beranak, agar sehat."

Aku hanya menggelengkan kepala.

Beruntung sekali menjadi istri dari pria sepertinya. Aryo sungguh pria yang sangat lembut dan perhatian. Tapi kondisi kami bukanlah pasangan yang normal.

Tak terasa mataku kembali basah oleh sikap penuh cinta Aryo. Dan rintangan yang mungkin masih harus kita lalui.

"Tadi aku membawakan selimut untukmu. Dan beberapa helai pakaian. Maaf, ini bukan pakaian yang seperti milikmu. Ini hanya pakaian Jawa. Kau baik-baik saja kan?" katanya lagi dengan panik ketika melihat air mataku menetes.

Aryo yang biasanya begitu mahal untuk tersenyum dan berkata-kata. Tapi kali ini dia sungguh lebih banyak berbicara daripada diriku.

"Kalau..."

Kututup bibirnya dengan bibirku sebelum dia berbicara lagi.

"Sayang, cukup." selaku. "Kepercayaanmu kepadaku, itu sudah cukup bagiku. Perjuanganku menjaga diriku tidak sia-sia. Karena aku tahu kau akan menantiku. Karena aku yakin kau sangat mencintaiku."

Kutarik lengannya untuk merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini selalu kurindukan.

Berhubungan dengan pria, bagiku bukan untuk serius. Hubunganku hanya sekedar untuk kesenangan. Cinta jauh dari konsep hidupku. Jatuh cinta hanyalah membawa kita menuju mara bahaya dan derita. Tapi Aryo membuat semua konsep hidupku berubah. Dia memperkenalkan cinta dan rasa sayang kepadaku.

"Aku beruntung sudah dipertemukan dengan dirimu." ujarnya.

Entah keberuntungan ataukah justru petaka, kita sudah saling jatuh cinta, menikah dan bahkan buah cinta kita sudah tertanam di rahimku. Aku hanya menatap nanar, mata yang melihatku dengan penuh cinta dan kekaguman.

Andai waktu bisa hanya seperti ini. Tentu kami akan sangat bahagia. Ya, aku hanya bisa berandai-andai. Karena kenyataannya hubunganku dengannya benar-benar penuh rintangan.

Malam itu kami menuntaskan kerinduan kami. Aryo memperlakukanku dengan sangat hati-hati. Dan berkali-kali bertanya apakah aku baik-baik saja, apakah perutku tidak terasa sakit, dan sebagainya. Mengesalkan sekali bercinta dengan segala batasan dan penuh kehati-hatian seperti itu. Aryo terlalu berlebihan. Seandainya aku menceritakan bagaimana aku sudah memanjat tembok dan hampir terjatuh, tentu Aryo akan muntah darah karena marah kepadaku.

"Aryo! Minggirlah!" perintahku di tengah percintaan kami.

Aku mendorongnya sehingga dia terlentang dan aku mengambil kendali.

Berulang kali Aryo mengingatkan agar aku lebih hati-hati karena sedang hamil. Aku tidak peduli. Bercinta denganmu selalu membuatku lepas kendali, batinku.

Aku tidak tahu sampai kapan waktu kebersamaan yang penuh keindahan ini akan berlangsung. Yang pasti, aku tidak akan menyia-nyiakan sedetik pun bersamanya.

Seperti pagi biasanya, Aryo sudah terlebih dulu bangun. Dengan berhati-hati dia membangunkanku.

"Ini masih terlalu pagi, Aryo.." rengekku. "Ayolah.. Aku lelah setelah semalam. Aku masih ingin tidur."

"Margie, ayolah bangun. Aku akan mengajarimu sesuatu."

Dengan malas aku membuka mataku. Ini benar-benar masih pagi buta. Apa Aryo ingin bercinta lagi?

"Eemmm..."

Aryo membantuku bangun.

"Kau yakin tidak ada yang sakit?" tanyanya sambil mengelus perutku.

Aku menggelengkan kepala.

"Anakmu sangat kuat." jawabku di tengah kantukku, sambil menunjukkan jempolku kepadanya.

"Baguslah." ujarnya senang.

"Ayo, aku akan mengajarkanmu bersuci." ujarnya lagi.

Apaan sih? Di pagi buta, dia memintaku untuk mandi di sungai.

"Aryo!" seruku kesal. "Kamu serius? Ini masih kepagian. Aku akan kedinginan."

"Nanti aku akan menghangatkanmu lagi."

Menghangatkan? Apa dia akan mengajakku bercinta lagi? Sial, kenapa hanya itu yang terlintas dipikiranku ketika melihat tubuh seksi Aryo. Aku tidak pernah semesum ini selama hidupku. Aryo benar-benar membuatku jauh dari kata waras. Aryo hanya menggunakan bawahan saja dan dada telanjangnya benar-benar sangat seksi.

Sial!

Aryo membalut tubuhku yang telanjang dengan selendang panjang. Lalu menuntunku menuju sungai.

Aku memang sering berenang di malam hari, tapi tidak di sungai seperti ini.

"Aryo?"

Aku menggelengkan kepala, tidak setuju.

Aryo tersenyum. Ya, aku bisa melihat senyum itu dibawah cahaya bulan.

"Dia harus belajar." ujarnya sambil mengusap perutku. "Dia harus menjadi anak yang hebat."

Aryo menggandeng tanganku menuju kedalam sungai. Dia memintaku mengikuti semua yang dia ucapkan.

"Bismillah..."

Entah mantra apa yang dia ucapkan. Aku hanya berusaha mengikutinya.

Dia memintaku membasuh setiap jengkal tubuhku, bahkan bagian yang dalam. Hingga lubang telinga, hidung dan mataku pun dia minta untuk basuh.

"Mataku pedih kena air.." rengekku.

Kenapa? Beginikah cara inlander mandi? Ah, rumit sekali!

Aryo tampak tersenyum geli menatapku yang sedang kesal.

Bagaimana aku tidak kesal. Bahkan matahari belum tampak. Udara masih cukup dingin, walaupun tidak sedingin di Eropa. Tapi tetap saja, dibalik selimut lebih nyaman bagiku.

"Sebentar lagi sudah subuh." katanya ".. Kamu semakin cantik saat cemberut. Seandainya tidak dilarang, aku ingin bercinta disini bersamamu." lanjutnya sambil tertawa.

Memangnya siapa yang melarang? Aturan adatkah? Rumit sekali hidup kaum inlander ini.

Setelah acara mandi kita selesai dia membantu mengeringkan rambutku.

"Warna rambutmu sangat unik. Apakah nanti anak kita juga akan memiliki rambut Sepertimu?" tanyanya

"Eeemmm.."

"Laki-laki atau perempuan, dia pasti akan secantik kamu." katanya lagi.

"Apa kau tidak bosan, terus merayuku seperti itu?"

Dia tertawa. Tertawa yang langka.

"Apa aku tidak boleh merayu istriku?"

Omong-omong soal istri, aku jadi teringat Daniel.

Apa dia sudah tahu bahwa aku kabur? Entah bagaimana reaksinya, tapi pasti bukan sesuatu yang baik.

Setelah memastikan aku sudah cukup hangat, Aryo kembali lagi ke sungai. Entah ritual apalagi yang dia lakukan, tapi yang jelas setelah berbasuh seperti itu, dia akan menghindari sentuhanku.

Ya, bahkan aku tidak boleh menyentuhnya. Mengesalkan sekali. Dia hanya mau kusentuh setelah dia menyelesaikan sembahyang paginya.

Aryo mendekatiku setelah selesai melakukan ritualnya.

"Kamu diam dulu. Jangan menyentuhku. Aku masih punya wudhlu. Masih ada satu hal lagi yang ingin kulakukan." katanya sambil berjongkok didepanku.

Dia mengelus perutku dan mendekatkan mulutnya di perutku. Dia melantunkan semacam doa. Suaranya sangat merdu. Dia melantunkannya dengan sangat indah. Hatiku tersentuh mendengarnya. Mataku berkaca-kaca. Kugigit bibirku untuk menahan tangis. Ini membahagiakan, ini mengharukan. Walau aku tidak tahu arti dari ucapannya, tapi aku tahu dia berharap sesuatu yang baik untuk anak kita.

Cintanya sungguh indah.

Ya, aku pun beruntung menjadi orang yang dicintai oleh orang sepertinya.

Sarapan pagi kita yang penuh kebahagiaan harus terganggu dengan kedatangan seseorang. Dia segera ber jongkok memberi hormat kepada Aryo, begitu sampai dihadapkan Aryo.

"Mohon ampun, Raden. Saya ingin menyampaikan pesan dari kedaton." jelasnya.

Aryo segera berdiri dan mengajaknya keluar dari pondok itu.

"Margie, tunggu disini, oke?"

Aku hanya menganggukkan kepalaku.

Mereka segera beranjak keluar.

"Apa?!" seru Aryo geram.