"Beristirahatlah..." ujar Daniel sambil menurunkan kembali rokku yang tersibak saat mengobati lukaku dan membetulkan selimutku.
"Bolehkah aku berada disampingmu?" tanyanya tanpa ada paksaan. "Aku hanya ingin bersamamu. Aku tidak akan melakukan apapun."
Sial! Sikapnya membuat kepalaku berdenyut sakit.
"Aku..."
"Tidak apa, jika kau keberatan. Aku akan keluar." sahutnya pelan, lalu beranjak pergi.
Kenapa aku merasa bersalah sekali?!
Ya Tuhan!
"Tunggu!" seruku saat Daniel membuka pintu kamarku "Aku akan bergeser. Kau bisa tidur disini." ujarku sambil menepuk tempat disebelahku yang memang masih cukup lebar bahkan untuk dua orang lagi. Aku beringsut hingga tepi kasur yang lain.
Dia memandangku tak percaya dan kemudian tersenyum.
Aku sungguh berada dalam dilema.
Dia sama sekali tidak berusaha menyibak selimutku untuk berada dibaliknya. Dia hanya berbaring di sebelahku.
Dia berbaring dalam posisi miring menghadap kearahku. Menatap wajahku lekat-lekat.
Aku benar-benar sangat tidak nyaman dan merasa canggung.
"Kau sungguh wanita tercantik yang pernah kukenal." ujarnya memecah kesunyian diantara kita. "Melihat tubuhmu penuh luka seperti ini, sungguh itu membuatku sedih."
Ah, sial sekali! Kenapa aku tadi tidak mampu menolaknya dan memintanya untuk pergi saja.
"Eemm.."
Duh, kenapa harus menjadi serba salah. Aku bahkan mulai merasa bersalah ketika Daniel semakin memangkas jarak kita.
Sial!
"Eee... Aku dengar... Aku dengar kau dekat dengan Pauliene?" tanyaku.
Kenapa aku harus gugup?
"Kenapa?" tanyanya sambil tersenyum kepadaku. "Kau cemburu?"
Sial! Apakah nadaku bertanya seperti wanita yang sedang cemburu? Yang benar saja?!
"Bukan!"
Ah, kenapa aku menjawab terlalu cepat. Justru menunjukkan kegugupanku.
Senyum Daniel semakin lebar. Dibelainya rambutku dengan lembut.
"Warna rambutmu unik.. Sangat cantik.." ujarnya lagi sambil memainkan helaian rambutku yang jatuh di dahiku. "Pasti anak yang akan kaulahirkan juga akan secantik dirimu."
Ada nada sakit dalam suaranya.
Aku memejamkan mata untuk memikirkan bagaimana menolaknya dengan halus.
Aku sudah cukup lelah untuk menerima kekerasan dari Daniel untuk kesekian kalinya.
"Daniel... Dengarkan aku.."
Aku menarik tubuhku hingga duduk bersandar pada kepala ranjang.
Daniel mengikutiku bangkit dari tidurnya dan duduk di sebelahku.
Aku tidak ingin Daniel semakin salah paham.
Dia menatapku penuh cinta. Dan itu semakin membuatku muak dengan diriku sendiri.
Aku tidak ingin siapapun tersakiti karenaku.
"Maaf, aku hanya ingin tahu, apakah kau benar-benar sudah membebaskan ibunda Aryo?" suara mengecil, kepalaku menunduk "Aku tidak ingin kau menyalahkan orang yang tidak bersalah karena perbuatanku. Jika ada yang harus kau hukum, itu adalah aku." lanjutku sambil memandangnya.
"Jangan khawatir, aku sudah membebaskannya begitu kau menjelaskan kemarin." jawabnya.
"Terimakasih." ucapku lirih. "Aku hanya ingin pulang." kataku. "Kau membuatku berasa seperti tahanan disini."
Air mataku tiba-tiba menetes tanpa kusadari.
Daniel menunjukkan wajah terluka.
"Margaret, aku tidak akan menjadikanmu tahanan rumah lagi, tapi berjanjilah kamu tidak akan menemui dan memutus hubunganmu dengan pria itu." pintanya. "Aku akan menerima semuanya. Termasuk anak dalam kandunganmu. Dia bisa terlahir dengan nama de Bollan di belakang namanya."