BAB 64. API

Dengan wajah marah Papa meninggalkan aku sendiri di kamarku.

Aku tidak punya jalan untuk menghubunginya.

Daniel berjanji akan membunuhnya jika aku masih berhubungan dengan Aryo.

Pagi itu aku mendengar banyak hal terkait dengan kondisi politik. Daniel dan pihak kumpeni mendapat banyak hak termasuk monopoli dagang dan tanah perkebunan dari keraton. Para ningrat sekarang sedang terpecah. Daniel sepertinya sengaja membuat kondisi itu.

Aryo salah satu yang dipersalahkan. Pelarianku waktu lalu membawa dampak keuntungan yang besar bagi pihak Daniel.

Dia semakin menekan keluarga Aryo.

Kenapa harus seperti ini?

Ini salahku. Rakyat disini sudah begitu banyak menderita. Aku pernah melalui jalanan yang berisi orang-orang kelaparan. Mereka tak tersentuh bantuan dari penguasa.

Aryo pasti juga tahu bahwa negerinya sakit dan disakiti. Rakyatnya menderita.

"Suatu saat mereka akan berontak." kataku kepada Daniel saat makan malam.

"Bisa apa mereka?" cibirnya "Mereka tidak punya persenjataan yang setara dengan milik kita. Dan mereka sangat bodoh dan mudah dipecah-pecah."

Aku tidak bisa menghabiskan makananku. Aku masih merasa bersalah dengan Aryo dan keluarganya. Dan mungkin aku harus merasa bersalah kepada semua orang yang pada akhirnya dirugikan karena ulahku. Aku tidak pernah berpikir bahwa hal itu dimanfaatkan Daniel untuk memperoleh keuntungan.

"Kembalikan apa yang sudah kau rampas dari mereka!"

"Aku tidak bisa. Itu diluar kuasaku." sahut Daniel

"Lalu siapa? Bukankah kau gunakan pelarianku sebagai alasan?"

"Itu hanya salah satu saja." jawabnya, "Memang tujuan kita disini adalah untuk menguasai mereka. Kita adalah ras unggulan. Mereka tidak memiliki pengetahuan sehebat kita. Persenjataan dan taktik politik mereka pun bukan apa-apa."

Daniel begitu menyombongkan bangsa Eropa. Suatu saat kita akan kembali ke negeri kita. Setelah merusak berbagai peradaban. Diskrimasi terhadap kulit hitam, bahkan hingga abad 19 masih ada.

Aku merapikan gelungan rambutku.

"Kau akan kemana?" tanya Daniel kepadaku.

"Aku ingin menikmati udara malam."

"Tidak!" tolaknya, "Kondisi sekerang belum stabil, beberapa waktu lalu ada seorang prajurit yang terbunuh. Memang kondisinya seperti sedang mabuk. Tapi itu berarti ada yang mengincarnya." jelasnya "Kau jangan kemana-mana."

Aku kesal sekali. Aku hanya ingin mendapat kesempatan untuk bertemu Aryo.

Sial!

Kulemparkan jepit rambutku diatas nakas, sehingga rambutku yang panjang jatuh begitu saja.

"Aku ingin tidur!" tukasku marah.

"Apa aku boleh menemanimu?" pinta Daniel.

"Tidak! Aku ingin sendiri."

"Baiklah." jawab Daniel menyerah.

Daniel memindahkan kamarku di lantai dua, karena kegemaranku membuka jendela dimalam hari. Menurutnya lantai dua lebih aman.

Ya, kamar itu lebih luas dan nyaman. Ada balkon dengan pemandangan bukit yang indah. Aku menyukainya.

Malam itu aku duduk didepan balkon. Aku melihat kearah langit yang tampak damai. Malam itu tidak ada awan yang menutupi bintang, sehingga kilauannya tampak begitu indah. Langit begitu bersih.

Kuangkat kakiku hingga kurasakan perutku yang mengeras tertekan oleh kakiku.

Baiklah Margaret, kau sekarang menjadi seperti babi. Pasti teman-temanku akan menertawakanku jika melihatku seperti ini.

Padahal usia kandunganku baru empat bulan.

Kelihatannya bayi ini sangat sehat. Syukurlah.

Bicara soal bayi, aku jadi teringat Aryo. Ah, sial, aku menginginkannya sekarang. Aku merindukannya. Merindukan sentuhannya, bibirnya dan semuanya.

Sial!

Apakah Aryo juga merindukanku. Kita berada di kota yang sama. Jarak yang cukup dekat. Tapi juga terlalu jauh sehingga kita tidak bisa saling jangkau.

Dia pasti akan kemari jika tahu aku disini.

Lantai dua bukan masalah bagi Aryo. Dia bahkan lebih profesional dari pemanjat tebing sepertiku.

Dia bahkan tidak butuh tali dan pengaman. Dia bisa melakukannya sambil menggendongku.

Tiba-tiba dikejauhan aku melihat kobaran api. Lama kelamaan semakin besar. Api itu semakin mendekat. Rumah-rumah kumpeni terbakar. Aku melihat orang-orang berlarian. Teriakan wanita menggema dimana-mana. Dari lantai bawah aku mendengar teriakan.

Ya, Tuhan!

Ini adalah penyerangan.

Siapa mereka?

Gubrak! Begitu saja pintuku terbuka lilinku mati terhembus angin. Seorang pria menerjang masuk ke kamarku.

Aku tidak memiliki senjata apapun. Aku mundur hingga punggungku menabrak jendela. Aku tidak memiliki tali untuk melompat. Dan lagi pula dibawahpun keadaan sudah sangat kacau. Api mulai menjalar.

Aku sudah merasakan panasnya.

"Kau akan tetap mati. Kau tidak akan bisa lari kemanapun!" ujar suara itu.