BAB 68. SESAAT UNTUKNYA

"Kau ingin mati ya?!"

Aryo tertawa terbahak-bahak. Tapi sesaat kemudian dia memegangi dadanya dengan wajah kesakitan.

Aku panik.

"Aryo!" seruku. "Kau jangan macam-macam."

Aku ingin penjelasan dari Aryo tentang kejadian ini, tapi aku melihat kondisinya tidak memungkinkan untuk itu.

"Margaret, ini cuma luka ringan bagiku. Aku baik-baik saja."

"Bagaimana kau bisa bilang baik-baik saja!" hardikku, "Kau baru saja siuman. Kau terluka. Bahkan tadi ada peluru bersarang di punggungmu!"

"Begitukah?"

Dia benar-benar tidak menganggap serius lukanya. Menyebalkan sekali.

"Aryo, bagaimana keadaan disana?"

"Entahlah... Anak buahku cukup banyak yang mati dan terluka. Aku berusaha mengamankan mereka terlebih dahulu sebelum menyusulmu kesini."

Sesaat kemudian dia menggerang kesakitan.

"Sudah! Jangan banyak bicara dulu. Kau sudah kehilangan banyak darah."

Aku memandangnya dengan perasaan campur aduk. Aku mencintainya, tapi kita saat ini berada pada kelompok yang bersebrangan. Tapi ketika orang-orang dekat kita yang menjadi korban, tidak peduli siapapun kita, pasti akan kecewa. Aku berharap Dhayu dan papa baik-baik saja.

Aku sungguh bodoh sampai menyelamatkan diriku sendiri tanpa memikirkan keselamatan orang lain. Harusnya aku membawa Dhayu bersamaku.

Tapi dia juga hanya inlander, dia pasti baik-baik saja.

"Kau menjadi istri seorang pelarian, sekarang. Apa kau kecewa?" katanya tiba-tiba.

"Kau berjuang untuk bangsamu. Kau adalah pejuang. Aku tidak berhak untuk kecewa."

Walaupun aku sangat membenci kekerasan. Tapi itu bukan sesuatu yang bisa dihindari di masa ini.

"Tapi yang kuperangi adalah bangsamu." katanya lagi.

"Kami yang memulainya. Kami menjajah negeri kalian. Kamu hanya ingin memperjuangkan hak negerimu.

"Kau sungguh wanita yang luar biasa." katanya sambil membelai wajahku. "Kau selalu membuatku jatuh cinta, Margaret."

Dia memandangi wajahku cukup lama sebelum melanjutkan, "Aku... Kami harus melakukannya.. Maafkan aku."

Suaranya terdengar lebih suram.

Memang aku tidak pernah berharap Aryo yang melakukan pemberontakan seperti ini. Tapi Aryo bukan pria pengecut yang hanya diam melihat bangsanya dianiaya. Ada perasaan bangga memiliki pria sepertinya. Tapi juga ada perasaan ngeri takkala mengingat bahwa musuhnya adalah kaumku.

"Aku mengkhawatirkan dirimu." katanya kemudian.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kau pasti kelaparan, bukan?"

Ya, aku baru menyadari bahwa aku sangat lapar. Tadi aku terlalu takut dan fokus dengan luka Aryo. Hingga aku tidak menyadari laparku.

Aku mengangguk.

Anak buah Aryo belum juga kembali. Sementara luka Aryo memang sudah tertangani, tapi itu masih membutuhkan perawatan lebih lanjut.

"Maaf, aku tidak memikirkan ini." kata Aryo.

"Sudahlah... Aku masih bisa menahannya."

Aku mencoba tenang, agar Aryo tidak khawatir.

"Aku baik-baik saja." kataku lagi.

"Semoga dia akan terlahir menjadi anak yang hebat." ucapnya sambil mengelus perutku. "Dia mungkin akan secantik kamu."

"Tapi kupikir dia akan setampan dirimu." selaku.

"Apakah dia laki-laki?" tanya Aryo sembari mencoba untuk duduk

Dia tampak sangat bersemangat.

Entahlah, tentu saja aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan. Disini tidak ada alat untuk mengetahui itu. USG belum ada, omnionsenteses tes pun tidak bisa dilakukan.

Aku jadi membayangkan bagaimana para wanita itu melahirkan jika harus melalui sc (bedah).

Aah, semoga aku bisa melahirkan tanpa kesulitan. Aku begidik mengingat bagaimana para wanita mengatakan bahwa melahirkan adalah proses yang menyakitkan.

"Kenapa?" tanya Aryo melihat perubahan air mukaku. "Apakah ada yang sakit?"

Aku menggeleng.

"Ada apa?" desak Aryo.

"Aku...eemmm, kata orang melahirkan itu menyakitkan. Aku takut."

Aryo tersenyum memandangku. Dielusnya rambutku. Pandangannya penuh cinta kepadaku.

"Andaikan bisa, aku ingin menanggungnya untukmu, Margaret." ucapnya. "... Tapi... Aku yakin kau sangat tangguh. Dan aku akan mendampingimu."

Aku mengangguk.

Ya, tentu saja. Aku ingin dia menggenggam tanganku di saat-saat itu. Berikan kekuatan untukmu. Menyeka peluh dan air mataku. Menyaksikan kebahagiaan itu bersama.

Aku memandangi wajahnya yang tampan. Wajah pria yang telah membuatku selalu jatuh cinta.

Sejenak kita melupakan apa yang telah terjadi. Sesaat kita lupakan status kita, ras kita dan apapun atribut kita. Yang ada hanyalah aku dan dia yang saling mencintai.