Dia berhenti dan memandangiku.
Kenapa?
"Apa kau pikir aku memiliki saudara kembar?" tanyanya kepadaku.
"Bukan begitu... Kau tidak seperti biasanya..."
Apa yang harus kukatakan? Apa aku harus memberitahu bahwa dia sebelumnya sangat polos dan sekarang kelakuannya mengejutkanku.
"Kenapa?" tanyanya. "Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Kau sudah melupakan suamimu" dengusnya.
"Bukan.. Aku... Hanya aku tidak tahu kau...Ini tidak seperti..."
"Aku hanya rindu. Aku hanya merindukanmu, Margaret. Aku ingin menyentuhku. Mengingat setiap jengkalnya, setiap lekukmu, saat kita tidak bersama nanti. Saat kita berjauhan."
Berjauhan?
Bukankah dia berjanji untuk membawaku bersamanya?
Kenapa kita harus berjauhan?
"Kenapa kita harus... Emmmppp..."
Dia bahkan tidak membiarkanku bicara. Bibirnya kembali melumat bibirku.
Aku berusaha melepaskan diri dengan mendorongnya.
"Aryo... Tunggu."
"Margaret?"
Aryo tampak terkejut.
"Tunggu..." ucapku sambil menahan tubuhnya yang telah mengunciku, "Apa yang terjadi denganmu? Ada apa, Aryo?"
Dia mundur dan terdiam untuk beberapa saat. Dia hanya memandangiku tanpa berkata apapun. Kemudian dia memungut kain jarik dan melilitkannya ke tubuhku.
"Maafkan aku." katanya lirih. "Aku hanya takut kehilanganmu, Margaret?"
Aku memandangnya tidak mengerti. Apa yang terjadi dengan Aryo? Kenapa dia seperti orang lain.
Dia bersandar ke dinding yang bersebrangan denganku. Dia memandangiku dalam diam. Wajahnya yang tampan dibawah pantulan sinar bulan, tampak suram penuh kesedihan.
"Aryo.. Katakan sesuatu. Apa yang terjadi?"
Aku mendekatinya.
"Margaret..." Dia menarik nafas, seakan sesuatu yang akan dikatakannya adalah hal yang sangat berat. "Daniel mencarimu. Dia membuat pengumuman bahwa kami sudah menculikmu, istrinya. Dia bahkan menawarkan tebusan agar kami mengembalikanmu atau dia mengancam untuk membawa pasukan lebih besar untuk membinasakan semuanya. Pasukannya terus menekan pasukan kami."
Dia berhenti sebentar sebelum melanjutkan, "Aku sudah kehilangan banyak orang pada pertempuran tiga hari yang lalu. Aku sudah berupaya sebaik-baiknya, tapi tekanan itu datang bahkan dari keluargaku sendiri, agar aku melepasmu...."
Suaranya semakin lirih dan penuh kesedihan.
"Aryo.."
Aku terisak. Aku menyadari betapa sulit posisinya. Dia harus melindungi orang-orangnya. Tapi bagaimana dengan nasib kita?
"Aku tidak ingin menyerahkanmu kepada Daniel. Tapi aku juga tidak ingin kamu hidup sengsara seperti ini. Aku... Margaret, aku bingung."
"Aryo... "
Aku beringsut dan memeluknya dengan erat.
"Aku hanya akan sengsara saat tidak bersamamu. Tidak tahukah kau? Aku sudah menjadi gila karena mencintaimu." batinku.
Aku tidak ingin membuatnya semakin sedih dengan keegoisanku. Ada banyak nyawa yang harus dilindungi oleh Aryo. Dan tekanan dari banyak pihak sudah cukup menyulitkannya.
"Margaret.."
Kusesap lagi bibirnya yang terasa hangat. Kubantu dia melepas pakaiannya.
Aktivitas kami membuat gelap berlalu dengan cepat. Aku bahkan belum terpejam sama sekali saat kulihat matahari mulai menampakkan sinarnya. Lengan Aryo masih mengunci tubuhku dengan lengannya.
Aku tidak bisa bergerak. Suara nafasnya yang teratur dan halus, menandakan dia sudah tertidur. Mungkin dia benar-benar lelah.
Padahal biasanya setelah bercinta dia akan langsung mencari air untuk mandi. Kali ini dia langsung tertidur.
Aku berusaha meloloskan tubuhku dari rengkuhan lengannya. Tapi semakin dia mengunciku dengan erat.
"Mau kemana kamu?" tanyanya dengan kondisi masih terpejam. "Aku masih ingin memelukmu, Margaret." gumamnya.
"Aryo. Apa kau yakin masih ingin tidur? Ini sudah lewat waktumu sembahyang pagi." kataku.
"Hmmm..." gumamnya tidak jelas.
Beberapa saat kemudian dia terbangun dengan panik.
"Masya'allah!" serunya.
Dia bergegas bangun dan turun dari ranjang. Dan bergegas untuk keluar.
Sebelum tangannya meraih kelambu bilik itu dan membukanya, aku berseru kepadanya,
"Tunggu! Aryo, kau masih telanjang."
"Ya Allah..."
Dia meraih pakaiannya dan dengan cepat memakainya.
Aku tertawa melihatnya begitu gegabah. Kita tidak sendirian di pondok ini. Masih ada nenek tua itu diluar sana, yang sepertinya telah lama beraktivitas.
Tidak biasanya Mr. Perfeksionis ini menjadi sekacau ini.
Aryo sudah tampak segar setelah kembali mendatangiku.
"Ayo.. Segera bersihkan tubuhmu." perintahnya dengan suara lembut.
"Aku masih ingin tidur.." rengekku.
"Apa perlu aku mengendongmu?"
Dia selalu memaksaku untuk urusan mandi ini.
"Kau bisa tidur lagi setelahnya."
Aku memberengut tanda tidak setuju dengannya. Tapi Aryo tidak pernah mau kompromi soal ini. Jadi aku hanya bisa mengikuti permintaannya. Tempat mandi itu berada di luar pondok, di tempat yang cukup terbuka.
"Tidak ada bak mandi disini." katanya kepadaku.
"Lalu bagaimana aku harus mandi?" gerutuku.
"Lakukan seperti yang kuajarkan sebelumnya...." dia berhenti sejenak dan tampak ragu-ragu.
Akhirnya dia harus ikut basah demi agar aku bisa mandi sesuai aturan
yang dia tentukan.
"Kenapa aku tidak boleh memasukkan tanganku kedalam ember itu?"
"Karena airnya tidak akan bisa lagi dipakai untuk bersuci."
Bersuci lagi. Aku bukan orang suci yang harus senantiasa bersuci. Bahkan aku terakhir menginjakkan kakiku ke gereja bersama nenekku saat masih di sekolah dasar. Setelah itu aku selalu kabur dari sekolah minggu.
Kami duduk berhadapan dengan piring penuh makanan. Nenek sudah memasak banyak lauk untuknya.
"Saya hanya bisa menyiapkan ini, Den."
"Nenek... ini sudah lebih dari cukup. Aku sudah mulai terbiasa dengan makanan buatan para prajurit di kamp." ujarnya sambil tertawa. "Pastinya masakan nenek akan terasa mewah dilidahku."
Nenek tampak sangat senang dengan pujian Aryo. Dia berusaha melayani Aryo sebaik mungkin. Dia begitu hormat kepada Aryo.
"Apa kau ingin disini bersama nenek?" tanyanya kepadaku
Yang benar saja? Nenek sihir tua itu sangat membenciku. Bagaimana mungkin aku ditinggalkan disini?!
"Tidak!" jawabku tegas. "Aku akan mengikutimu."
Aryo tersenyum sambil mengelus pipiku.
"Aku juga sangat menginginkannya. Terus bersamamu adalah keinginanku. Tapi aku juga paham bahwa itu sangat berbahaya untukmu." ujarnya dengan suara lembut. "Aku tidak ingin membahayakanmu, Margaret."
"Bawa aku bersamamu." tegasku. "Aku tidak tahu seberapa lama waktuku."
Aku menghela nafas memperhatikan kening Aryo yang terus berkerut.
Seberapa bahaya jika aku tetap mengikutimu? Aku bukan wanita lemah. Dan mungkin aku juga bisa membantu. Aku berjanji tidak akan menyulitkannya.
"Apakah kau lupa, kau sedang hamil, Margaret?" tanyanya dengan suara lembut.
Aku menggeleng. Aryo sedang merayuku. Dan aku biasanya akan menyerah dengan rayuannya.
"... Jadi kali ini kau harus memikirkan keselamatannya juga." lanjutnya sambil mengelus perutku dengan pelahan.
Sial!
Aku mengangguk. Aku setuju?
"Tunggu!"
"Ya?"
"Kau akan kemana?" tanyaku bingung.
"Aku harus bergabung dengan pasukan dari Yogyakarta." katanya.
"Raden tidak boleh memberitahu musuh soal itu." sela nenek dengan nada tidak senang.
"Musuh?" tanya Aryo kepada nenek.
"Dia."
Nenek menunjuk kearahku.
"Wanita asing ini bukankah dia istri dari Kepala pasukan musuh."
"Dia istriku, nenek."
"Bagaimana mungkin wanita memiliki dua suami?" cibirnya.
Aryo mengeratkan genggamannya untuk menenangkan aku yang sudah naik pitam.
Nenek sihir ini selalu mencoba bikin perkara denganku.
"Nenek... Hubungan kami memang rumit. Tapi sungguh tidak seperti yang nenek pikirkan."
"Raden terlalu baik."
"Tidak nenek... Dia wanita yang istimewa, nenek." kata Aryo sambil memandang lekat ke mataku.
Matanya yang penuh cita melunturkan setiap marahku.
"Bawa aku bersamamu, Aryo."