2. Buku usang

Ridwan melangkah gontai memasuki pekarangan rumah. Warna-warni bunga aster, melati, mawar, bougainville dan anggrek kesukaan sang ibu penghias taman, menyambutnya dengan semerbak aroma segar mewangi, tak jua memudarkan mimik bosan dan lelah di wajah tampannya.

Tiba di ruang tengah, mata elangnya menyipit, menyapu seisi ruangan. Lengang. Kemana orang-orang? Kok rumah kosong begini? Batinnya heran. Rasa haus memancingnya menuju ruang makan. Tiba-tiba ...

Brakk!!

Ridwan terperanjat. Hampir saja gelas yang dipegangnya. Agak kerepotan ia menangkapnya. Gelas bening itu terus tergelincir di tangannya. Beberapa detik cowok berambut hitam lebat itu berjuang mempertahankannya agar tidak terjatuh.

Hup!

Ah, hampir saja, batinnya lega. Air dingin dari kulkas meluncur deras melewati tenggorokannya yang kering. Secepat kilat isi gelas berbentuk tinggi ramping itu tandas. Perasaan puas jelas tergambar di wajah machonya. Seperti mendapat oase di tengah Padang pasir yang luas.

Tunggu! Teringat sesuatu. Kedua alis tebalnya mengerut. Sepasang mata elangnya kembali menyipit. Apa itu tadi? Suara apa itu? Apa yang jatuh?

Gedubrak!

Brug!

Ridwan buru-buru menghampiri arah suara berisik itu. Kayanya dari gudang bawah. Bergegas memacu langkahnya. Menuruni tangga menuju baseman yang bersebelahan dengan garasi mobil.

Bi Mar tampak bersimpuh memegangi lututnya yang terasa ngilu. Tampak dikelilingi barang-barang dan kardus-kardus berisi benda yang jarang dipakai. Kondisi gudang tampak berantakan. Padahal selalu orang tuanya selalu menyuruh Bi Mar dan Pak Jajang merapikannya minimal sebulan sekali agar tidak berdebu.

"Kenapa, Bi?" Ridwan membantu wanita paruh baya itu berdiri dan memapahnya ke kursi usang di dekat pintu.

"Makasih, Den," Wanita yang selalu memakai kerudung itu meringis memegangi lututnya, "maklum sudah tua, lutut suka sakit,"

"Kumat lagi, Bi?" Ridwan memasukan beberapa buku yang berhamburan di lantai ke dalam kardusnya semula. Debu yang bertebaran di udara membuatnya terbatuk-batuk kecil.

"Iya, Den, biasalah..." sahut Bi Mar memperhatikan anak majikannya itu penuh rasa terima kasih.

Beberapa benda bercampur dengan buku-buku yang penuh debu dijejalkan begitu saja ke dalam kardus-kardus besar. Lalu ditumpuk jadi satu di pojok gudang.

Sebuah dus besar yang diangkatnya jebol di bagian bawah. Menumpahkan isinya ke lantai. Ridwan tertegun kesal. Pemuda berusia 22 tahun itu berkacak pinggang menatap dongkol buku-buku yang baru saja dibereskannya itu kembali berserakan di lantai.

Melihat itu, Bi Mar hanya tersenyum kecut. Mata tuanya yang masih berfungsi normal itu nampak terharu menatap anak asuhnya yang perlente itu mau berkotor-kotor membantunya.

Keluarga majikannya ini memang tiada duanya. Selalu memperlakukan asisten rumah tangga dengan baik, bak keluarga sendiri. Pemuda yang pandai beladiri Wushu dan jujitsu itu bahkan memperlakukannya dengan hormat selayaknya orang tuanya sendiri. Dan iapun menyayanginya seperti anak sendiri.

Ridwan menghela nafas lega. Saat hendak menghampiri Bi Mar untuk membantunya keluar gudang, tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di bawah lemari tua. Sebagian kecil sudutnya saja yang tampak menyembul keluar. Sebagian besarnya berada di kolong lemari.

Mungkin benda itu tercecer saat terjatuh dari kardusnya tadi. Iapun mengurungkan niatnya memapah Bi Mar. Berjalan perlahan menghampiri lemari kayu jati yang tampak masih bagus itu.

Tangan kekar Ridwan menggapai benda yang tampak seperti buku itu. Matanya dengan seksama mengamati buku tersebut. Sampulnya berwarna biru muda. Tampak begitu usang. Tulisan-tulisannya di atasnya terlihat sudah pudar. Sebuah tulisan tangan nan indah tampak menghiasi sampulnya.

"Marion Black," bacanya pelan, kerutan di dahinya semakin banyak, "Siapa itu? Kenapa bukunya ada disini?"

Ridwan membolak-balik halaman buku diari usang tersebut penuh rasa ingin tahu. Lembar demi lembar tulisan indah di dalamnya dibacanya dengan seksama. Tulisan yang ternyata merupakan bait-bait puisi itu membuatnya terpukau. Untaian kata-kata terangkai indah membuatnya tertarik untuk terus membaca.

Selembar foto lusuh meluncur jatuh dari balik lembaran yang hendak dibukanya. Ridwan memungutnya segera dan kembali tertegun. Matanya tak berkedip menatap bingung gambar orang-orang di foto itu. Tak menyadari sepasang mata tua di sudut ruangan sedang mengamati gerak-geriknya sejak tadi.

"Ini ... siapa, Bi?" Tanya Ridwan penasaran menoleh sesaat.

Saat mengamatinya lebih dalam, iapun terkejut. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sekali lagi ditatapnya foto usang itu. Di dalam foto itu tergambar sepasang muda-mudi gagah dan cantik.

Sang pria memakai jas hitam lengkap dengan dasinya yang juga berwarna hitam. Di sebelahnya seorang wanita cantik berwajah timur tengah merangkul tangan sang pria. Wanita itu memakai baju pengantin. Keduanya tampak bahagia. Sang wanita memakai gaun pengantin berwarna broken white.

Tapi, yang menarik perhatian Ridwan adalah pria di foto itu. Sangat mirip dengan orang yang dikenalnya. Tapi sang wanita sama sekali tak dikenalinya. Ridwan termenung. Apa maksudnya ini? Ada perasaan terganggu mengusik hatinya. Siapa wanita ini?

"Bi, ini siapa? kenapa dia berfoto pake baju pengantin dengan Ayah?"

Bi Mar terkesiap. Meski sejak tadi sudah menduga Ridwan akan menanyakannya. Tetap saja ia terkejut.