–1

Gemintang kelap-kelip cahaya saling beradu terang di langit. Tanpa ada awan gelap ribuan bintang saling unjuk pamer sinar. Bagi Langit, malam ini adalah kali pertamanya menikmati keindahan malam hari meskipun memandang lewat bingkai jendela kamar. Diantara bintang-bintang yang sedang Langit amati, salah satunya ada yang menukik melesatan kencang. Langit tak berkomat-kamit untuk meminta keinginan. Baginya itu cuman dongeng semata. Menikmatinya adalah suatu kebahagiaan.

Langit memang menyukai segala keindahan alam. Hamparan bintang dikala gelap, senja diakhir petang, fajar terbit, rintik gerimis sendu, bau tanah selepas hujan reda.

Waktu berada di sepertiga malam awal. Mata Langit mulai merayu untuk segera terlelap. Namun tugas kuliahnya harus segera di selesaikan malam ini. Dosen kadang berlaga seperti dewa, seenaknya. Tugas diberikan saat sore. Lalu esoknya harus selesai.

Jentikan jemari yang beradu dengan tuts keyboard memecah hening malam. Sesekali terdengar desis angin. Kembali, matanya yang sudah layu dipaksa untuk tetap terjaga demi tidak dapat potongan nilai karena keterlambatan. Esok jam 8 pagi tugasnya harus segera di letakan di meja dosen. Langit memaksakan matanya untuk tetap fokus mengerjakan tugas. Asal-asalan mengerjakan bisa diganjar dengan huruf D. Matanya menyapu setiap huruf, memeriksa dengan jeli

***

Kapan aku sembuh, gumam Zafira dalam hati. Ini kali ke lima bolak-balik dalam satu bulan mengunjungi rumah sakit. Kelelahan menjadi sebab utama penyakit yang sedang diderita. Kadang darah mengucur dari hidung. Membuat ia takut terhadap dirinya sendiri.

"Dek jangan kecapean ya dijaga kondisinya" lima kali bertemu lima kali pula ucapan itu yang Zafira dengar. Obat yang ia terima pun masih sama.

Zafira sebisa mungkin menjaga kondisi. Minum obat teratur, makan makanan bergizi, dan tidur tidak lebih dari jam sembilan malam. Tapi tidak membuahkan hasil. Ia masih harus bertemu dengan dokter untuk berkonsultasi, jawabannya ya seperti biasa. Istirahat yang cukup.

Aku gamau sakit, tolong.

***

Buku, komputer jinjing, alat tulis, serta tugas yang semalam telah ia kerjakan sudah berderet rapi di dalam tas. Disisir olehnya rambut yang sudah menutupi telinga. Sepintas mirip Yuni Shara, hanya Langit memiliki kumis dan brewok yang tipis.

Langit tidak pernah memusingkan hari ini harus pakai baju apa atau warna apa. Baginya asal nyaman dan terlihat tidak kucel sudah aman. Lagi pula tidak ada yang naksir padanya.

"Pulang jam berapa?", sambil menyerahkan tempat makanan yang di isi nasi goreng.

"Jam 5", jawab Langit.

"Oh yaudah, hati-hati ka", ujar sang adik Kaila.

Dibelahnya kemacetan jalan Kopo di pagi hari dengan motor Honda CB-70 yang ia tunggani. Takut jika tugas yang ia sudah kerjakan semalaman malah dikurangi nilainya.

Langit memarkirkan motor, ia langsung melesat menuju ruangan dosen. Beruntung, saat ia menyerahkan tugas jam menunjukan pukul 7.30.

Sejujurnya, Langit bukan mahasiswa bertipe pengejar deret nilai A pada lembar transkrip nilai. Namun kali ini ia terpaksa karena hasil nilai utsnya kemarin minor. Dosen memperingati jika untuk mengkatrol nilai utsnya setiap tugas yang diberikan harus dikumpulkan tepat waktu.