Leon dan Nadia berbaring bersama di tempat tidur Nadia. Mereka sama-sama tertawa pelan setelah apa yang tadi mereka lakukan di dalam kamar mandi. "Gimana? Lu masih nganggep gue kaku setelah hampir setahun ngga ngapa-ngapain?" tanya Leon pada Nadia.
Nadia berdecak pelan. "Not bad, lah," sahutnya. "Udah diem dulu, gue mau merem sebentar."
"Kalo lu merem dulu, terus lu kapan siap-siapnya? Katanya mau hangout," timpal Leon.
"Gue sebentar siap-siapnya. Lagian ini baru jam berapa, sih? Kata Karina, kan, jam delapan malam. Masih lama." Nadia tiba-tiba menguap sembari meregangkan tubuhnya. Ia kemudian memiringkan tubuhnya dan memeluk Leon yang sedang berbaring di sebelahnya.
Leon hendak menghindar, namun Nadia dengan cepat memeluknya erat. "Sebentar aja, sih. Kita jarang-jarang kaya begini," pinta Nadia. "Just enjoy it."
"Hmmm," gumam Leon pasrah. Ia membiarkan Nadia memeluk tubuhnya. Leon menghela napas panjang ketika ia merasakan kaki Nadia yang bergerak di atas kakinya. "Nad, jangan mulai lagi."
Nadia tidak menyahut. Ia tetap memejamkan matanya sementara kakinya terus bergerak-gerak di atas kaki Leon. "Degup jantung lu kenceng banget, Le," ujar Nadia tiba-tiba.
"Masih nanya lagi," sergah Leon. "Itu gara-gara lu."
Nadia tersenyum pelan mendengar ucapan Leon. Ia kemudian melepaskan pelukannya dan menatap mata Leon. "Menurut lu apa yang kita lakuin tadi itu making love or just fuck?"
"Kalo kita pake perasaan ya itu making love. Kalo kita ngelakuinnya cuma buat rekreasi doang, ya, it is just fuck. Why?"
"Gimana kalo gue bilang, tadi itu gue make perasaan?" tanya Nadia.
Leon terdiam setelah mendengar pertanyaan Nadia. "Lu punya perasaan sama gue?"
"Bullshit kalo persahabatan kita ini ngga pake perasaan. Seenggaknya itu yang gue rasain," jawab Nadia.
Leon semakin keheranan dengan pernyataan yang keluar dari mulut Nadia. "Did you just confess your feeling?"
Nadia menatap Leon dalam-dalam. "Yes, I am. Sekian lama kita sama-sama, tanpa sadar perasaan itu tumbuh. Bahkan ketika gue punya pasangan pun, gue tetap ngga bisa jauh dari lu. Pada akhirnya, tempat paling nyaman buat gue itu cuma kalo gue ada di samping lu."
Leon kehabisan kata-kata setelah ia mendengar pengakuan Nadia. "I've lost my word." Ia terdiam sambil menatap Nadia yang ada di hadapannya.
Sepersekian detik Nadia membiarkan Leon terdiam. Namun semakin Leon diam, Nadia merasa suasana di sekitar mereka menjadi semakin canggung. "Say some—"
Nadia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Leon menyumpal mulutnya dengan bibirnya yang lembut hingga membuat Nadia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Akan tetapi Nadia merasakan sedikit perbedaan dalam ciuman yang diberikan Leon. Seperti ada sesuatu yang hendak Leon nyatakan namun ia sedikit kesulitan untuk mengungkapkannya menggunakan kata-kata.
Leon memilih untuk mengungkapkan kata-katanya dengan mendaratkan ciuman lembut di bibir Nadia. Ciuman ini terasa penuh arti bagi Nadia. Ia tidak sendirian memendam rasanya. Dalam ciuman itu Nadia bisa merasakan kalau Leon juga merasakan hal yang sama dengannya.
Setelah beberapa saat Leon melepaskan ciumannya, ia kembali menatap Nadia. "Jangan pernah pergi dari sisi gue. Apa pun yang terjadi, lu harus selalu ada di samping gue."
Nadia tersenyum sambil membelai wajah Leon. "Why would I go? I don't know where to go if I'm not with you. Take me wherever you go."
Leon tertawa pelan. Ia kemudian kembali berbaring di tempat tidur. "Lay on me."
Nadia menyambut permintaan Leon dengan segera berbaring di sebelahnya. Leon memejamkan matanya sembari memeluk erat Nadia yang berbaring di sampingnya.
----
Menjelang pukul tujuh malam, Leon dan Nadia akhirnya pergi meninggalkan apartemen mereka. Nadia gagal mengenakan midi dress merahnya dan mengenakan jumpsuit berwarna hitam dengan berlahan dada yang cukup rendah. Ia menambahkan statement pada penampilannya dengan menggunakan ikat pinggang berbentuk rantai. Rambut panjangnya ia kuncir ke belakang menyerupai ekor kuda. Di kedua telinganya ia mengenakan sepasang anting mutiara berwarna putih.
"Hmm," gumam Leon setelah melihat Nadia keluar dari kamarnya. "Lu ngga takut masuk angin, pake baju kaya gitu. Kan, tadi gue bilang, gue mau naik motor."
"Ngga, gue juga denger tadi lu bilang mau naik motor. Tapi, gue udah bilang sama Supir kita buat jemput gue. Lu silahkan aja kalo mau naik motor," sahut Nadia.
Leon sedikit mengerucutkan bibirnya. "Kirain kita bakal berangkat bareng."
Nadia langsung mengecup bibir Leon. "Lagian, kan, lu nanti mau ke tempat Aslan tanding. Makanya gue sekalian minta anter Supir," ujarnya setelah mengecup bibir Leon.
Leon manggut-manggut. "Supirnya udah dateng, kan?"
"Udah, dia udah nunggu di deket lobi katanya," jawab Nadia.
"Ya udah kita berangkat sekarang. Nanti, gue tunggu lu di luar, biar kita masuk bareng-bareng," ujar Leon.
"Awas lu, jangan masuk duluan tanpa gue," ancam Nadia.
"Iya, Nadia," timpal Leon.
Nadia tertawa pelan dan segera berjalan ke arah pintu apartemen mereka, sementara Leon sedang mengambil helm miliknya. Keduanya kemudian berjalan bersama menuju lift. Leon turun lebih dulu karena ia harus mengambil motornya yang ada di parkiran khusus penghuni apartemen. Sedangkan Nadia, ia turun sampai ke lobi. Setibanya di lobi, ia segera menelpon Supir mereka sembari berjalan keluar lobi.
Begitu mobil Mercedes-Benz hitam yang biasa ia gunakan bersama Leon tiba di hadapannya, Nadia segera masuk ke dalam mobil tersebut. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan Leon sudah keluar dari gedung. Di kejauhan, ia melihat motor Leon yang sedang melaju ke arahnya. Ketika motor Leon berhasil menyusul mobil yang dinaiki Nadia, Leon membunyikan klaksonnya lalu melaju mendahului mobil yang dinaiki Nadia.
----
Aslan keluar dari kamar mandi sasana milik Bang John sembari menyeka rambutnya yang masih basah. Ia berjalan ke arah sofa bututnya dan segera meraih ponselnya. Masih pukul tujuh lewat, pertandingannya baru akan dilaksanakan setelah lewat pukul sepuluh malam.
"Ngapain dulu, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tanpa sadar ia menghela napas panjang. Jika tidak ada Bang John maupun Juleha yang main ke sasana, sasana tempatnya berada saat ini memang sudah pantas disebut kuburan. Sepi dan sunyi. Bahkan mungkin jika malam minggu seperti ini, kuburan akan lebih ramai dibanding sasana milik Bang John.
"Makan dulu, deh. Di warung emaknya Juleha," ujar Aslan. Ia pun segera mengenakan pakaiannya. Setelah itu, ia meraih tas yang biasa ia bawa untuk bertanding dan segera pergi meninggalkan sasana.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.