WebNovelkembali100.00%

KEMBALI

Hari ini sama seperti biasanya. Hal yang dilakukan itu-itu saja. Tak ada yang berbeda setiap harinya. Aku bangun, mandi, salat Subuh, mufradat, persiapan pergi sekolah, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Kegiatan yang sama seperti pagi-pagi sebelumnya, seperti pagi lima tahun belakangan, sangat monoton.

Sudah lima tahun aku di sini, berdiri tegak di sini, berpijak pada tempat suci ini, berdiam diri di sini, makan di sini, belajar di sini, dan muqim di sini. Bagai katak dalam tempurung, sangat sempit dan kecil ruang lingkupku. Aku seakan terpenjara di sini, melakukan semua hal yang mereka katakan dan semua yang mereka inginkan. Menurut sajaku pada mereka seperti anak kucing yang ditemukan oleh pemilik barunya. Tapi, belum jua kutemukan hasil dari semua yang kulakukan lima tahun terakhir ini.

Sudah ku berjuang untuk membanggakan orang tua, keluarga, sanak saudara, serta guru-guru. Tapi, apalah arti dari sebuah niat tanpa usaha. Apalah arti sebuah jihad tanpa keikhlasan. Ya, kuakui aku salah dalam langkah ini. Niat yang hanya ada di hati tanpa ada sebuah pembuktian. Selama lima tahun terakhir aku hanya bermain-main saja, hanya bersantai-santai saja. Aku tidak pernah mencoba mengikuti ekstrakurikuler apa pun. Tidak pernah menjadi juara kelas. Bagaimana bisa jadi juara kelas? Kerjaku saja selalu tidur di kelas.

Sama halnya dengan hari itu. Aku baru saja merebahkan tubuh, mulai mengukur meja ingin tidur. Siang itu waktunya pelajaran Insya', tapi ustazah pengampu berhalangan hadir. Lalu, Selvi menghampiriku, mencegah tidurku.

"An, bolos, Yuk!" ajaknya spontan.

"Ayo, ke mana?" terimaku atas ajakan Selvi yang terdengar sangat mengasyikkan itu.

"Ke pasar, ana mau beli sepatu," katanya.

"Wah kebetulan, ana juga baru dapat kiriman sekalian nanti mampir ke tempat Si Om novel, ada novel BTS yang baru, lho. Itu yang mau ana beli," ucapku.

"Okelah, ba'da, ya!" balas Selvi.

Karena jam terakhir tidak ada guru, aku dan Selvi pun bergegas ke asrama, ganti baju, mengambil uang, dan mengatur strategi untuk bolos. Kami ke luar lewat pagar depan, untung saja Pak Satpam belum datang. Aku membawa satu buku yang kugunakan sebagai pengelabuan, sebagai tanda aku izin untuk pergi fotokopi. Kemudian aku dan Selvi berjalan beriringan dengan santai agar tidak terlihat mencurigakan. Gerbang terlewati dengan lancar. Sesegera mungkin kami berjalan ke arah jalan raya untuk menemukan angkot menuju pasar. Setelah tampak mobil umum bertuliskan tigo baleh itu, kami langsung masuk ke dalamnya. Berhasil sudah meloloskan diri dari pondok, hanya perginya saja, taktahu bagaimana pulangnya nanti dan itu biarlah nanti saja dipikirkan.

Saatnya bersenang-senang, menikmati kebebasan sesaat yang kami miliki ini. Setelah sampai di pelataran Jam Gadang, kami turun dari angkot. Kemudian, kami masuk ke pusat perbelanjaan Ramayana. Kami melihat satu demi satu barang yang dijajakan, hanya melihat-lihat tanpa ada niatan untuk membelinya. Setelah lelah berkeliling, kami pun bergegas ke masjid jami di sekitar guna menunaikan ibadah salat Asar. Bolos boleh, tapi salat jangan pernah tinggal.

Setelah menunaikan salat Asar, kami beranjak ke deretan toko sepatu yang ada di pasar atas, melihat-lihat sepatu mana yang akan berjodoh dengan Selvi. Sudah beberapa toko kami kunjungi tapi tak kunjung ada yang cocok. Ini harapan terakhir. Di toko terakhir inilah Selvi menemukan sepatu yang menarik minatnya. Bentuknya disukai oleh Selvi, kualitasnya bagus dan yang paling penting harganya cocok. Tak lama, Selvi langsung membeli usai proses tawar-menawar yang berlangsung lancar.

Setelah itu, kami beranjak ke tempat Si Om novel. Aku sudah berlangganan di sini. Taklama aku langsung mengambil buku yang sedari tadi ingin kubeli. Langsung ambil, langsung bayar, langsung pergi dengan mengucapkan terima kasih. Sekarang saatnya wisata kuliner. Aku dan Selvi terus menjajaki Jam Gadang ini. Sudah banyak makanan yang kami beli, mulai dari pensi, kue ape, somai, kacang rebus, es krim, dan pop ice. Apa yang terlihat langsung dibeli.

Hari semakin sore dan kami rasa ini sudah cukup untuk hari ini. Kami bergegas pulang. Kami berjalan cepat, takut-takut ketinggalan angkot tigo baleh. Sempit, pengap, dan amat sesak di dalam angkot hari itu. Angkot berjalan terus melalui rutenya. Beberapa penumpang turun di jalan hingga kami bisa duduk sedikit lebih lapang.

Aku dan Selvi berunding tentang cara kami kembali ke pondok sebab tak beberapa meter lagi angkot ini sampai di gerbang pondok. "Kiri, Pak!" ucapku pada sopir angkot. Kami turun dengan hati cenat-cenut. Kami berjalan selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati, memasang mata dengan tegas sekaligus was-was melihat sana-sini memastikan keamanan. Entah apa yang terjadi saat itu, tiba-tiba saja badan kami menegang, seolah nyawa dicabut saat itu juga. Seperti takada lagi darah yang mengalir dalam tubuh ini.

"Min aina antuma (dari mana kalian)?" tanya Ustazah Jannah dengan nada menyelidik menggunakan bahasa Arab .

"Min suq (dari pasar), Zah," balas Selvi mencoba memberanikan diri.

"Awalan, Zah," kata kami lalu bergegas memasuki gerbang mendahuluinya sesegera mungkin. Sejurus kemudian, kami langsung ke kamar, meletakkan barang belanjaan yang kami beli tadi.

Cemas masih menggerogoti hati kami. Puncaknya usai salat Magrib saat nama kami dipanggil untuk menemui Ustazah Fadhilah di rumahnya. Keputusasaan menjalar di sekujur tubuh kami. Kami beranikan diri menghadap ustazah, wali kelas kami.

"Assalamualaikum Ustazah," ucap kami serentak.

"Waalaikum salam," jawab ustazah dari dalam lalu membukakan kami pintu.

Kami masuk dan langsung duduk di kursi sofa miliknya.

"Baiklah, ke mana kalian tadi?" tanya ustazah dengan lembut.

"Ke pasar, Zah."

"Sama siapa izinnya tadi?" tanya ustazah lagi.

"Tidak ada, Zah."

"Kenapa tidak izin?"

"Kalau izin pasti tidak boleh, Zah" ucap kami pada beliau.

"Memangnya ada apa? Kenapa kalian sampai berani pergi tanpa izin? Kalau terjadi apa-apa, bagaimana?" ucap ustazah dengan nada kecewa.

"Kami bosan, Zah," ucap Selvi.

"MasyaAllah, Nak. Kalian hanya tinggal satu tahun lagi di sini, tidak akan selamanya tinggal di sini. Apa yang membuat kalian bosan? Jika kalian ingin ke luar, biasanya ustazah perbolehkan, bukan? Tapi memang harus dengan alasan yang jelas."

Tanpa kami sadari, air mata mengalir deras mendengar perkataan ustazah. Ustazah kecewa dengan tindakan kami. Kami telah merusak kepercayaannya. Ustazah menanyakan hukuman apa yang dapat membuat kami jera. Kami hanya bisa pasrah hingga akhirnya ustazah menyuruh kami membaca Al Quran sebanyak tiga halaman setiap usai salat Magrib di masjid. Kami harus membacanya lantang menggunakan mic selama satu minggu. Kami terima dan kami akui kami salah.

Setelah pulang dari rumah ustazah Fadhilah, kami langsung menunaikan salat Isya berjamaah di masjid. Kemudian dilanjutkan dengan rutinitas malam, belajar dan jika bel sudah berbunyi, kami beranjak tidur.

Begitulah terkadang rasa bosan membuatku ingin pergi ke mana pun, tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi nantinya. Rasa bosan membuat hati dan pikiran tidak sejalan. Selalu begitu, tapi ini yang pertama kalinya membuatku jera sebab baru kali ini aku ketahuan. Kalau tidak, tentu aku tidak akan pernah jera.

Aku menyadari, bagaimana pun kerasnya usaha jika tidak didasari dengan keikhlasan pasti akan mendatangkan banyak masalah, seperti rasa bosan dan malas. Apa yang dikatakan ustazah benar, aku tidak akan selamanya di sini. Jangan sampai keterpaksaan menghapus kenangan indah yang telah kuukir di sini. Kenangan yang membuat kurindu ingin kembali saat nanti beranjak pergi.