III-59. Lembayungku

Tatkala cadar rahim  terbuka, Aku lupa bahwa bumi masih berputar pada porosnya, bahwa siang bisa berganti malam, sore bisa berganti pagi, dan dia terkulai letih.

Lembayung[1] mendorong pujangga kian bergairah menggoreskan pena. Lembayungku  mengobarkan jiwa Adam gentur[2] meratukan. 

Laki-laki memang begini, tidak tahu diri, merenggut apa yang masih bisa dipungut. Mengerat apa yang dapat mengundang serundai[3]. 

Kesannya kami-kami yang menundukkan, kenyataannya kami yang di tundukkan. 

Rasa-rasanya nafas pendek tersengal ialah ulah kenakalan. Padahal para pemuja sedang merajut usaha, menghasratkan terbitnya sinar merah persona ratu, selaksa[4] lembayung senja. 

.

Lelaki yang tak pernah membayangkan dirinya bisa menikmati lantunan detik yang baru saja terlewati, membopong tubuh perempuan berbalut piyama handuk dengan kedua tangannya.