Prolog - Secangkir Kopi

Suara yang dalam dari vokalis Payung Teduh memantul dari dinding-dinding gedung serbaguna SMA 20. Suara musik ditambah bisik-bisik semua orang masuk ke telinga Avantika Prita Rengganis dengan sempurna, membuatnya mendesis sebal lantaran tak bisa berbuat apa-apa. Di tengah semua kebisingan itu duduk Tika, melipir ke dinding ditemani segelas sirup stoberi dengan es batu yang sempurna melumer. Tak ada secuil pun raut ingin bergabung dengan keramaian di wajahnya yang muram.

Si gadis meringis mengulang kalimat terakhir. Ia menatap pantulan sinar lampu warna-warni di atas cairan sirupnya sebelum menandaskan semuanya tanpa sisa. Ia tahu dirinya tampak menyedihkan sekarang. Namun bersikap seperti perempuan kuat saat hatinya hanya tersisa serpihan-serpihan kecil terdengar lebih miris. Mata coklat tuanya menyapu ruangan yang sudah diubah menjadi tempat pesta. Tidak bertujuan mengagumi hasil hiasan tangannya, tapi mencari seseorang. Laki-laki yang sudah 'mencampakkannya'. Cangkir kopi yang hilang di atas mejanya.

Tika memutar gelas kertas di tangannya yang sudah kosong. Ia terkekeh, meski suara yang keluar justru terdengar seperti helaan napas. Pikirnya ia takkan bisa melupakan nama itu. Juga nama lain yang akan selalu datang bersamanya. Ia adalah orang yang pelupa, tapi baru kali ini Tika merasa bahwa lupa adalah karunia Tuhan yang amat berharga.

Baru saja ia hendak bangkit saat seorang laki-laki melangkah mendekat. Rambut hitamnya nampak berkilau di bawah sinar lampu yang agak temaram. Matanya kecil, dengan lipatan mata yang nyaris tidak terlihat. Alisnya tajam dengan ujung yang runcing, membuatnya nampak terlihat marah setiap saat. Tika memandangnya heran, merasa aneh sebab ini adalah interaksi kasual pertamanya dengan laki-laki itu sepanjang masa sekolah mereka.

"Nih," laki-laki itu menyodorkan segelas sirup, "mau ambil minum, kan?"

Tika mengangguk. "Trims, Ga."

"Manda, Hayan sama Findi pada kemana, Tik?" laki-laki yang dipanggil Aga itu duduk di samping Tika. Tangannya menggenggam gelas dengan warna coklat gelap—segelas kola. Tika, yang pada awalnya hendak pergi mengisi gelasnya, ikut duduk.

Tika melirik bagian tengah gedung, tempat pesta. Memandang beberapa pasangan yang sedang asyik berdansa. "Tuh, liat aja," ia mengedikkan dagu.

Kepala Aga menoleh, mendapati orang-orang yang ditanyainya sedang berdansa pelan bersama pasangan masing-masing. Ia menahan napas sejenak sebelum kembali memandang lawan bicaranya. "You okay?"

"Pertanyaan kamu lucu," Tika tertawa, tapi tidak ada binar geli di kedua matanya. "Do I look like I am?"