Avery mengerutkan kening ketika aku menghampiri kedua tenda itu sambil membawa bungkusan berisi makanan.
Sudah ada perahu nelayan yang tertambat.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kamu berbau seperti Lust, Azalea," gumam Avery. "Yah, aku hanya penasaran mengingat kamu nyaris tidak pernah dekat-dekat dengan hal-hal berbau lust."
"Aku emang enggak dekat-dekat dengan lust atau apapun yang menyangkut dia," geramku. "Aku hanya mencari makan."
Kami duduk dan menunggu kedua teman kami yang sedang di dalam tenda keluar.
Mereka keluar beberapa menit kemudian.
Kami makan dan merapihkan tenda, mendorong perahu ke laut dan melompat masuk.
Avery dan Rick mendayung, berusaha keras agar perahu seimbang dan tidak terbalik. Rick berkali-kali telat mendayung sehingga perahu agak miring.
"Ya ampun!" seru Rick. "Tidak bisakah kamu meminta ibumu mengendalikan angin, Isla?" tanya Rick.
"Langit dan udara bukan daerah kekuasaan ibu!" seru Isla, protes.
Aku menghela nafas, melihat pertengkaran sepasang kekasih yang satu ini seolah aku sedang menonton drama saja.
Lumayan, drama gratis...
"Kalian tahu?" Avery yang saat ini sesang mendayung, menoleh. "Kita sekarang terus menuju tempat berbahaya, lho. Apa enggak apa, nih?"
"Maksud?!" Rick menoleh.
"Lho, kalian sama sekali enggak tahu, ya?" Avery mengangkat alis.
Aku meneguk minumanku sambil memandang lautan luas tanpa ujung.
Sejauh ini, belum ada makhluk aneh yang menghadang. Palingan hanya hiu atau paus yang langsung kabur ketika aku memunculkan arwah-arwah.
Aku melihat seekor paus menyembul.
Aku menyentuh permukaan air dan 1 zombie muncul, mengambang di air dan menatap paus itu.
"Kamu bisa menciptakan zombie?!" pekik Isla.
"Tidak," Aku menggeleng.
"Lalu itu apa?!" seru Rick. " Mainan?! Badut?!"
"Aku tidak menciptakannya," jelasku. "Aku hanya memanggilnya. Di setiap tempat, pasti ada orang yang meninggal. Apalagi di laut dan tidak jarang mayatnya tidak ditemukan, aku hanya perlu mengendalikan serpihan jiwanya."
"Ok, anak Necromancer memang tidak boleh dianggap enteng," kekeh Avery. "Setidaknya, kita aman dari paus ataupun hiu. Itu sudah cukup."
Kami mengobrol sambil kedua lelaki itu terus mendayung ke arah selatan.
Isla dan aku hanya bisa memastikan arah saja, tidak bisa membantu banyak.
Kadang, aku memanggil arwah yang meninggal di laut ini dan mengobrol dengannya. Tentang segala hal, termasuk tentang kematiannya.
Kematian mereka berbeda-beda. Ada yang karena badai, kehabisan bekal, tenggelam, dan lain-lain.
Aku juga tidak jarang memanggil Michaelis dalam bentuk gagak dan dia selalu menceritakan tentang keadaan ayah dan Last Place of Soul.
____________________________
Matahari sudah terbenam nyaris 2 jam yang lalu.
Kami belum menemukan tujuan kami.
00.00
Kami mulai kelelahan dan bosan, hingga kami memutuskan untuk diam di tempat. Membiarkan perahu tetap terombang-ambing selama terus ke arah selatan.
Tapi, ketenangan itu berubah.
Kami terkedut ketika air berpusar luar biasa cepat. Membuat perahu tersedot kebawah. Kami berusaha naik ke permukaan, tapi tidak bisa.
Hingga pasrah ketika sesak nafas.
Aku menyerah, berpikir bahwa ini memang akhir hidupku.
Aku memejamkan mata dan yang kulihat terakhir adalah kondisi teman-temanku yang tidak jauh berbeda denganku.
____________________________
Aku tersentak bangun ketika tubuhku seperti jatuh ke laut.
Aku nyaris pingsan ketika aku melihat laut yang airnya berwarna hijau daun dan pasir yang berwarna hijau muda dengan batu-batu berbentuk mirip seperti daun tak beraturan.
Aku berenang untuk menggapai ranselku.
Aku sendirian.
Aku tidak melihat ketiga temanku.
Aku berenang ke pantai sambil membawa ranselku.
Ketika aku menjejak di pantai, tubuhku basah kuyup. Rambutku lepek dan berantakan, diselingi rumput laut.
"Gyaa!" Aku menoleh ketika mendengar pekikan itu.
Seorang gadis kecil berpakaian lusuh berlari ke arah perkampungan.
Satu hal yang kusadari selanjutnya, aku melihat rombongan warga desa yang membawa lentera ke arahku.
Mereka mengoceh dengan bahasa yang tidak bisa kupahami.
Lalu, salah seorangnya menyeretku ke rumah paling pesar di perkampungan itu.
_____________________________
Aku di suruh istirahat dan diberi makan berupa roti, telur ikan, dan rumput laut.
Keesokan harinya...
Aku diberi pakaian yang mirip dengan pakaian mereka.
Rok panjang yang menyapu lantai berwarna hijau toska dengan pola bunga-bunga kecil coklat, atasan dengan lengan lebar dan bagian bawah yang mencapai pertengahan paha berwarna hijau toska polos, dan sandal tanpa hak coklat.
Aku disuruh membawa ransel dan diajak ke sebuah kastil (?)
Kastil itu terbuat dari batu kelabu yang dililit bunga aneka warna. Pagarnya terbuat dari emas dan penuh dengan bentuk bunga, jalan setapak yang diapit semak berbunga, taman indah yang rindang dengan aneka hewan langka berkeliaran, dan kami harus melewati lorong tumbuhan dulu.
Kami tiba di ruangan bulat dengan pilar-pilar mengelilingi (dililit tanaman), deretan kursi penuh orang dengan toga aneka warna, dan undakan menuju sebuah singgasana yang terbuat dari emas.
Seorang wanita berambut coklat panjang yang menyentuh lututnya berjalan anggun ke singgasana.
Dia memakai gaun yang menurutku kebesaran untuk dia berwarna hijau toska, perhiasannya terbuat dari emas dengan bentuk seperti bunga atau hewan langka, dan riasannya natural.
Rambut panjangnya itu dihiasi dengan lilitan bunga anggrek ungu. Hiasan rambutnya berupa bunga mawar merah dengan daun-daun kecil yang menjuntai, mahkotanya terhuat dari emas berhias permata-permata hijau berbentuk bunga dan hewan langka.
Dia duduk di singgasana dan tersenyum.
"Tidak perlu, Tetua desa," Ia tampak riang. "Lepaskan dia. Dia adalah anak dari kakakku yang terkuat, Necromancy."
Semua orang terpenjat dan membungkuk.
"Kemari, keponakanku," Ia tersenyum.