Perkenalan

Tiga bulan setelah lulus kuliah, aku dihubungi kakak tingkat di kampusku dulu yang juga merupakan mentor ngaji (murabbiyahku) melalui pesan singkat. Beliau bertanya apa aku siap menikah, "Dik, ada yang menanyakanmu. Mau mengajak ta'aruf."

Sekujur tubuhku berdesir tidak karuan. Aku tidak membalas sehingga akhirnya beliau menelepon. Beliau meminta emailku untuk mengirim file biodata. Setelah telepon ditutup, beliau mengirim SMS lagi. "Buka sekarang emailmu, Dik. Sudah Mbak kirim."

Aku bergegas menuju ke ruang tengah di rumah orang tuaku itu sambil mengetik balasan untuk Si Mbak. Kuhidupkan komputer dan mengaktifkan internet. Setelah terhubung internet, aku mengecek kotak masuk di emailku.

Ada satu email baru di antara beberapa email yang belum sempat kubuka. Kulihat ada email terbaru yang dikirim beberapa menit yang lalu. Kuunduh file yang dilampirkan Si Mbak dalam emailnya. Detak jantung yang tak karuan kurasakan makin kuat di saat layar komputer akhirnya menampilkan file yang terdiri dari 3 lembar berisi biodata orang yang dimaksudkan Si Mbak. Kupelajari biodata itu, aku tidak mengenali orang yang namanya tertera di situ. Dia lebih tua 2 tahun dariku, asli Jawa Timur. Sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Kemudian aku menemukan hal yang menarik hatiku, ternyata dia kuliah di kampus yang sama dan aktif dii organisasi mahasiswa ekstra kampus yang juga kuikuti.

"Dik, sudah dibaca? Mbak sarankan segera diagendakan untuk bertemu. Minta no hp tetehmu (teteh = murabbiyahku saat ini)."

Kubaca SMS Si Mbak yang tampak begitu bersemangat memfasilitasi proses ta'aruf ini kemudian membalasnya segera. Aku pasrah mengikuti semua alur yang tengah kuhadapi. Pikiranku masih tertuju pada sosok pengirim biodata itu, siapakah dia, apakah aku pernah mengenalinya? Aku mencari informasi tentangnya melalui teman-temanku yang sefakultas dengannya, dan tentu saja membuka jejaring Friendster. Aku terbelalak ketika menemukan namanya ternyata sudah ada di dalam list teman friendsterku.

Di profil friendsternya, aku tidak menemukan foto dirinya. Aku cermati teman friendsternya yang ternyata hampir semua adalah teman-temanku juga. Aku mengingat-ingat siapa saja orang yang berasal dari fakultas dengannya, yang seangkatan dengannya, namun aku tetap saja tidak berhasil mengenalinya. Baiklah, aku akan bersabar menunggu agenda pertemuan dengannya yang dijadwalkan weekend ini, hari Sabtu di salah satu mesjid dekat balaikota dan cukup dekat dengan pool shuttle travel yang ditumpanginya dari Jakarta. Kata Si Teteh, dia hanya bisa saat weekend agar tidak meninggalkan pekerjaan.

"Tumben pagi-pagi udah rapi?" Papaku yang baru pulang olahraga pagi berkomentar saat melihatku memilih sepatu di rak. "Mau ketemu orang, Pa," jawabku. Kuharap Papaku tidak bertanya dulu. Beliau diam saja tetapi menatapku lekat-lekat seraya mengernyitkan dahi. "Apa sih, Pa?" "Mau Papa anter?" "Nggak usah, Pa. Ke mesjid Ukhuwwah situ aja, kok. Aku ngangkot aja." "Ketemu orang kok di mesjid? Kirain di mall?" Papa mulai curiga. Aku segera pamit dan mencium tangannya. "Nanti aku ceritain, Pa." "Papa jemput aja nanti, SMS Papa kalau sudah selesai, kita mau foto." "Ngapain foto?" "Udah sana, nanti Papa ceritain." Papa meniru ucapanku sambil tertawa. Aku tertawa kemudian mengucapkan salam.

Dekorasi mesjid ini didominasi warna putih. Langit-langit mesjid itu penuh dengan lampu kristal kecil-kecil yang memantulkan cahaya ke setiap sudut bangunan itu sehingga keindahannya semakin mempesona. Pagi itu cukup dingin, tetapi matahari tetap bersinar benderang. Di sisi kanan bedug besar mesjid itu, aku bersama Teteh dan kakak laki-lakinya duduk menunggu kedatangan dia. Kakak laki-laki Teteh mengambil ponsel dari sakunya kemudian berbicara, lalu beranjak setengah berlari meninggalkan kami. Teteh bilang sambil tersenyum kepadaku, "Kayaknya dia udah sampai."

Aku menoleh ke arah gerbang mesjid dan terperangah seketika. Wajah itu.. tidak asing bagiku. Kurasakan kedua telapak tanganku semakin basah. Kakak Si Teteh berjalan berdua dengan seorang laki-laki berjaket abu-abu, menggendong tas ransel, berjalan memasuki mesjid. Sebelum mereka tiba di sisi bedug, aku izin ke toilet. "Teh, saya ke air dulu, ya?" "Eh, buruan atuh, itu udah datang, deg-degan yah?" sahut Teteh sambil tertawa kecil.

(air = kamar mandi, Bahasa Sunda)

Aku mengatur nafas dan diam sejenak di selasar antara kamar mandi dengan bangunan mesjid. Kupejamkan mata dan membiarkan serangkaian ingatan singkat yang kukira telah kulupakan serta merta muncul begitu jelas saat ini. Aku mengenal wajahnya. Aku tahu dia. Aku pernah berinteraksi dengannya di suatu demonstrasi. Hanya saja, aku tidak tahu namanya. Aku masih ingat wajah kakunya beberapa tahun lalu begitu pula intonasi suaranya yang tegas kala itu, memintaku dan seluruh muslimah peserta demonstrasi segera mencari tempat berteduh dan naik ke angkutan umum untuk pulang. Saat itu pakaian dan jilbabku berwarna putih tulang yang dalam kondisi basah kuyup menjadikannya tidak sempurna menutup aurat.

Tidak adanya tempat berteduh membuat aku dan seorang temanku memutuskan berlari kecil menuju halte mikrolet. Saat kami berlari, ada seseorang yang juga merupakan peserta aksi memanggil kami, mengejar dan meminta kami berhenti, "Ukhti, berhenti sebentar!" Aku membalikkan badan. Dia berdiri beberapa jarak dari tempat kami berdiri bersama seorang temannya. "Lain kali jangan menggunakan pakaian berwarna putih. Saat kehujanan jadi kurang bisa menutup aurat," ucapnya. Ia melepaskan jaket yang ia kenakan dan memberikannya kepadaku. "Pakai ini, boleh dikembalikan di markas," sambungnya lagi. Kupandang wajahnya sekilas. Kusambut jaket yang disodorkan kepadaku. Aku mengangguk lalu memakai jaket itu.

Aku ingat sore yang dingin itu berubah menjadi cukup hangat setelah kukenakan jaket hitam yang dipinjaminya. Aku menyadari, kesamaan peristiwa telah membangkitkan ingata yang sudah hampir terlupa. Sore itu cukup menghangatkan perasaanku sekaligus pedih...mengingat dulu saat SMA, Binar pernah melakukan hal yang sama, ia meletakkan jaketnya di pundakku ketika bajuku basah kuyup setelah menyeberangi kali pada kegiatan PRAMUKA di luar kota. Ia mengomeliku dengan alasan yang sama: baju basah akan menempel dan menjiplak tubuh, sehingga perlu ditutupi, katanya.

"Mentari, hayuk..itu udah ditunggu!" Teteh datang membuyarkan lamunanku. Kami kembali menuju tempat tadi. Laki-laki yang kukenali wajahnya itu mendongakkan kepala, melihat ke arahku, dengan senyum manis yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sulit bagiku untuk tidak membalas senyumannya. "Kenapa sampai ke air, deg-degan, yah? Udah pada kenal 'kan ini teh?" Kakak si Teteh mencoba mencairkan suasana. "Saya tau orangnya, tapi ga pernah tau namanya, Kang. Baru ngeh ya sekarang ini," jawabku tersipu. "Nah, baguslah. Sok atuh ngobrol sekarang."

Sosok sederhana yang ada di hadapanku ini tidak banyak bertanya. Ia hanya menanyakan kepadaku mengenai pernikahan dalam pandanganku, membahas tentang apa yang ada dalam benakku tentang membangun sebuah keluarga. Ia tidak bertanya berapa banyak hafalanku seperti yang aku takutkan, tetapi ia menanyakan berapa lembar aku membaca Qur'an. Ia tidak mengecek wawasanku tentang harga sembako, harga cabai, bawang, dan sejenisnya...tetapi ia bertanya apa aku siap untuk belajar menjadi pendamping dirinya dan memaksimalkan ikhtiar di bawah bimbingannya kelak? Dan aku heran melihat dia hanya tertawa saat aku bercerita tentang sifat-sifatku yang melekat dalam kepribadianku.