"Jadi lo lihat Zaidan Abriana versi manusia?" tanya Natasha yang masih berusaha menahan tawa setelah mendengar cerita konyol dari mulut Hazel.
Perempuan itu mengangguk. "Gue juga lihat lo disana."
Kali ini Natasha langsung menutup rapat bibirnya. "Ada karakter gue disana?"
Hazel mengangguk. "Ya. Disana lo jadi pacar Kim Samuell. Kita berempat sama-sama bekerja di stasiun berita INDOnews."
"Sebentar ..." Natasha menggigit bibirnya. "Kim Samuell keturunan Indo-Korea, reporter INDOnews?"
Hazel mengangguk.
"Ba-bagaimana bisa lo tahu kalau gue baru aja jadian sama Sam?" Natasha mengguncang bahu Hazel. "Lo tahu dari mana?"
"J-jadi, lo beneran jadian sama Sam?" Hazel terkejut bukan main.
"Tunggu!" Natasha langsung meraih ponselnya untuk menyelidiki identitas kekasih barunya tersebut. "Zel, lo masih inget kalau dulu lo pernah kerja paruh waktu di coffe shop di Depok? Lo sering manggil bos lo dengan sebutan 'Tuan Kim' yang aslinya punya nama lengkap Eddy Kim, lo tahu?"
Hazel menggeleng.
"Ternyata bos lo itu punya anak laki-laki lulusan dari kampus yang sama dengan kita dulu, Kim Samuell. Dan Sam pacar gue lulus empat tahun lebih dulu dari kita." Ujar Natasha setelah memeriska profil pribadi kekasihnya sendiri. "T-tapi gak mungkin kalau cerita itu––"
"Gue bisa buktikan."
"Caranya?" tanya Natasha penasaran.
Hazel bangkit dan menuruni ranjangnya. Tubuh rampingnya berlari keluar kamar menuju kamar milik ayahnya. Natasha menyusul dengan wajah penuh tanda tanya. Sebenarnya dia masih belum mengerti dengan apa yang diceritakan Hazel. Tapi mau bagaimanapun, dia tetap harus memberikan sahabatnya itu kesempatan untuk membuktikan semuanya.
"A-ayah." Bibir Hazel bergetar saat melihat tubuh Adipati mematung memunggunginya. Menggenggam selembar kertas putih ditangan kanannya. "J-jangan bilang kalau itu surat dari dokter?"
Adipati menoleh dan langsung menyembunyikan kertas itu dibelakang punggungnya. "Ba-bagaimana––"
"Dan jangan bilang kalau disana tercatat ayah positif mengidap penyakit liver ..." Hazel memejamkan matanya sejenak. "Ayah––"
"Maafkan ayah, Hazel." Pria itu menunduk dan menitikan air matanya.
"Sejak kapan?"
"Beberapa bulan yang lalu."
Hazel menunduk. "Novel itu benar. Apa yang dikatakan Zaidan itu benar."
"Zel, maksud lo apa? Zaidan bilang kalau om Adipati mengidap penyakit liver?"
Hazel mengangguk lemas. "Lebih tepatnya, ayah meninggal karena penyakit liver."
Sejak saat itu Hazel tak bisa berhenti menangis. Adipati, pasien pengidap liver saja terlihat jauh lebih tenang. Sedangkan Hazel masih belum bisa menerima kenyataan kalau ayahnya dinyatakan sekarat oleh dokter. Berkali-kali Adipati berkata kalau dia akan baik-baik saja, tapi Hazel masih saja menangisinya.
"Tidak ada satupun makhluk yang bisa menghindari kematian dan tak ada satupun yang tahu kapan kematian itu datang. Jikalau ayah harus meninggal karena penyakit ini, tak apa. Semua akan kembali pada-Nya. Kita hanya perlu bersiap dan mengikhlaskan segalanya."
"T-tapi––" Hazel menatap wajah ayahnya dengan tatapan sendu.
"Semua sudah ada jalannya. Sudah ada skenarionya. Jadi tenang saja, kita akan tetap baik-baik saja." Potong Adipati sambil mengusap bahu Hazel lembut.
"Hazel!" teriak Natasha dari ruang tamu. "Kemari cepat!"
"Ada apa?" tanya Hazel yang masih saja menggenggam tangan Adipati kemanapun dia pergi.
"Itu!" tunjuk Natasha pada layar televisi yang tengah menyiarkan siaran berita INDOnews.
"Za-Zaidan?!"
Mata Hazel dan Natasha kompak terbelalak tepat setelah sang presenter berita tersenyum hangat ke arah kamera. Wajahnya terlihat sangat tampan dan sempurna seperti karakter komik. Dan dari semua ciri-cirinya, Hazel bisa langsung menebak kalau presenter tampan itu tak lain kekasihnya sendiri ditahun 2022, Zaidan Abriana. Bedanya saat ini Zaidan masih terlihat sedikit manis dengan potongan rambut slick back atau lebih akrab dengan sebutan rabut klimis ala pria kantoran. Tubuhnya masih terlihat sedikit kurus, berbeda dengan postur tinggi besar dirinya ditahun 2022. Meski begitu, tampilan Zaidan saat ini terlihat sangat fresh khas anak muda. Otot-otot ditubuhnya belum sesempurna ditahun 2022, tapi sama sekali tak mengurangi sisi ketampanan dan sexy seorang Zaidan Abriana.
~~~@~~~
Perpustakaan Depok, 2019.
Seperti yang tertera dalam novel, kisah perjalanan hidup Zaidan Abriana mulai disoroti publik. Tepat dihari pertama dirinya menduduki kursi presenter atau pembaca berita INDOnews petang, sejak saat ini namanya kian melambung tinggi. Zaidan Abriana sukses menjadi trending dibeberapa media seperti: Google, Twitter, Instagram, dan Youtube. Nama kunci pencarian terlihat random seperti: presenter tampan INDOnews, presenter bermata hazel, presenter bule, jurnalis jenius 2019, Face Genius, Sexy Brain, dan kata kunci pencarian lainnya.
Tidak hanya visual sempurna yang berhasil menarik perhatian khalayak umum, tapi juga pembawaan dan kepiawaian Zaidan dalam berbicara sukses menuai banyak komentar positif dari netizen. Karena kesuksesan dan kepopuleran Zaidan, pihak televisi akhirnya mengajak Zaidan untuk menandatangani kontrak kerjasama sebuah acara jurnalistik. Merasa tertarik, Zaidan mantap menerima tawaran sebagai pemandu talkshow yang berfokus membahas topik-topik menarik yang tengah terjadi dimasyarakat, disertai dengan tamu undangan narasumber kelas terpercaya.
Dan kini wajah dan nama Zaidan sukses tersebar dipenjuru tanah air sebagai bentuk dukungan masyarakat akan kesuksesan Zaidan Abriana. Disepanjang jalan terdapat spanduk, baliho, dan juga papan billboard diberbagai tempat yang berisi wajah Zaidan bertuliskan petikan kata atau kalimat inspiratif yang pernah terlontar dari bibir Zaidan Abriana.
"Didepan kamera dia terlihat pandai berbicara, tapi dibalik layar bibir manisnya langsung terkunci rapat. Apakah mereka tahu seberapa menyebalkan dan protektif pria itu pada kekasihnya? Apakah mereka tahu kalau kehidupan Zaidan sangat berbeda didepan dan dibalik layar? Zaidan Abriana, siapa kau sebenarnya?" tanya Hazel entah pada siapa. Termenung memandangi sekeliling perpustakaan yang mulai terasa sunyi dan sepi.
Hazel menengadahkan kepalanya keatas, tepatnya pada salah satu buku incarannya. Letaknya paling puncak dari susunan buku-buku lainnya. Wanita itu mengerucutkan bibirnya, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Berjalan mengitari ruangan, berharap menemukan tangga yang bisa memudahkannya untuk menggapai buku incarannya itu. Namun lagi-lagi dia mendesah berat, tak ada tangga maupun petugas perpustakaan didekat sana.
"Tinggi banget," gumam Hazel dengan suara tertahan.
"Cari apa?" tanya salah seorang pengunjung pria dengan suara rendah yang sangat khas, berdiri tepat dibelakang tubuh kecil Hazel.
Dari arah belakang, bisa dilihat bagaimana postur tubuh pria itu berdiri tegap. Jika ada pujian yang lebih dari kata 'sempurna' mungkin bisa kita berikan untuknya. Bagaimana tidak, dari arah belakang saja kita bisa tahu bahwa pria itu memang mempunyai pesona tampan dan keren. Dengan tubuh tinggi yang menjulang, sepasang kaki panjang dibalut celana jeans hitam dengan gesper warna senada, kemeja hitam bergaris yang sengaja digulung sampai siku, dan sepatu skets berwarna putih.
Terlihat jelas bagaimana lekuk tubuhnya yang sexy seperti model. Jam tangan hitam yang melingkar dipergelangan tangannya, entah berapa jelasnya harga benda itu, yang pasti semua orang bisa tahu bahwa jam tangan itu memang berada digolongan atas. Dari samping, terlihat bentuk wajah yang begitu sexy dan tampan. Dengan bentuk rahang yang tegas, hidung mancung, bibir penuh, kulit putih, dan bulu mata lebat nan panjang yang terlihat begitu cantik. Sempurna.
"Mas, bisa bantu saya ambilkan buku itu?" Hazel membalikan tubuhnya dan kemudian membelalakan bola matanya. Bergerak mundur untuk menghindari tabrakan dengan tubuh pria yang kini tengah berdiri tegap didepannya.
Caranya salah. Hazel memang terhindar dari tabrakan tubuh pria jangkung itu. Tapi karena satu kakinya melangkah terlalu jauh, alhasil ia tergelincir dan hampir terjerembab kelantai. Entah musibah atau anugerah namanya, tubuhnya tertahan diudara dikarenakan lengan besar yang sigap menyangga pinggangnya saat itu juga. Satu lagi kelebihannya, pria itu juga memiliki refleks yang bagus.
Hazel melengkungkan tubuhnya, berusaha keras untuk menyeimbangkan bobot tubuhnya agar tak terjerembab. Mulutnya terbuka lebar, kedua bola matanya membulat, terkejut bukan main. "Za-Zaidan?"
Dia tidak jatuh, sama sekali tak terjerembab ke lantai, tapi perlahan tubuhnya bergerak naik. Dan satu lagi kejanggalan yang ia rasakan. Kini, pria yang memiliki wajah mirip Zaidan––itu tak lagi menggunakan satu tangan, melainkan keduanya. Dia memeluk pinggang Hazel dan mengangkat tubuh kecil itu keatas. Entah karena ototnya yang kuat atau memang bobot tubuh Hazel yang terlalu ringan. Intinya, tangan itu mengangkat tinggi tubuh Hazel seperti tak merasakan beban berat.
Hazel menundukan kepalanya, melihat bagaimana Zaidan memeluk tubuhnya. Dia melihat dengan jelas bagaimana kedua tangan itu melingkar gagah disekeliling perutnya. Menahan dan mengangkat tubuh kecil itu cukup tinggi. Secara tak sadar bibir Hazel terangkat, dia baru saja tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, didunia nyata, dia bertemu pria setampan dan sepopuler Zaidan. Dan bonusnya, dia mendapatkan perlakuan manis bak adegan romantis yang biasa terjadi diserial drama atau film layar lebar saja.
"Cepat ambil. Tangan saya pegal!" geram pria itu dari bawah.
Hazel tersadar dan langsung mengerjapkan kedua matanya cepat. Tangan kanannya bergerak keatas, mencoba untuk mengambil buku bertulisan Citizen Journalism, sedangkan tangan kirinya bertumpu pada bahu kekar Zaidan. "O-oke."
Pria itu menatap tangan kiri Hazel yang mulai bergetar diatas bahunya. Bibirnya perlahan bergerak, mengembangkan senyum manisnya yang sangat jarang ia perlihatkan pada orang lain. Dia menyukai ini, pemandangan dimana tangan kiri Hazel yang bertengger dibahunya. Senyum manis adalah tanda kalau dia bukan tipe orang yang mampu menyembunyikan perasaan tertariknya. Andai manusia mampu mendengar suara dengan frekuensi rendah, sudah dipastikan Hazel bisa mendengar detak jantung Zaidan yang mulai bergemuruh.
"Arghhh!" Hazel berteriak dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar. Gadis itu kehilangan keseimbangan. Tubuh rampingnya melengkung dan merosot kebawah.
Zaidan gelagapan. Dengan cepat ia membalikan tubuh Hazel dan melingkarkan kedua tangannya disekeliling pinggang ramping milik Hazel. Keduanya terdiam dengan posisi saling berpelukan. Tangan kanan Zaidan menahan pinggang Hazel, sedangkan tangan kirinya memeluk bahu perempuan itu. Keduanya terdiam, tak ada lagi jarak diantara mereka. Tubuh keduanya saling menempel, Zaidan memeluk erat tubuh kecil Hazel dan merapatkan ke tubuhnya.
Kedua bibir Hazel terkatup rapat membentuk garis lurus. Sedangkan kedua tangannya tepat berada diantara tubuh keduanya, dia menyangga dada Zaidan untuk memberi jarak. Telapak tangannya merasakan sesuatu yang berdegup didalam sana, untuk yang pertama kalinya Hazel bisa merasakan degup jantung manusia sedekat ini, seindah ini. Sebelumnya dia memang sudah bertemu Zaidan, tapi rasanya untuk kali ini terasa jauh lebih berbeda. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan, Hazel tidak bisa mendekripsikan perasaannya. Disisi lain Hazel pernah merasakan degup jantung pria seperti ini sebelumnya. Hazel pernah mendengar irama detak jantung seindah ini ditempat dan waktu yang berbeda.
"Malaikat?" gumam Hazel. Menatap mata Zaidan intens.
Sekarang giliran jantung Hazel yang berdetak berirama, seperti melodi yang menyeimbangkan dan mengiringi detak jantung pria asing dalam pelukannya. Dia mengangkat dagunya, tak lagi menunduk atau menatap tangannya diatas dada Zaidan. Dan sekarang Hazel melihatnya, menatap kedua bola mata cokelat hazel milik Zaidan.
Bukan wajah tampan yang membuat Hazel lupa berkedip. Tapi kedua mata itulah yang mengingatkannya pada sosok yang pernah menolongnya dalam mimpi. Pria yang menutup matanya saat melihat dua orang bunuh diri diujung tebing. Dibawah rinai hujan, seseorang melindungi tubuh Hazel dari cipratan air, menjadikan punggungnya sebagai tameng pelindung.
"Apakah kamu malaikat itu? " tanya Hazel lagi, masih menatap kedua mata Zaidan lekat.
Zaidan terdiam, sama sekali tak menggubris ucapan Hazel. Yang ia lakukan hanyalah mendekatkan wajahnya dengan wajah Hazel, menatap bola mata gadis itu lembut dan membuka sepasang bibir merah alami yang cukup menggoda. Sekarang Hazel baru menyadari sebagai wanita, dia bisa saja iri dengan Zaidan. Pria itu memiliki segalanya, fakta sosok peri laki-laki kini terbukti kebenarannya. Dan ketampanan Zaidan adalah bukti dari segala julukan yang orang lain berikan padanya. Sepertinya bukan hanya tampan, dia juga memiliki sisi cantik dan lembut yang bersatu dengan aura tampan yang khas alami.
"Pejamkan matamu!" pinta Zaidan dengan suara bariton khasnya.
Tubuh Hazel menegang, namun tetap mengikuti perintah Zaidan untuk memejamkan matanya. Dia pernah mendengar seseorang memintanya untuk memejamkan mata. Dari sekian banyak orang yang memintanya untuk memejamkan mata, hanya suara Zaidan yang sukses mengingatkannya pada laki-laki dalam mimpinya.
PLUK!
Hazel membuka matanya.
Perempuan itu terkejut saat melihat sebuah buku jatuh, mendarat tepat ditengah-tengah mereka. Menjadi penghalang antara wajahnya dengan wajah Zaidan. Citizen Journalism adalah judul buku yang sempat diraihnya tadi. Sebelumnya dia sempat menyentuh ujung buku itu, namun sebelum sempat mengambilnya, tubuhnya tiba-tiba oleng dan merosot kebawah.
"Kamu bisa berdiri?" tanya Zaidan.
Hazel tersadar. Dengan cepat menyingkirkan buku itu dari wajah mereka, membiarkan Zaidan untuk melepaskan tubuhnya saat itu juga. Hazel melangkah mundur, menjadikan rak buku sebagai tempatnya bersandar. Dadanya bergerak naik-turun cepat, dipeluknya buku tebal itu tepat didepan dadanya, menyembunyikan deru napasnya yang tak beraturan.
"Ma-maaf … terimakasih."
"Terimakasih untuk apa?"
"Telah membantuku mendapatkan buku ini." Menunjukan bukunya dengan senyum bahagia.
"Heem," respons Zaidan acuh.
"Kenapa dia terlihat berbeda? Apakah dia tidak mengenaliku?" tanya Hazel dalam hati.
"Maaf," Hazel kembali membuka suaranya. "Ka-kamu Zaidan?"
Pria itu mengangguk. "Ya. Apakah kita saling mengenal?"
"Y-ya. Eh, tidak." Hazel gugup bukan main. "Maksudku––"
"Sepertinya kita memang tidak perlu saling mengenal." Ujar Zaidan dengan sikap dinginnya.
Hazel menelan salivanya dan tersenyum kecut. Mengekori Zaidan yang saat itu langsung membalikan tubuhnya dan berjalan kearah lain. Kepala Hazel menunduk, mengekori Zaidan sambil berupaya menyamakan langkahnya dengan langkah kaki pria didepannya. Dia menggaruk belakang lehernya, sedikit berpikir dan kemudian tersenyum sambil merogoh saku depan celana jeansnya. Mengambil ponsel dan memotret Zaidan dari belakang.
Matahari sudah turun sejak tadi. Dan kini Hazel bisa melihat pantulan bayangan tubuh Zaidan dilantai perpustakaan. Zaidan memang sempurna, bahkan dari bayangannya saja sosok itu sudah terlihat tampan. Kali ini Hazel sedikit merendahkan ponselnya, memotret bayangan tubuh Zaidan dilantai. "You're so perfect."
Hazel menoleh saat Zaidan baru saja menghentikan langkahnya. Pria itu berdiri tepat menghadap keluar jendela dimana sinar matahari menerobos masuk. Pandangannya lurus kedepan, melihat pemandangan diluar sana yang berbanding terbalik dengan didalam sini. Didalam perpustakaan suasananya jauh lebih sunyi, sedangkan diluar sana terlihat sangat ramai dan bising oleh deru kendaraan.
Lagi-lagi Hazel menyalakan kamera ponselnya. Sedikit memiringkan kepalanya, membuat siluet romantis dimana bayangan seorang wanita tengah bersandar dibahu kekasihnya. Walau realitanya kepala Hazel tidak benar-benar bersandar, tapi siluet menunjukan bahwa kepalanya memang tengah bersandar dipahu Zaidan. Dia memotretnya, mengabadikan moment langka ini.
Cekrek!
"Sedang apa?" Zaidan berbalik. Memicingkan matanya saat melihat tingkah Hazel yang sedikit mencurigakan.
Hazel menggeleng cepat. "Tidak."
"Hei, Bro." Sapa seseorang dari arah belakang. "Nanti malam lo bisa luangin waktu buat nongkrong ditempat biasa?"
"Bisa. Ada apa memangnya?" tanya balik Zaidan.
"Gue mau kenalin lo ke pacar baru gue."
"Sa-Samuell?" Hazel terbelalak seraya menutup mulutnya.
Pria bernama Samuell itu menoleh dan langsung mengerutkan keningnya. "Sorry, apakah kita saling mengenal?"
Lutut Hazel meleleh saat dua pasang mata menatapnya tajam, meminta jawaban. "Ah, ti-tidak." Berbalik dan langsung pergi meninggalkan dua pria tampan dibelakangnya. Keduanya kompak mengerutkan kening saat melihat gadis mungil itu berlari terbirit-birit.
"Novel. Dimana novel itu? Aku harus kembali ke dunia fiksi." Hazel terus merogoh tasnya, mencari-cari keberadaan novel yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi.
"Lo kenal dia?" tanya Samuell pada pria yang kini tengah memasang senyum tipisnya.
Untuk yang kedua kalinya, Zaidan kembali tersenyum hangat. Dan semua itu terjadi tanpa direncanakan atau dibuat-buat. Kehadiran Hazel dan pertemuan mereka kali ini membuat balok es dalam hatinya meleleh begitu saja. "Ya. Sangat mengenalnya."