Part 11

Almira Shofia Prameswary

Dadaku terasa sesak, wajahku panas dan seketika tanpa terasa air mataku jatuh hingga sesaat kemudian cukup untuk membuat pipiku basah bahkan hingga menetes pada bantal yang ku peluk.

"Apa yang udah mereka lakuin?"

Tak bisa ku bayangkan tentang apa yang sedang mereka lakukan di sana, aku merasa jengah ketika terlintas perbuatan kotor mereka di pikiranku.

"Kenapa kamu bisa setega itu sama aku?"

Aku tak menyadari bahwa gadis kecil itu tengah memperhatikanku dengan seksama, berusaha mencari sebuah jawaban tanpa mengucapkan pertanyaan.

"Eh, sayang udah ngambil bonekanya?"

Segera aku mengusap air mata lalu tersenyum untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

"Udah tante."

Syafina pun tersenyum namun tak seperti biasanya. Dia berjalan menghampiriku yang tak beranjak sejak tadi, dengan boneka berada dalam pelukannya. Setelah naik ke atas tempat tidur tanpa diduga Syafina memberikan sebuah pelukan untukku. Pelukan Syafina membuat air mataku kembali mengalir.

"Tante kenapa?"

Syafina melepaskan pelukannya, bola matanya yang begitu bening menatapku, mencari kejujuran jawaban dari pertanyaan yang baru saja ia tanyakan.

"Gak kenapa-kenapa sayang."

Aku mengusap lembut rambut dan pipinya bermksud tak membuatnya bingung memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Ayah jahat sama tante?"

Seketika belaianku terhenti ketika anak sekecil itu ternyata bisa membaca situasi yang sedang terjadi.

"Sayang, udah malem, bobo yu? Sini tante peluk."

Aku membaringkan Syafina kemudian memeluknya berharap bisa mengalihkan perhatian keingin tahuan tentang apa yang terjadi antara aku dan ayahnya, mungkin dengan memejamkan mata bisa dengan segera mengurangi rasa sesak dalam dada.

Beberapa jam telah berlalu, Syafina terlelap sudah sejak tadi tapi mataku sama sekali tak bisa berkompromi, rasa lelah nyatanya tak mampu mengalahkan terganggunya akal sehatku saat ini memikirkan apa yang telah terjadi tadi.

Ku ambil ponsel di atas meja rias, serta handsfree dalam tas kerja yang berada tepat di sampingnya, kemudian ku pilih beberapa lagu pop sebagai playlist pengantar tidur berharap usaha ini akan berhasil.

Selanjutnya ya, aku masih terjaga hingga fajar pagi tiba. Ku tatap wajah tak berdosa yang begitu lelap, hingga menghipnotisku untuk mencium keningnya.

"Tante sayang kamu sayang, semoga suatu saat nanti akan tiba waktunya buat kamu panggil tante...Bunda."

Harapan yang kupanjatkan pada sepertiga malam ini begitu tulus, walaupun aku masih tak bisa menerima tentang kejadian itu, mungkin selama beberapa waktu sakitnya masih akan tetap terasa.

Angga Abimana

"Kamu tidur di atas ya, aku di bawah."

Ku ambil salah satu bantal lalu beranjak menggelar selimut sebagai alas untuk mengurangi dinginnya lantai. Ana tak menanggapiku, dia masih terdiam, mungkin tak tau apa yang harus dibicarakan.

"Kamu harus cepet tidur, biar besok pulang gak kecapean."

"Kenapa kita gak tidur bareng aja?"

Seolah tak peduli dengan apa yang baru saja kuucapkan, Ana malah menanyakan hal seperti itu.

"Kita bukan suami istri."

Untuk sesaat Ana kembali terdiam, namun setelah itu...

"Emang kalau bukan suami istri kenapa? Kita juga gak lakuin apa-apa kan? Kita tidur bareng bukan berarti ngelakuin hubungan suami istri."

Beruntung aku masih memiliki banyak stok kesabaran menghadapi orang seperti Ana yang menganggap tidur bersama dengan seorang laki-laki tanpa status merupakan hal biasa, padahal itu semua adalah sesuatu yang tabu. Jangan hanya karena perkembangan yang semakin maju lantas melupakan sesuatu yang paling penting, yaitu harga diri.

Ana sepertinya tersinggung dengan ucapanku, karena tanpa mengatakan apapun lagi, dia telah menutup tubuhnya dengan selimut, tapi untuk saat ini tak ada sedikitpun rasa bersalah yang membuatku harus meminta maaf padanya, setidaknya sampai dia pulang esok hari.

Di benakku saat ini dipenuhi oleh bayangan buruk tentang apa yang akan terjadi antara aku dan Mira, kalau dia melihat kejadian dalam panggilan video tadi, sudah pasti Mira akan berfikir negatif tentang apa yang sudah aku lakukan dengan Ana.

Aku memang tak memiliki hubungan resmi dengan Mira, tapi aku tak terlalu bodoh untuk tak mengerti apa yang ia rasakan, hanya tak memiliki keberanian untuk meyakini bahwa aku memiliki perasaan yang sama dengannya, mengingat latar belakang kami yang terlalu berbeda. Dari segi materi dan masa depan, Mira sudah tak perlu memikirkan itu, sedangkan aku selalu berjalan dan berusaha tanpa kepastian, terlebih lagi statusku kini seorang duda yang telah memiliki buah hati. Aku tak ingin membebani kehidupan Mira dengan memaksakan hubunganku dengannya, mungkin terkesan begitu naif, namun aku akan tetap bahagia ketika melihat dia bahagia walaupun tak bersamaku.

******

Akhirnya jadwal acara kegiatan yang harus aku ikuti selama beberapa hari telah selesai, tak ingin membuang-buang waktu, aku segera pulang setelah sebelumnya berkemas dan berpamitan dengan pemilik kost. Aku memacu kuda besiku dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat untuk sampai di sana agar bisa memastikan kalau semuanya masih tetap sama, aku tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi untuk mengemudi, beberapa kali kuda besiku hampir saja bersenggolan dengan kendaraan lain, baik itu roda dua atau empat.

Hingga pada akhirnya dalam separuh perjalanan dengan terpaksa aku harus berhenti akibatvserpihan kendaraan roda dua yang berserakan dengan genangan darah membanjiri aspal, darah yang sama sedikit terlihat pada kaca mobil yang bagian depannya telah rusak akibat beradu dengan kuda besi yang melaju cepat dari arah berlawanan.

Setelah berhenti karena macet akibat kecelakaan tadi, aku kembali melanjutkan perjalanan namun kali ini dengan sedikit melambat, kecelakaan yang ku lihat tadi sedikit banyak membuatku khawatir pada diri sendiri, bukan karena takut dengan kematian, tapi lebih kepada ketika aku telah tiada, siapa yang akan mendidik dan membesarkan Syafina nanti.

Empat jam telah berlalu dan kini aku telah sampai di depan rumah, namun sepertinya suasana di sekitar perumahan sedang sepi. Sebelum masuk, aku menyempatkan diri untuk hanya sekedar melihat dan memperhatikan rumah Mira, waktu menunjukkan pukul tiga sore yang berarti pada saat ini Mira belum kembali dari aktifitas profesinya.

Setelah membereskan brang-barang yang ku bawa, secepatnya aku ingin memastikan kabar Syafina. Namun ketika ponsel sudah dalam genggamnan dan nama Mira sudah siap untuk di tekan, keraguanku muncul yang akhirnya aku lebih memilih menghubungi ibu.

"Halo, kenapa Ga?"

Tak butuh waktu lama untuk terhubung dengan ibu di ujung telefon.

"Ini bu, mmmhhh, Syafina ada di situ gak?"

"Loh? Syafina kan ada sama Mira, emang kamu gak tau?"

"Aku tau bu, kirain Syafina balik lagi ke rumah ibu."

"Owh, enggak ada, dia waktu itu nangis pengen ikut Mira, jadi ibu sama Mira gak tega buat ngelarangnya, sekarang kamu lagi di mana?"

"Aku udah di rumah bu, ya udah, udah dulu ya bu, aku mau hubungin Mira dulu."

Aku segera menutup panggilan, aku tak mau ibu tau apa yang terjadi antara aku dan Mira, masalahku cukup aku yang menyelesaikannya. Tapi aku tak menghubungi Mira, biarlah aku menunggunya pulang.

"Mas Angga rupanya udah pulang?"

Sapaan petugas keamanan komplek membuyarkan lamunanku yang sedang menunggu kedatangan Mira dengan duduk di kursi di depan rumah.

"Eh iya pak, gimana kabar? Semuanya aman?"

"Beres mas, tapi waktu mas Angga pergi ada yang nanyai loh." Ucap petugas keamanan komplek itu seraya tersenyum seperti menggoda.

"Emang siapa pak?"

"Tetangga depan rumah, kayaknya mba Mira kangen sama mas Angga."

Aku tak menyangka, ketika aku tak ada ternyata Mira mencariku.

"Ah enggak pak, itu cuma karena ada perlu."

Aku berkilah, setidaknya untuk mencegah berita-berita tak enak yang bisa saja menyebar dan menjadi gosip para tetangga mengenai kedekatanku dan Mira.

"Ya ada hubungan juga gak apa-apa kan mas, kan sama-sama lagi gak ada pasangan." Ucapnya lagi seraya berlalu kembali berjaga pada pos keamanan di gerbang komplek perumahan tempat tinggalku.

Kuhabiskan waktu menunggu dengan mengetik membuat cerita baru pada aplikasi ponsel untuk menulis dan membaca gratis, di mana pada aplikasi tersebut ku gunakan juga untuk mempromosikan novelku yang baru, pengikutku pada aplikasi tersebut cukup banyak, sehingga memudahkanku untuk menyebarkan berita tentang karya-karyaku yang telah terbit, sebagian dari mereka menanggapi dengan antusias dan beberapa dari mereka pun ada yang sampai bertanya melalui pesan pribadi, tentang literasi dan masalah pribadi, untuk hal yang berhubungan dengan kepenulisan aku dengan senang hati menjawabnya, namun untuk urusan pribadi sama sekali tak ku tanggapi, biarlah itu menjadi privasi.

Dari jauh, kudengar suara mobil perlahan memasuki gerbang dan jalan komplek, namun sayang itu bukanlah mobil orang yang sedang ku tunggu, cukup dengan melihat sekilas saja aku bisa memastikan kalau itu bukan mobil yang biasa Mira gunakan, namun mobil itu berhenti tepat di depan rumah Mira yang membuatku mau tak mau harus memperhatikannya.

Setelah berhenti dan mematikan mesinnya, seorang laki-laki mengenakan setelan kemeja rapi terburu-buru keluar untuk membukakan pintu depan untuk seseorang yang di antarkannya.

Ya, orang yang dibukakan pintu oleh laki-laki itu adalah Mira dengan serta menggendong Syafina.

"Ayah."

Syafina yang melihat keberadaanku di depan rumah langsung meminta turun dari gendongan Mira lalu berlari menghampiriku, aku membentangkan tangan untuk mennangkap lalu menggendongnya.

"Anak ayah selama ditinggalin nakal gak?"

Syafina menggeleng kemudian memelukku untuk melepas rasa rindu setelah beberapa hari tak bertemu.

Aku menghampiri Mira dan laki-laki itu yang masih berdiri di depan rumah Mira. Laki-laki itu tersenyum menyapa dan akhirnya kami pun berkenlan, dia memperkenalkan diri dengan nama Andrew, seorang dokter muda keturunan, ayahnya berasal dari Inggris dan ibunya dari Salah satu kota besar di Jawa Barat, setelah aku mengobrol berbasa-basi dengannya, aku pun pamit.

"Makasih ya, maaf...udah ngerepotin."

Mira tak menjawab, dia menatapku tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Sayang bilang makasih dulu sama tante."

Karena tak tau dengan apa yang harus aku lakukan, aku menyuruh Syafina untuk berterimakasih sebelum pamit untuk kembali ke rumah.

"Makasih tante." Ucap Syafina seraya melambaikan tangan, namun kali ini Mira membalas lambaian tangan Syafina dengan seulas senyum, terpaksa. Aku menghela nafas panjang setelah berusaha untuk menstabilkan detak jantung yang tadi sempat tak beraturan lalu masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintu, rumah dan hati.