Part 21

Angga Abimana

Pagi-pagi sekali aku mengantar Syafina untuk bertemu dengan Neneknya setelah sebelumnya Neneknya menghubungi dan meminta untuk bertemu dengan cucu kesayangannya, karena hari ini adalah hari libur aku menyanggupi permintaannya, kupikir tak ada salahnya jika Syafina seharian berada di sana untuk berkunjung serta mengobati rasa rindu.

Sengaja aku tak memberitahu Mira tentang hal ini, biarlah ia menikmati hari liburnya dengan beristirahat. Aku segera kembali dari mengantar Syafina, kondisi rumah yang selama beberapa hari ini sedikit kurang mendapat perhatian dari tuannya sedekit berantakan, dan hari ini adalah waktu yang tepat untuk membereskan.

Aku kembali ke rumah setelah mengantar Syafina pada kediaman Neneknya. Sampai di depan rumah, aku melihat mobil asing yang terparkir di sana bersama seorang laki-laki muda yang ku perkirakan usianya di bawahku atau mungkin seusia dengan Mira, ia tengah duduk seraya memperhatikan lingkungan sekitar. Aku berpikir positif dan mencoba tak merasa cemburu dengan kehadirannya di rumah Mira, mungkin saja ia hanya rekan kerja atau semacamnya. Tak ingin mengusik urusan mereka, aku pun masuk ke dalam rumah untuk memulai rencanaku sebelumnya, namun belum juga aku memulainya, terdengar bunyi ketukan pada pintu depan, dari caranya mengetuk sepertinya orang yang berada di baliknya sedang terburu-buru. Aku bergegas membukakan pintu dan ternyata Mira lah yang berada di sana. Aku tersenyum menyambutnya seperti biasa serta menanyakan ada keperluan apa sampai ia mengetuk pintu seperti itu. Ia tak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan langsung begitu saja memaksaku ke rumahnya untuk dikenalkan pada tamu yang ku lihat tadi.

Aku menuruti apa yang menjadi keinginan Mira, walau aku tak mengerti apa tujuannya melakukan itu. Namun sayang, perkenalanku dengan laki-laki itu begitu tak menyenangkan, Mira berbohong tentang pertemuan dengan ke dua orang tuanya waktu itu, ia tak jujur menceritakan semua yang terjadi di sana. Aku begitu kecewa dengan apa yang terjadi sehingga aku meninggalkan mereka. Rencana sebelumnya yang ku buat, ku tinggalkan semua. Dengan kuda besi besar masih terparkir di depan, memudahkanku untuk pergi dari rumah, aku tak mau kalau sampai emosiku tak terkendali yang justru akan menambah rumit masalah yang akan tetjadi.

Aku pergi tanpa tujuan dan tak tahu harus ke mana. Hingga tanpa sadar akhirnya aku tengah berdiri di depan rumah seseorang yang akhir-akhir ini terasa sekali seperti menjauhi.

Ia membuka pintu yang sebelumnya telah beberapa kali ku ketuk, dan setelah melihat keberadaanku, ia tak menyangka dengan kehadiranku yang tiba-tiba saja datang tanpa memberi kabar lebih dulu.

"Angga?"

Ana mengajakku masuk, ia merasa senang namun juga heran kenapa aku bisa tiba-tiba saja mengunjunginya.

"Tumben kamu ke sini? Ada apa?"

"Gak ada apa-apa, aku cuma pengen mampir aja, sekalian lewat."

Aku tak memberitahunya tentang alasan kenapa aku berada di sini saat ini, biarlah itu menjadi rahasia.

"Oh, kirain kamu mau ngajak aku jalan."

Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum, tahu kalau yang ia katakan hanya sebatas bercanda.

"Gimana kabar kamu, Mas?"

"Baik."

Ana sejenak terdiam, ia berusaha memahami keadaan saat ini yang sepertinya tak tepat untuk berbicara santai dengan bercanda.

"Sebenernya kamu lagi ada masalah apa, Mas? Aku baru lihat kamu kayak gini."

Dengan penampilan Ana yang seperti itu, Ana tetaplah seorang wanita yang mungkin saja bisa memahami apa yang sedang terjadi, namun pendirianku tetap tak goyah, aku tak pernah ingin menceritakan masalahku pada orang lain, karena bisa saja ia juga sedang menyimpan masalah yang jauh lebih berat, dan bercerita tentang apa yang ku alami bisa juga membuat masalahnya bertambah berat.

"Gak ada apa-apa kok, aku mau jemput Syafina di rumah Neneknya, jadi sekalian mampir, udah lama gak ketemu, kan."

Selang beberapa waktu, aku pun pamit padanya namun setelah ini aku masih tak tahu harus kemana, aku tak ingin pulang untuk sementara waktu, sedangkan aku juga tak bisa menjemput Syafina secepat ini.

Akhirnya, keadaan menuntunku pada tempat ini, tempat yang memisahkan aku dengannya, dengan sebuah kenangan dan rasa yang masih tersimpan dalam dada. Tempatnya tak pernah sedikitpun terganti, takkan pernah ada yang bisa menggantikannya karena ia pergi bukan untuk terganti, ia selalu menjadi yang terbaik walau kini aku harus berbagi hati.

Memulai sesuatu yang luar biasa bersamanya, dari titik nol sampai pada saat seperti ini. Aku tanpanya mungkin takkan pernah bisa berdiri sendiri.

Tanah itu telah mengering, rumput hijau serta setangkai bunga kamboja berusaha membuatnya tetap ceria, harum dan bahagia. Di hadapannya aku tak ingin memperlihatkan sedikitpun kesedihan.

"Bahagialah walau tak bersamaku, carilah sandaran baru agar ketika kamu diterpa angin, pelukannya akan tetap membuatmu bertahan, carilah malaikat yang mampu mendekap serta membawa buah hati kita dari rasa kesepian."

Kata-kata itu akan selalu terukir. Berat memang, namun hidup akan terus berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan, tugas manusia hanya berusaha melewati semuanya.

Cukup melepas rindu serta apa yang ada dalam benak, sekarang aku telah siap kembali untuk bertemu dengannya. Sebelumnya aku harus menjemput Syafina lebih dulu, aku berjanji padanya bahwa sore hari aku akan kembali untuk membawanya pulang.

Dalam perjalanan pulang bersama Syafina, aku bertemu dengannya pada sebuah jalan di dekat lampu merah menuju ke arah pulang. Jalanan yang pada sore ini begitu ramai membuatku mudah untuk bersembunyi, namun ternyata ia menemukanku. Aku menyadarinya ketika dalam perjalanan pulang, mobilnya selalu mengikuti dari arah belakang. Sekilas senyumku timbul di balik helm hitam yang menyembunyikan ekspresi serta perasaanku.

"Apa dia nyariin aku? Semoga saja," Gumamku dalam hati seraya terus melaju hingga tiba di halaman kecil rumah.

Syafina langsung masuk ke dalam rumah, sementara aku mengikutinya dari belakang, namun langkahku terhenti setelah salah satu tangan di tarik olehnya yang membawaku ke dalam dekapan serta air mata sesal atas apa yang terjadi hari ini. Aku membalas dekapan serta sesal yang langsung saja ia ungkapkan. Hati telah ikhlas menerima serta memberi maaf untuknya, namun dalam momen itu, Syafina berhasil kembali membuatnya ceria.

Aku tak mengerti, dalam kondisi seperti itu, beberapa kali Syafina lebih terksesan menyalahkanku atas tangis yang Mira keluarkan. Mira menghapus air mata lalu tersenyum menyambut anak kecil yang suatu saat akan memanggilnya... Bunda.

Tak ingin kehilangan momen seperti ini, aku mengajak mereka masuk, agar suasana membaik seperti sebelumnya.

"Masuk dulu, mainnya di dalem."

Mira masuk dengan serta menggendong Syafina.

"Aku bikin minum dulu ya."

Aku meninggalkan mereka berdua di ruang tamu, tapi ternyata mereka menyusulku, namun kali ini Syafina tak berada dalam gendongan Mira, ia lebih memilih berjalan sendiri.

Di dapur, Mira menggandeng tanganku, menatap lalu lirih berkata... "Maafin aku." Melihat wajah sendu penuh penyesalannya, tak sanggup lagi rasanya untuk menyimpan walau hanya sedikit rasa marah. Kecewa memang masih terasa, namun tujuannya seperti itu mungkin agar semua baik-baik saja.

Aku menggenggam erat tangan Mira, memberi jawaban lewat rasa, dan Mira pun mengerti. Raut wajahnya kini telah kembali tenang. Memang senyumnya belumlah mengembang seperti biasa, namun itu semua bukanlah karena apa yang telah terjadi sebelumnya. Masalah yang akan terjadi belumlah selesai sepenuhnya, esok lusa kami harus menemui keluarganya untuk memperkenalkan diri sekaligus meminta restu pada ke dua orang tua Mira atas hubungan yang telah kami jalani saat ini, lalu seandainya semua berjalan sesuai harapan maka kami akan membicarakan masalah masa depanku dan Mira saat itu juga.

Mira menggantikanku membuat minuman hangat sebagai teman kami mengobrol nanti, sementara saat ini Syafina sedang berada pada gendonganku.

"Bikin kayak biasa?"

Aku mengangguk menanggapi. Mira mengerti minuman apa yang harus dibuatnya, termasuk untuk Syafina, ia telah beberapa kali bahkan mungkin sering berada di dapur rumahku untuk memasak atau sekadar membuatkan minuman untuk tuan rumahnya sendiri. Mungkin bagi Mira rumahku sudah seperti rumahnya sendiri, walaupun ada satu ruangan yang sama sekali belum pernah ia masuki, yaitu kamar pribadiku. Mira enggan bertanya atau sekadar melihat kamar itu, ku rasa itu masih seauatu yang tabu untuknya.

Selesai dengan minuman yang kini telah tersaji di atas meja, aku bersama Mira serta Syafina kembali membuka keceriaan seperti hari-hari sebelumnya, namun beberapa kali ku dapati Mira tampak menatap kosong di sela senyum dan tawanya.

"Mas, apa kamu bener-bener siap dengan semuanya?"

Aku yang sebelumnya sedang tak memikirkan itu langsung menoleh padanya. Mira menatapku dengan serius, pertanda bukan waktunya asal bicara.

"Ya, aku siap," Ucapku dengan mantap. Senyum Mira masih menunjukkan sedikit rasa keraguan, namun genggaman tangan mungkin akan membuatnya menambah rasa keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Jangan takut, aku bener-bener akan perjuangin kamu."

Bisikkan lembut yang ku ucapkan membuatnya refleks memelukku, lupa dengan keberadaan Syafina yang entah keberapa kalinya melihat adegan orang dewasa yang kami lakukan, saat tersadar aku dan Mira mendapati Syafina sedang tersenyum melihat kami berdua.

"Eh, sayang maaf tante gak sengaja. Sini sayang, tante peluk."

Syafina menghampiri. Mira langsung memeluknya dengan rasa gemas, bisa terlihat kalau ia pun menyayanginya.

"Tante sayang sama kamu, sayang."

"Syafina juga sayang tante."

Dengan tangan mungilnya, Syafina membalas pelukan Mira, namun selanjutnya ada hal yang membuat aku dan Mira terkejut setelah ia melepaskan pelukannya, tak menyangka bocah sekecil itu meminta sesuatu yang begitu berat pada kami berdua.

"Tante... "

Untuk sesaat, Syafina melihat ke arahku dengan ekspresi yang tak biasa sebelum akhirnya ia kembali menatap Mira.

"Syafina boleh manggil tante Bunda gak?"

Dengan polosnya ia mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya. Aku menatap Mira dengan jantung berdetak tak seirama, darahku memanas antara tegang serta khawatir jawaban Mira tak sesuai dengan apa yang Syafina harapkan.

Perlahan Mira mendekatkan wajahnya pada anakku, entah apa yang Syafina rasakan saat ini. Setelah sangat dekat, Mira mencium kening Syafina dengan begitu lembut serta penuh kasih sayang, sekilas setitik bening air mata meluncur dari sudut matanya.

"Boleh sayang, mulai sekarang kamu panggil tante... Bunda."

Syukurlah, semua tak terjadi seperti apa yang ku bayangkan.

"Sebentar lagi tante pengen ayah kamu nikahin tante, boleh, kan?"

Mira dan Syafina melirik kearahku hampir bersamaan, seolah mereka berdua menuntut pertanggung jawaban.

"Ayah mau kan nikah sama tante Mira?"

Syafina yang tak mengerti hubunganku dengan Mira bertanya dengan penuh pengharapan. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaan Syafina.

"Ayah kamu kan udah mau nikahin tante, sekarang tante pengen denger kamu panggil tante Bunda sayang."

Syafina tersenyum namun masih dengan malu-malu akhirnya untuk pertama kali ia memanggil Mira dengan panggilan...

"Bunda."