Di sisi utara Yogyakarta, berdiri sebuah rumah tua yang baru saja dipugar. Bukan rumah modern yang penuh garis tegas dan warna-warna dingin. Rumah ini lain. Ada hangat yang pelan-pelan menjalar sejak langkah pertama menjejak di lantainya. Rumah ini membawa napas masa lalu. Setiap sudutnya seperti menyimpan cerita. Dan di balik semua itu, ada satu nama yang menggantung di udara: Murni.
Rafael berdiri di ambang pintu, memandangi ruang tamu yang akrab namun asing. Matanya berkaca. Dahulu, ia dan Murni sering duduk di sofa rotan seperti itu—bukan yang ini, tapi yang lama. Ia masih ingat motif favorit Murni: etnik Jawa, hangat dan membumi. Maka semuanya dipesan serupa: tirai, kursi, karpet, bahkan pot bunga di pojok ruangan. Bukan untuk estetika, tapi untuk satu hal: kenangan.
“Selamat datang pulang, Raf,” bisiknya lirih, seolah menyambut dirinya sendiri.