Aku merasa dia di sini sejak tiga hari yang lalu. Aku bisa mencium aroma tubuhnya, pun dengan sentuhan-sentuhan lembut di tanganku yang keriput. Berkali-kali dia berucap maaf atas kepergiannya beberapa tahun lalu. Kepergian yang menyisakan lubang menganga di rongga dada dan melahap habis tawaku setelahnya.
Jutaan kenangan saling menindih dalam ingatan. Betapa hanya dia yang tetap tinggal, ketika dunia bahkan berpaling dariku.
Hari-hari setelahnya kusesali diri. Harusnya dulu kuucap cinta seribu kali sehari.
Dia yang tak pernah mengeluh ketika aku nyaris tenggelam pada titik terendah dalam hidup. Dia yang seringkali menyuntikkan energi, membuatku ingin bangkit kembali. Dia semestaku, pun ketika dua anak kami dilahirkan tetap tak bisa menggeser sedikit saja posisinya di hatiku.
Hati ini, penuh olehnya. Bukan berarti aku tak mencintai anak-anak yang ia lahirkan. Tak ada yang bisa menakar kasih sayang ayah pada putra-putrinya. Tapi dirinya tetaplah segalaku, karena, anak-anak suatu saat nanti akan pergi. Lalu, kami akan melewati masa pikun berdua saja. Namun, ia ingkar. Sore itu ia melangkah pergi. Teramat jauh.
Entah, tapi aku merasa satu kecupan lembut ia daratkan di kening, di mana rambutku yang putih tak teratur lagi. Benar-benar kacau. Mestinya ia datang bukan di saat tubuhku lemah seperti ini. Ia harus melihatku gagah seperti dulu. Aku harus sembuh.
"Aku mencintaimu."
Betapa ingin kuberteriak agar dia menyadari bahwa cintaku masih utuh bahkan di saat-saat terakhir seperti ini. Namun, suara seakan tercekat di pangkal tenggorokan. Tak satupun kata rindu yang sanggup terucap lidah.
Senyumnya perlahan mengabur, seiring datangnya beberapa lelaki berjas putih. Salah satu diantaranya meletakkan sebuah benda di atas dadaku. Satu, dua, tiga, em ... jantungku menyerah sebelum hitungan keempat tunai.
Wanitaku, di mana dia? Detik lalu dia di sini. Sangat dekat. Membisikiku sesuatu yang harusnya kulakukan untuk menghadapi malaikat maut. Mengapa hanya aku yang menyadari bahwa ada dia di ruangan ini?
Menit berikutnya, semua mengabu. Beberapa suara pilu yang entah dari mana asalnya berebut di telinga, sebelum semua benar-benar gelap. Lalu, sayup-sayup kulihat dia, merentangkan tangan dengan senyuman indah merekah.
"Sayangku, Ainun ... aku datang padamu." .
."