prolog

Lembar demi lembar kertas telah menemaninya sepanjang kesunyian pada senja itu. Buku, bukanlah favoritnya. pada lini kehidupan di era sekarang, banyak entitas baru yang lebih menerapkan elektronik dibanding berlembar-lembar kertas yang akan lapuk tergerus oleh waktu. Begitupula bagi dirinya.

Hanya saja, ada saat dimana ia merasa buku adalah sebuah hal yang penuh seni. Banyak hal yang tak ada di kehidupan tapi justru ada dalam sebuah buku. Lagipula, sumber pengetahuan di era sekarang bermula dari buku-buku usang. Dan karna buku juga, tercetusnya revolusi-revolusi setiap zaman.

Sejenak ia alihkan pandangannya keluar, merekam sayup-sayup ranting kering yang gemulai tertiup angin. Di ujung sana, cakarawala membentuk gugusan beraneka ragam warna.

Dia bergeming. pikirnya, apa yang dikatakan seorang sahabat kepadanya bukanlah suatu hal yang dapat mengusik teritori-nya.

Dia mendesah pelan, menunduk, mempejamkan matanya. Ditutupnya buku coklat tua-usang, bertekstur kasar dan beberapa kata yang sudah samar pada judul disampulnya yang menemaninya kala itu.

Masih jelas, kemarin adalah satu hal krusial yang dialaminya. Gadis itu. Ya, gadis itu benar-benar mengusiknya. Naifnya, dikira itu hanyalah satu kebetulan semata.

ia tautkan kedua jemarinya unyuk menopang wajah ketimurannya yang khas. Sikunya bertumpu pada landasan meja yang berada disebelah jendela kamarnya.

Ia menerawang jauh tentang gadis bersurai merah muda. Warna yang amat sangat langka yang ada dibelahan bumi lainnya.