50. Pengorbanan... - One

V

errel tengah bercermin merapihkan tuxedo yang dia pakai, ia juga mengambil sebuah pistol yang di berikan Farel. Semua brotherhood memegang satu pistol untuk berjaga-jaga. Ia memasukannya ke dalam saku jas yang ia pakai. 'Kamu harus menyelesaikan segalanya sekarang Verrel.'

Wajah Verrel yang tampan, terlihat pucat. Racun itu semakin menyebar keseluruh tubuhnya. Ia memilih duduk di salah satu sofa yang ada di sana sambil memijit kepalanya. Perutnya terasa sangat berputar, seakan sesuatu akan pecah di dalam sana, dadanya terasa nyeri dan sesak, bahkan detak jantungnya terasa berdetak begitu cepat sekali. Ia meringis menahan rasa sakitnya, ia sudah berkeringat dingin.

Daniel datang bersama Angga dan Serli menghampiri Verrel. Serli sudah mengetahui siasat ini, karena Serli awalnya menentang keras pertunangan ini. "Verrel, kamu baik-baik saja kan." Serli duduk di sisi Verrel.

"Biar aku suntikan dulu obat penghambatnya." Angga segera mengeluarkan suntikan dan obat yang Dhika kasih sebelumnya. "Tahan," Angga menyuntikannya melalui pembuluh darah di lengan Verrel, Verrel menahan rasa sakit di dalam tubuhnya.

"Kak Angga, bagaimana kalau racun ini semakin menyebar," Serli sangat khawatir,

"Dhika sedang mencari penawarnya, kadar obat yang di berikan Wilson ke Verrel tak banyak. Jadi prosesnya cukup lama, hanya saja semakin lama juga pengaruhnya akan semakin terlihat. Dia akan mengalami kelumpuhan, itulah yang di harapkan Caren dan Wilson untuk menjadikan Verrel sebagai boneka mereka."

"Tapi ini tak akan apa-apa?" Tanya Daniel.

"Obat ini hanya akan membantu menghambat racun itu tetapi tak akan seterusnya. Makanya kita harus segera mencari penawarnya." jelas Angga,

"Verrel sayang, bertahanlah nak" Serli sudah berkaca-kaca.

"Verrel baik-baik saja, Bun." ucap Verrel saat sudah mulai membaik. Ia beranjak berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

"Kita harus segera selesaikan rencana ini, sebelum semuanya terlambat."

"Serli, nanti saat polisi datang, Kalian langsung pergi ke lantai dua untuk bersembunyi," ucap Angga yang di angguki Serli. Daniel dan Angga sama-sama mengecek peluru pada pistol yang mereka pegang.



Acara pertunanganpun dimulai, Verrel sudah berdiri di podium dengan gagahnya. Pandangannya mengarah ke arah pojok ruangan dimana Leonna terlihat hadir dengan memakai celana jeans dan kaos oblong kebesaran, jangan lupakan sepatu kets putihnya. Verrel tersenyum melihat wajah Leonna yang cemberut, ia tau kalau Leonna terpaksa datang kesini melihat dari penampilannya. Lamunan Verrel buyar saat kedatangan beberapa orang yang datang, saat lift terbuka banyak orang yang keluar. Di Lift pertama terlihat Caren dan Wilson, diikuti Martin. Mereka bertiga berjalan menuju podium dengan beberapa bodyguard mengikuti mereka. Bodyguard yang seperti anggota FBI memakai pakaian serba hitam.

Setelah mereka, lift kembali terbuka lebar dan memperlihatkan Sosok pria paruh baya yang memiliki perawakan tinggi, matanya yang tajam bagaikan mata elang yang kapan saja siap menerkam mangsanya. Pria paruh baya yang memakai tuxedo abunya itu berjalan menuju podium dikawal oleh puluhan bodyguard. Wajahnya yang blasteran dan terlihat masih kekar dan gagah itu, mampu mengintimidasi semua orang yang ada disana kecuali brotherhood yang menahan gejolak emosi dalam hati mereka. Langkahnya yang ringan dan elegant membelah ruangan itu. Brotherhood tau siapa pria paruh baya penuh tatapan intimidasi itu.

Louis Matthew Stafford....

Angga mulai beranjak dan memberi arahan ke beberapa tamu yang hadir. Tak ada yang tau kalau semua tamu yang hadir adalah anggota FBI Indonesia, dan luar Negara Indonesia. Anak buah Jack dan beberapa orang bodyguartnya brotherhood. Brotherhood tak tanggung tanggung menyediakan beberapa batalio bodyguard untuk melawan Stafford family.

Kedua kubu dari keluarga yang berbeda itu sama-sama membawa beberapa batalio bodyguard. Louis kini terlihat duduk di salah satu meja special yang di siapkan Wilson sang adik. Dari balik kacamata hitamnya Louis mengamati seluruh anggota brotherhood yang memasang wajah santai dan tenang.

Inilah keunggulan Brotherhood, brotherhood pintar dalam hal mengecoh musuh. Louis menyeringai menatap satu persatu anggota brotherhood, terutama Farel dan Dhika.

Seorang MC mulai membuka acara dan mempersilahkan Verrel untuk melakukan penukaran cincin. "Aku sudah sangat menantikan saat ini," ucap Verrel dengan senyumannya. Verrel mengambil cincin dan menyematkannya di jari manis Caren membuat semuanya bertepuk tangan. Verrel menatap ke arah Daniel seakan memberi kode. Dan seketika beberapa orang polisi datang menyerbu acara itu saat Caren tengah mengambil cincin untuk di sematkan ke jari manis Verrel.

"Ada apa ini?" Mr. Wilson, ayah dari Caren bersuara saat polisi itu masuk ke dalam. Membuat beberapa orang disana bingung dan kaget.

"Kami membawa surat penangkapan." Ucapnya dengan lantang. "Bapak Oktavio Adelio Mahya,"

Deg… Wilson bersama Louis menyeringai melihat polisi datang untuk menangkap Okta. Rencana mereka berhasil untuk menjebak Okta. "Anda mencari saya pak?" Tanya Okta dengan tenang, sedangkan para istri brotherhood di buat khawatir.

"Suami saya ada masalah apa Pak?" Tanya Chacha yang saat ini sudah berdiri disamping Okta.

"Saya datang atas laporan dari pak Oktavio, untuk menangkap saudara Bapak Louis Matthew Stafford."

Pria paruh baya yang duduk di kursi tamu istimewa itu langsung berdiri dengan kernyitan di dahinya. Wajahnya terlihat bingung, Louis dan Wilson saling beradu pandang. Martin dan Caren juga terlihat kaget mendengar penuturan polisi itu. "What does it mean?" Pekiknya tak paham.

"We know all the evil plans and you, sir." Jawab Dhika yang berjalan di samping Okta.

"Kalian pikir aku bodoh, aku tau dokumen kerjasama kita itu palsu dan illegal. Kau menjual tanah illegal kepada perusahaanku, dan sekarang kamu ingin melaporkanku atas investasi illegal ini. Aku tak sebodoh itu, WILSON!" pekik Okta kesal. Beberapa orang di buat bingung dengan kejadian ini, termasuk Leonna.

"Kami juga sudah mengetahui kebusukan Martin dan Caren." Ucapan Verrel membuat Caren terpekik kaget, Caren menatap Verrel tak percaya.

"A-apa maksud kamu, Verrel? I-ini?" Tanya Caren terbata-bata.

"Yah Carelina Stafford, aku melakukan ini hanya untuk membuktikan kebusukanmu dan semua keluargamu."

Deg

"Kamu menipuku!" jerit Caren dengan tangisnya.

"Kamu yang menipuku dan menjebakku!" Caren masih menatap Verrel dengan tatapan kecewa dan air mata yang mengalir membasahi pipi. Dia sangat bahagia dengan acara pertunangan ini. Ia pikir dirinya sudah dapat memiliki Verrel dengan seutuhnya tetapi ternyata Caren salah.

Leonna mematung mendengar penuturan Verrel, jadi selama ini Verrel hanya berpura-pura dan apa maksud kejahatan ini semua. Leonna sungguh tak memahami apapun, terlihat juga para wanita brotherhood di buat bingung, begitupun Leonna, Leon, Vino, Adrian dan Chella.

"Kamu kenapa seperti ini, Rel? bukankah malam itu kamu menghabiskan minumannya." pekik Caren.

"Orang yang licik dan berniat jahat sepertimu tidak akan pernah sukses. Kamu pikir aku pria bodoh, yang akan tertipu oleh Martin sepupumu dan kamu? Aku tau, malam itu kamu mencampurkan sesuatu ke dalam minumanku, aku juga mendengar pembicaraanmu dengan Martin! Aku tau kebusukanmu dan juga sepupumu itu. Ingat Caren, aku bukanlah pria bodoh yang bisa kamu tipu dengan mudah." ucap Verrel dengan tajam.

"Kamu!" pekik Caren tak percaya, dia pikir rencananya sudah sukses.

"Dan Martin, selanjutnya aku akan membunuhmu saat tau kamu kembali mengganggu wanitaku." Leonna mematung mendengar ucapan Verrel barusan, Leonna masih bingung dan bertanya-tanya dengan semua yang terjadi ini. Caren dan Martin saudara sepupu???

Bagaimana bisa? Dan siapa pria bernama Louis itu, kenapa papa Farel langsung emosi menghadapi dia. Dan Verrel ternyata tak sungguh-sungguh kembali dengan Caren, lalu apa maksud semua ini? Untuk apa mereka melakukan ini?

Leonna meringis seraya memegang kepalanya yang terasa pusing, semua ini sungguh membuatnya bingung dan pusing. "Kamu gak apa-apa sayang?" Tanya Lita yang berdiri di dekat Leonna.

"Ini ada apa Ma? Kenapa seperti ini?" Leonna sungguh di buat bingung dengan semua ini, begitupun dengan para istri kecuali Serli.

"Kalian semua menipu keluargaku???" pekik Wilson tersulut emosi.

"Kami tidak menipu keluarga anda, Tuan Wilson. Tetapi kami membongkar kejahatan keluarga anda." ucap Daniel.

"Kalian yang sudah menghancurkan keluargaku!" pekik Farel emosi. "You're causing both children suffer." ucap Farel menunjuk Louis. "And Your brother Axel."

"A-axel?" gumam Claudya sangat kaget.

"Tangkap mereka semua, Pak." ucap Okta.

"You think can catch us ???" pekik Louis.

"Why do we have a difficult catch." ucap Dhika tak kalah tajamnya.

"You'll regret!"

DOR ...Tubuh itu terpental membuat semuanya terpekik kaget. Louis mengacungkan pistolnya ke arah Okta. "Gatorrrr!!"

"Crocodile!!"

"Dadddddyy!!"

Tubuh Okta yang tertembak terpental ke belakang, seketika semuanya saling mengacungkan pistol masing-masing begitupun dengan para tamu yang merupakan bodyguard dan anggota FBI. "Daddy,," Datan sudah menangis begitupun Chacha di samping tubuh Okta yang tergeletak dengan darah yang mengalir deras di bagian perut kirinya.

"Ck,, jangan menangis Datan" ucap Okta terbata-bata.

"Daddy harus kuat, Datan akan membawa daddy ke rumah sakit sekarang."

Chacha merobek gaun bagian bawahnya dan menutup luka Okta untuk menghentikan pendarahannya. "Bertahanlah Crocodile, kumohon." isak Chacha.

"Daddy jangan pergi ninggalin Datan."

"Aku baik-baik saja, sudah jangan menunjukkan wajah mengerikan kalian. Kalian begitu bahagia sampai menunjukkan wajah mengerikan itu padaku." celetuk Okta dengan santai.

"Bawa Okta ke lantai 2 bersama yang lain." ucap Dhika masih berjaga-jaga.

"Ayo Dad," Datan berusaha memapah Okta di bantu Leon dan Chacha.

Para perempuan semuanya mengikuti Datan dan Leon menuju lantai dua yang di jaga Dhika dan Vino dari belakang.

Semua orang yang ada disana sudah perang peluru dan tembakan. Suara tembakan memenuhi ruangan itu, mereka bersembunyi di titik titik tertentu untuk menghindari tembakan. Leonna berjalan perlahan mencari sosok Verrel, dari jauh Verrel terlihat berlari mengejar Martin. "Kakak," Leonna melihat sang papa yang sibuk berjaga-jaga karena peperangan sudah di mulai. Antara kepolisian, FBI dengan musuh. Mereka bersembunyi di satu titik dan saling mengeluarkan peluru tembakan.

Leonna mengambil ancang-ancang dan berlari keluar dari lift.

"LEONNA!" teriak Dhika.

"Astaga, tuh anak mau kemana?" gerutu Vino.

"Verrel, Leonna berlari ke arah lorong hotel," ucap Dhika pada alat komunikasi.

Verrel yang tengah berlari menghentikan langkahnya dan berbalik, benar saja dari lorong itu Leonna berlari sambil memegang perutnya. Verrel melihat salat satu anak buah Louis tengah mengacungkan pistol ke arah Leonna.

Dor ... Verrel berhasil memeluk tubuh Leonna dan membawanya ke sudut lain sehingga tembakan itu meleset. Verrel mengintip dari balik dinding dan menembak penjahat itu tepat mengenai perutnya. Leonna menatap Verrel dengan nafas yang tersenggal.

Verrel menengok ke arah Leonna, Leonna pikir Verrel akan membentaknya dan memarahinya karena nekat mengikutinya. Tetapi Verrel malah memeluk tubuh Leonna yang bergetar. "Syukurlah kamu baik-baik saja," Verrel mengecup kepala Leonna cukup lama dan memeluknya dengan erat.

"Ada apa ini Kak? Apa maksud semua ini? Kenapa seperti ini?" Tanya Leonna sangat kebingungan, ia melepaskan pelukannya dan sedikit mendorong tubuh Verrel. "Katakan Kak," Verrel terdiam sesaat menatap wajah Leonna yang begitu ia rindukan.

"Apa kamu mempercayaiku?" pertanyaan Verrel membuat Leonna terdiam dengan pandangan bingungnya.

"Apa maksud Kakak? Jawab saja apa maksud ini semua." pekik Leonna.

"Aku hanya bisa mengatakan kalau semua yang terjadi selama ini hanyalah kebohongan," Leonna mematung mendengar penuturan Verrel barusan. Lipatan di dahinya semakin banyak karena bingung. Dengan lembut Verrel mengusap dahi Leonna agar lipatannya hilang. "Aku akan menjelaskan segalanya nanti, sekarang cukup kamu mempercayaiku saja." ucap Verrel seraya mengambil sesuatu dari balik jasnya. "Pegang ini," Leonna terpekik melihat Verrel menyerahkan sebuah pistol ke telapak tangannya.

"U-untuk apa ini, ke-kenapa aku harus memegangnya?" cicit Leonna ketakutan.

"Gunakan ini untuk melindungi dirimu sendiri." ucap Verrel.

"Kakak mau kemana?" Tanya Leonna sangat khawatir.

"Aku harus mengejar si keparat Martin." ucap Verrel. "Pegang ini dan diam di sini oke, aku akan segera kembali." ucap Verrel.

"Ta-tapi bagaimana cara menggunakannya?" Tanya Leonna dengan gugup.

"Kamu akan tau caranya dalam keadaan genting. Tunggu disini," Verrel hendak beranjak tetapi langkahnya terhenti, ia kembali berbalik dan berjalan mendekati Leonna yang masih berdiri mematung dengan kebingungannya. "Aku mencintai kalian," gumam Verrel dan mengecup kening Leonna cukup lama, Verrel mengusap kepala Leonna dan berlalu pergi meninggalkannya.

'A-apa maksudnya semua ini?' batin Leonna masih tak paham.

Leonna langsung bersembunyi di balik dinding. Tak lama ada bayangan orang yang mengendap-endap mendekatinya. Ia sudah menelan salivanya sendiri sambil mengacungkan pistol yang dia pegang dengan tangan yang bergetar.

"Oh Shitt!" umpat Adrian saat Kakaknya hampir menembak kepalanya.

"Adrian," Leonna langsung memeluk tubuh Adrian dengan ketakutan.

"Kakak kenapa selalu bikin khawatir sih, mama khawatir karena Kakak pergi begitu saja." ucap Adrian kesal.

"Maaf," cicit Leonna.

Sedangkan di lantai dua, tubuh Okta di baringkan di atas sofa. Dhika dan Vino sudah kembali meninggalkan ruangan itu untuk membantu yang lain. Okta terlihat terengah-engah, keringat dingin sudah memenuhi tubuhnya. "Daddy, harus kuat. Jangan tinggalin Datan, nanti gak ada yang ngomelin Datan lagi." isak Datan,

"Nela, ternyata anak kita masih bocah." kekeh Okta mengusap kepala Datan, Chacha tak menjawab hanya menangis saja.

"Lakukan sesuatu Lita." isak Chacha.

"Kita tak bisa keluar dari sini, Cha." Lita hanya membalut luka Okta dengan handuk kecil agar menghentikan pendarahan yang keluar. Okta terlihat terengah, sekuat tenaga menahan kesakitannya.

"Daddy, daddy tahan. Jangan tinggalin Datan," Datan sudah menangis, bahkan tak malu walau di sana ada Pretty.

Para wanita brotherhood menangis melihat kondisi Okta yang terlihat kritis. Dan mereka tak mampu berbuat banyak, "Daddy please, Datan janji gak akan balapan lagi. Datan gak akan ngelawan daddy lagi. Datan gak akan nakal lagi. Datan nurutin kata-kata daddy, jangan ninggalin Datan."

Datan mempunyai trauma dalam hal kematian, seperti halnya saat dia berumur 6 tahun dimana saat dia sedang asyik-asyiknya bermain dengan oma Sari. Tuhan malah mengambil nyawa oma Sari tepat di depan Datan, dan itu membekas di hati Datan. Datan seakan trauma pada yang namanya kematian, apalagi kematiannya tepat di depan matanya. "Daddy, please bertahanlah." Okta tersenyum padanya.

"Daddy tidak akan mati sekarang, percayalah. Daddy ingin melihatmu sukses dan menjadi sosok Datan yang tangguh dan bertanggung jawab." ucap Okta terbata-bata. "Daddy akan pergi saat semua anak daddy insyaf, terutama kamu dan Leonna." kekeh Okta membuat yang lain terkekeh di tengah tangisannya begitupun Datan

"Sudah jangan takut," Okta mengambil sesuatu dari balik jasnya. "gunakan ini, bantu yang lain melawan para musuh. Tunjukkan kalau kamu pria yang tangguh, Son." Okta menepuk pelan pipi Datan.

"Dad,"

"Pergilah, dan percayalah. Daddy sudah meminta keringanan pada tuhan di cerita ini kalau Daddy tidak ingin mati sekarang. Daddy tidak mau membuat fanz daddy nangis kejer, tokoh seperti daddy disini begitu di nanti dan diidolakan. Sudah jangan menangis lagi, kamu anak laki-laki." ucap Okta dengan percaya dirinya.

"Datan pergi, dan akan menembak pria tua itu untuk daddy." ucap Datan mantap dan di angguki Okta. Datan mengusap air matanya dan berlalu pergi bersama Leon.

"Loe masih saja bisa bercanda, Gator." ucap Elza di tengah tangisannya.

"Gue seneng kalian semua tertawa melihat gue, membuat gue gemes sendiri melihat wajah sembab kalian." kekeh Okta di tengah terengahnya menahan sakit. Darah begitu banyak keluar dari perutnya,

"Nangis Peak, bukan ketawa." ucap Dewi kesal dan yang lainnya hanya terkekeh. Okta tetaplah Okta, sosok yang selalu menghibur semua orang. Tanpa perduli kondisinya saat ini bagaimana.

Di bagian aula acara pertunangan, sudah banyak orang yang tergeletak karena tembakan. Datan dan Leon sama-sama berjalan dengan sangat hati-hati menyusuri lorong itu. Leon mengambil satu pistol dari tangan mayat yang berada disana dan memeriksa pelurunya. "Ayo," Datan mengikuti Leon dari belakang, mereka terus berjalan dan berjaga-jaga. Banyak sekali orang yang sudah tergeletak tak bernyawa dari kedua kubu.

Dor

"Shitt!"

Leon dan Datan kembali bersembunyi saat seseorang menembaknya, tetapi melenceng. "Kemana mereka? Gila ini pertumpahan darah." ucap Datan.

"Loe bisa kan pake tuh pistol." ucap Leon.

"Loe ngeremehin gue! Loe tau kan gue sering mainin pistol air." ucap Datan santai.

"Ini pistol beneran kunyuk bukan mainan." ucap Leon.

"Gue tau, es balok. Lagian sama-sama di teken ininya."

Dor

"Oh sialan!" pekik Datan kaget saat pistolnya mengeluarkan suara karena menarik pelatuknya.

"Dasar peak loe." cibir Leon kembali mengintip untuk memastikan situasi aman atau tidak.

Di sudut ruangan lain, Dhika tengah berkelahi dengan Louis. Angga dan Daniel berkelahi dengan Wilson dan anak buah mereka. Sisanya berkelahi dengan anak buah mereka yang tersisa. Farel dan Dhika sama-sama berkelahi dengan Louis yang begitu kuat. Louis sangat sulit untuk di lumpuhkan, bahkan Dhika dan Farel sudah terluka cukup parah.

Dhika melayangkan tinjuannya tetapi di tangkis oleh Louis dan Louis meninju perut Dhika membuatnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Farel melakukan hal yang sama tetapi Louis membanting tubuh Farel ke lantai, dan dia menginjak leher Farel. "Kau yang sudah membunuh adik kandungku, Axel!" pekiknya kesal. Louis semakin menginjak leher Farel membuatnya semakin kesulitan untuk bernafas. Dhika mengambil pas bunga dan memukulnya tepat di kepala Louis membuat Louis menarik kakinya dari leher Farel. Dhika membantu Farel untuk berdiri. "Kalian memang keparat!" pekik Louis saat mengusap kepala bagian belakangnya yang mengeluarkan darah.

Louis menerjang keduanya, membuat Dhika dan Farel sama-sama menangkisnya. Tetapi Dhika terdorong hingga jatuh ke lantai, dan Louis kembali mencekik Farel. "Kamu harus mati di tanganku!!" pekik Louis.

Farel berusaha melepaskan cengkraman Louis di lehernya tetapi sulit.

Dor

Dor

Dor

Tiga tembakan itu mendarat tepat di kepala belakang Louis, membuat tubuhnya langsung tumbang ke lantai, darah segar mengalir deras dari kepalanya. Tepat di belakangnya Claudya berdiri dengan memegang sebuah pistol. "Itu untuk Jen dan juga Vino." ucap Claudya yang terlihat menangis.

"Nanda," gumam Farel.

Wilson yang selamat, dan berhasil di tahan oleh aparat kepolisian. Mereka semua sudah terluka parah, Jack juga berhasil meringkus semua anak buah Louis dan beberapa chanel yang berhubungan dengan Louis.

Tetapi dimanakah Carelina.....???

Di tempat lain, Verrel berlari menuruni tangga darurat mengikuti Martin yang juga berlari kencang menuruni tangga untuk sampai basemant. Karena acara di adakan di lantai 4 hotel Hilton Mahya. Ia memberanikan diri meloncat dari pegangan tangga dan tepat sekali mendarat di hadapan Martin yang hendak mencapai anak tangga terakhir. "Loe gak bisa lari kemanapun." ucap Verrel dengan geram.

Martin maupun Verrel sama-sama menatap tajam, seakan ada laser dari mata mereka. Martin terkekeh kecil meremehkan Verrel, seraya merogoh sesuatu di belakang tubuhnya. "Loe pikir gue takut." Martin mengacungkan pistolnya ke wajah Verrel. "Loe yang akan mati, bukan gue,"

Verrel masih menatap Martin dengan tajam, rahangnya sudah mengeras menahan emosinya. "Delia," gumam Verrel menatap kebelakang Martin, dan bodohnya Martin menengok ke belakang. Itu kesempatan Verrel untuk menendang tangan Martin hingga pistol itu terlempar jauh dari tangannya.

"Sialan, kau menipuku!" pekik Martin seraya menerjang Verrel. Verrel menghindari tinjuan Martin, ia menarik lengan Martin dan memelintirnya. Setelah itu ia menendang Martin hingga tersungkur ke lantai.

Verrel berjalan mendekati Martin untuk memukulnya, tetapi Martin lebih dulu menendang tulang kering Verrel membuatnya tersungkur ke lantai. Kesempatan itu di gunakan Martin untuk beranjak dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jas yang dia pakai. Martin mengarahkan ujung pisau itu ke wajah Verrel tetapi Verrel segera menahannya dengan kedua tangannya. Terjadilah aksi dorong mendorong antara Verrel dan Martin. "Loe harus mati, brengsek!" ucap Martin dengan tajam.

Verrel menendang punggung Martin dengan salah satu kakinya membuat Martin terdorong ke sampingnya. Ia segera bangun dan meraih pistol yang tergeletak di lantai. Saat berdiri, keduanya sama-sama mengacungkan senjata di tangan mereka. Verrel mengacungkan pistol dan Martin mengacungkan pisau lipat.

"Loe pikir gue akan masuk ke dalam perangkap loe dengan mudah." ucap Verrel tersenyum sinis. "Sekarang lihatlah siapa yang mengendalikan permainan."

"Loe terlalu bangga Verrel, apa loe yakin Leonna akan kembali menerima loe?" ucap Martin. "loe tau gak, sebenarnya saat gue membius dia. Gue sudah dapat mencicipi tubuhnya, walaupun gue gak memasukinya, tetapi gue puas mencicipi seluruh tubuhnya. Loe ingetkan dengan tanda kissmark di lehernya." kekeh Martin

"Keparat!" Verrel menarik pelatuknya tetapi tak ada peluru yang keluar, ternyata pistol itu kehabisan peluru. Martin tertawa puas di sana. "Shitt!"

"Jangan berbangga diri, Verrel. Kekurangan loe itu, loe terlalu percaya diri dalam segala hal. Dan kesombongan itu membuat gue muak!!" Martin kembali menerjam Verrel membuat keduanya keluar dari pintu darurat ke ruangan lain, yang merupakan lorong hotel. Keduanya saling baku hantam, pisau yang di pegang Martin menggores lengan Verrel membuatnya mundur beberapa langkah. Darah segar keluar dari sana, tetapi Verrel tak menghiraukannya.

Martin kembali mengacungkan pisaunya tetapi Verrel berhasil menangkisnya hingga pisau itu kembali terlempar. Keduanya kembali saling baku hantam hingga menghantam dinding disana.

Leonna dan Adrian sampai di tempat mereka berdua, Leonna syok melihat wajah Verrel yang pucat dan darah menetes di bagian lengannya. "Lakukan sesuatu Adrian!" pekik Leonna yang sudah menangis.

"Gunakan pistolnya, Kak." ucap Adrian.

Leonna mengacungkan pistol itu dengan tangan yang bergetar, Leonna kesulitan untuk menembak, karena Verrel dan Martin tak bisa menjauh. Keduanya saling baku hantam, dan itu membuat Leonna semakin kesulitan. "Lakukan Kak!"

"A-aku takut, Rian." tangis Leonna pecah.

"Adrian saja yang melakukannya." ucap Adrian.

"Tidak, aku takut kamu salah menembak," pekik Leonna.

"Kalau begitu lakukan sekarang." ucap Adrian.

"Ya tuhan," gumam Leonna seraya memejamkan matanya.

Dor

Hening....

Leonna menarik pelatuknya dengan memejamkan matanya, perlahan tapi pasti Leonna membuka matanya, dan terlihat keduanya masih berdiri tegak. Hingga Verrel menggeserkan tubuhnya dan menjauhi Martin. Darah keluar tepat di jantung Martin, tubuh Martin ambruk dengan tatapan sendunya menatap Leonna. Martin mengusap darah di dada kirinya, dan kembali menatap Leonna dengan tatapan terluka.

"Aku mencintaimu, Leonna." gumam Martin dan tubuhnya ambruk ke lantai dengan darah yang mengalir deras membasahi lantai.

Prank... Leonna melempar pistolnya dengan pandangan syok. "Aku membunuhnya!" pekik Leonna menangis histeris. Leonna mundur beberapa langkah. "Aku membunuhnya!" jeritnya mencengkram rambutnya sendiri.

Verrel berlari memeluk tubuh Leonna. Leonna menangis sejadi-jadinya di pelukan Verrel, "Aku membunuhnya!" Jerit Leonna.

"Ssstt,, kamu tidak bersalah, De. Tenanglah," bisik Verrel memeluk Leonna dan mengecupi puncak kepala Leonna.

"Dia mati,, hikzzzz." Isaknya.

Verrel dengan sabar mengusap punggung Leonna, memberinya ketenangan. Hingga setelah lama, Leonnapun berhenti menangis. "Lengan Kakak," Leonna menyentuh lengan Verrel yang terluka. Darah mengalir deras dari sana,

"Kakak baik-baik saja," bisik Verrel.

Setelah mengatakan itu, seketika tubuh Verrel ambruk ke lantai. Membuat Leonna terhuyung karena tak mampu menahan tubuh Verrel yang besar. "Kakak," Leonna semakin khawatir dan ikut duduk di hadapan Verrel yang menunduk. Wajah Verrel sudah sangat pucat hingga dia memuntahkan darah dari mulutnya.

"Kakak!" pekik Leonna dengan tangisnya, Adrian juga ikut khawatir.

"Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Kak." ucap Adrian.

"Lakukan sesuatu, Rian. Kakak,, hikzz" isak Leonna saat tubuh Verrel ambruk ke pangkuannya.

"Aku sangat mencintaimu, maafkan aku sungguh maafkan aku." gumam Verrel hingga akhirnya menutup mata.

"KAKAK! hikzzzzzz...." Jerit Leonna.

