Bab 30

Rindi terbangun dari rebahannya, ia sejak tadi hanya melamun menatap lampu tidur di samping ranjang. Ia memikirkan ucapan ibunya Daffa, rasanya begitu menyakitkan. Rindi merasa mulai bangkit dari keterpurukannya karena Daffa tetapi sekarang dia harus di tolak lagi oleh orangtuannya.

Haruskah seperti ini lagi...?

Apa salahnya sampai harus berulang kali mendapatkan perlakuan seperti ini.

Ia menatap kakinya yang tidak tertutupi selimut. Bayangan saat ia tenggelam terlintas di benaknya. Saat itu ia merasa seperti akan mati dan mengakhiri segalanya karena kakinya yang tak mampu bergerak sama sekali.

Ia berangsur menurunkan sebelah kakinya ke lantai marmer yang dingin, lalu menurunkan kaki yang satunya lagi. Ia menatap kedua kakinya dengan helaan nafas dan penuh keteguhan.

"Aku harus bisa," gumamnya.

Dengan berpegangan pada sisi ranjang, ia mulai mengangkat tubuhnya dengan bertumpu pada kedua tangannya. Ia harus mencapai kursi roda yang hanya berjarak beberapa cm darinya.

"Kamu bisa," gumamnya mulai menggerakkan kakinya yang berangsur di lantai.

Tetapi baru melangkahkan sedikit saja kakinya sudah bergetar dan tubuhnya oleng karena kehilangan keseimbangan.

Brug

Tubuhnya jatuh ke lantai karena kakinya masih tak mampu berpijak.

"Hikzz.... aku benci seperti ini." Ia menangis histeris sambil memukuli kedua kakinya. "aku benci seperti ini, aku benci!"

Tangisnya pecah seketika sambil memukuli kedua kakinya.

"Rindi sayang," Irene yang datang bersama Seno segera menghampiri Rindi dan memeluk putrinya itu. Sedangkan Randa berdiri di ambang pintu,

"Ada apa Nak?" tanya Seno yang sudah berjongkok di depan Rindi, sedangkan Irene sudah memeluk Rindi.

"Hikz.... aku benci lumpuh. Semua orang menghinaku, aku tidak mau cacar, aku mau berjalan dengan kakiku sendiri. Hikzz,,,," jeritnya histeris membuat Seno berkaca-kaca, bahkan Irene dan Randa sudah menangis melihatnya.

"Aku ingin seperti yang lain, Papa. Aku ingin bisa berjalan, hikzzzz...."

"Kenapa aku harus berbeda dari yang lain, kenapa aku harus seperti ini, hikzz. Aku benci kondisi seperti ini." Rindi semakin menangis terisak di pelukan Irene.

"Kamu pasti akan berjalan kembali, Sayang. Hanya butuh waktu, kamu akan terus mengikuti beberapa terapi lagi untuk bisa berjalan." Seno menjelaskannya dengan begitu lembut seraya mengusap kepala Rindi.

"ini sudah 6 bulan berlalu tetapi aku masih seperti ini. Aku masih lumpuh," isaknya.

"Belum Nak, bersabarlah sedikit lagi." Seno ikut memeluk Rindi.

"Aku takut, aku takut tak mampu berjalan lagi, hikzzz. Aku takut hanya akan hidup dengan merepotkan orang-orang."

"Tidak Sayang, tidak akan yang di repotkan oleh kamu," ucap Irene. "Kami di sini untukmu,"

Randa tak mampu lagi melihat pemandangan seperti itu, ia beranjak pergi menuju kamarnya dan menangis sejadi-jadinya di sana. Andai ia bisa mendonorkan kedua kakinya untuk kembarannya itu.

Sejak dulu Rindi begitu sulit mendapatkan kebahagiaan, dia gadis yang begitu tertutup. Bahkan saat bersama Percypun, ia seakan tak memiliki sumber kebahagiaan lain selain Percy. Masalah dan cobaan terus datang padanya. Membuatnya semakin berputus asa.

***

Daffa berjalan memasuki sebuah rumah mewah. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Rumah keluarganya,

Rumah yang sudah beberapa tahun di tinggalkannya dan lebih memilih hidup sendirian. Daffa memang terlihat brengsek dan player tetapi jauh dalam dirinya ia memiliki luka yang mendalam. Hidupnya begitu kelam sampai iapun merasa tak ingin kembali ke masa itu.

Daffa mendorong pintu bercat coklat yang kokoh itu, hingga ruangan luas yang di hiasi barang-barang mewah menampilkan dirinya di hadapan Daffa. Warna putih gading yang mendominasi warna ini.

Hiasan, gucci dan lampu hampir berkarat emas. Tidak ada yang mengetahui seberapa kayanya keluarga Daffa.

Tetapi semua kekayaan itu tak berarti apapun dan semu karena wanita jalang itu yang menghancurkan segalanya.

Segalanya....

Ia melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang ada di sana, ruangan yang di dominasi warna gading dan coklat. Seseorang terlihat duduk dengan anggun dan angkuh di dekat perapian seraya menyesap segelas wine.

"Akhirnya kamu pulang juga," ucapnya saat Daffa melangkahkan kakinya mendekati seseorang itu.

"Apa yang kau katakan pada Rindi?" tanyanya tanpa basa basi.

Wanita itu menaikkan sebelah alisnya menatap Daffa, tangannya bergerak untuk menyimpan gelasnya di atas meja di dekatnya. Lalu ia membenahi duduknya menjadi lebih angkuh dengan menghela nafasnya.

"Duduklah, kita berbicara. Sudah lama kita tak berbicara,"

"Aku tidak butuh!"

"Setelah sekian lama tidak pulang, seperti ini sikapmu pada Ibumu sendiri?" tanyanya sarkasis.

"Berhenti mengatakan kau Ibuku, aku bahkan tak sudi memanggil nama itu padamu wanita Jalang."

"Jaga ucapanmu Daffa, aku ini Ibu yang melahirkanmu!"

"Aku tidak pernah memintanya. Dan kalaupun bisa aku memintanya, maka aku akan meminta pada tuhan untuk tidak pernah di lahirkan di rahim wanita sepertimu!"

Wanita itu terlihat geram menatap ke arah Daffa, begitu juga Daffa yang tak takut membalas tatapan tajam wanita itu.

"Kita sudah lama tak bertemu, aku malas berdebat denganmu. Sebaiknya kita makan malam bersama." Wanita itu beranjak dari duduknya dan beranjak menuju ambang pintu.

"Jangan campuri kehidupanku lagi!"

Ucapan Daffa menghentikan langkah wanita itu. Ia berbalik ke arah Daffa yang menatapnya dengan tajam.

"Ibu sedang tidak ingin berdebat denganmu, Daffa."

"Akupun begitu, jadi berhentilah mengganggu kehidupanku!"

"Dia wanita cacat, sadarlah Daffa. Selama ini Ibu diam saja saat menonton berita tentangmu yang dekat dengan beberapa wanita."

"Dia tidak cacat!"

"Kalau bukan cacat lalu apa? Lumpuh? Dia tidak pantas untukmu. Lihatlah kamu sekarang, kamu bisa dapatkan 1000 wanita yang lebih cantik dari dia, jangan dia!" ucapnya. "Tinggalkan gadis cacat itu, dia tidak pantas untukmu. Ibu akan memperkenalkan beberapa model cantik dan anak teman-teman Ibu untukmu."

"Sudah selesai?" ucap Daffa sarkasis membuat wanita itu terdiam.

"Pertama jangan bersikap seolah-olah kamu adalah seorang Ibu yang baik. Kebencianku kepadamu sudah memupuk begitu besar!" ucapannya membuat wanita itu sedikit sedih tetapi tetap menampilkan wajah angkuhnya. "Kedua, This is my life! Jadi tidak ada hak anda mencapurinya."

"Dan ketiga, sampai matipun aku tidak akan pernah meninggalkannya. Aku bahkan akan segera melamarnya dan menikahinya, dengan atau tanpa restu darimu. Karena restumu tak berarti apapun bagiku!"

Setelah mengatakan hal yang membuat wanita itu melongo, Daffapun melenggang pergi meninggalkan rumah mewah bak istana itu yang begitu mencengkam dan memupuk kesedihan.

Rumah yang meninggalkan jejak kelam dan luka bagi Daffa. Ia bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di rumah itu. Tidak perduli apapun yang terjadi.

***

Percy baru saja sampai di rumah orangtuanya, ia baru saja pulang. Sejak kemarin ia tidak pulang ke rumah orangtuanya maupun ke apartementnya. Ia menghabiskan waktunya mencari keberadaan Rasya di setiap pelosok Jakarta. Bahkan ia sampai ke Tangerang, Banten, Bekasi, Bogor. Ia terus mencari keberadaan Rasya tanpa berhenti.

Bahkan semua teman sekolanya ia hubungi dan di datangi rumahnya karena siapa tau Rasya ada di sana. Selain itu teman SMA, Percy juga menanyakan teman-teman kuliah mereka. Bahkan ia menyelidiki kembali Rocky, ia takut Rocky menculik Rasya.

"Kamu sudah pulang," Dewi menatap simpati pada putranya itu yang terlihat begitu kacau.

Ia terlihat begitu kacau, bulu di sekitar rahangnya semakin tebal. Bagian bawah matanya terlihat jelas lingkaran hitam dan merah, matanya terlihat tak bersemangat. Ia terlihat begitu kacau,,,

"Makanlah dulu, Mama sudah masak untukmu."

"Aku tidak lapar, dimana Pretty?"

"Dia ada di dalam kamarnya,"

Percy sedikit berlari menuju ke kamar adiknya itu dengan sebucket bunga di tangannya.

"Assalamu'alaikum," Dewi tersentak mendengar salam itu. Terlihat sang suami datang, ia segera menghapus air matanya dan segera menyambut Edwin.

"Ada apa?" Dewi hanya menggelengkan kepalanya seraya mengambil tas yang di bawa Edwin. "Percy sudah pulang?"

"Dia ada di kamar Pretty," ucapnya seketika air matanya luruh membasahi pipi.

"Aku paham apa yang kamu rasakan, ini memang sulit." Edwin menghapus air mata istrinya.

"Apa kesalahan kita begitu besar hingga kedua anak kita harus mengalami hal seperti ini?" tangisnya. "Apa ini sebuah karma? Tetapi bukankah kita hanya ingin yang terbaik untuk kedua anak kita?"

Edwin hanya diam saja tanpa bisa mengatakan apapun. "Kenapa harus seperti ini?" isaknya dan Edwin hanya mampu memeluk istrinya itu.

Di dalam kamar, Percy berjalan mendekati Pretty yang tengah berdiri di balkon kamarnya. Ia terlihat menatap handphonenya dimana terdapat fotonya dengan Datan yang begitu konyol.

"Anginnya begitu kencang dan terasa dingin. Sebaiknya kamu masuk ke dalam." Mendengar ucapan itu membuat Pretty menengok, ia tersenyum kecil pada sang Kakak. Ia beranjak memasuki kamar seraya menghapus air matanya.

"Kakak dari mana saja?" Pretty dengan manja menyandarkan kepalanya di dada Percy.

"Aku mencari keberadaan Rasya,"

"Apa sudah ada informasi mengenai dia?" Pretty melepaskan pelukannya dan menatap Percy dengan seksama tetapi Percy hanya menggelengkan kepalanya.

"Ini untukmu," Percy menyerahkan sebucket bunga kesukaan Pretty.

Pretty tersenyum menerimanya, "Terima kasih, Kak."

"Jangan terlalu memikirkannya, kalau dia memang di takdirkan untukmu maka dia akan kembali padamu, Kak." Percy tersenyum mendengar penuturan Pretty.

Inginnya seperti itu, menjalankan kehidupan seperti sedia kala dan menanti Rasya. Dia memasrahkan takdirnya pada sang maha kuasa. Tetapi ia tidak bisa seperti itu, kegelisahaan, kekhawatiran dan rasa bersalahnya begitu besar hingga sampai kapanpun ia tidak akan mampu menjalankan hidup seperti biasanya.

"Maaf Den, Non. Di bawah ada pak Okta dan pak Dhika. Nyonya meminta kalian untuk turun,"

Mendengar penuturan itu membuat Percy dan Pretty beranjak keluar kamar.

Di bawah terlihat sudah ada Dhika, Okta dan Chacha. Pretty langsung duduk di samping Dewi. Okta menjelaskan maksudnya pada mereka semua yang membuat mereka kaget bukan main. Okta melamar Pretty untuk putra semata wayangnya.

"Om meminta maaf yang sebesar-besarnya atas nama Datan, tetapi terimalah dia, Sayang. Sebenarnya dia sudah mencintaimu, hanya saja dia belum menyadarinya."

Pretty hanya diam membisu tidak bisa menjawab apapun.

Setelah pembicaraan panjang itu, akhirnya Pretty menerima tawaran Okta untuk memberi pelajaran pada Datan. Percy memikirkan sesuatu, mungkin juga sekarang Rasya ada di dekatnya hanya saja dia tengah menghukum dirinya yang telah menyia-nyiakannya?

Benarkah???

Percy hanya berharap istri dan calon anaknya itu dalam keadaan baik-baik saja. Hanya itu yang Percy harapkan.

'Dimanapun kamu berada, aku selalu mendoakan kesehatan kalian. Aku berharap kalian bahagia,'

Setelah acara itu selesai, Percy pamit meninggalkan mereka semua. Ia berjalan menuju taman belakang dan menyulutkan rokok. Perlahan ia menghisapnya dan menghembuskan asapnya ke udara seakan mengeluarkan segala bebannya.

"Apa om boleh bergabung," mendengar penuturan itu, Percy menoleh dan mengangguk kecil saat melihat sosok Dhika di belakangnya.

Dhika berdiri di samping Percy dengan memasukan kedua tangannya pada saku celananya.

"Om pernah merasakan hal yang sama sepertimu." Percy terdiam mendengarkan penuturan Dhika dengan memainkan rokok yang ia pegang. "Hah," Dhika menghembuskan nafasnya seakan tidak ingin lagi mengingat masa itu.

"Satu hal yang selalu Om percaya dan Om pegang teguh di dalam hati. Dia adalah tulang rusuk Om, sejauh apapun dia pergi maka dia akan kembali pada Om." Dhika tersenyum kecil mengingat hal itu.

"Konyol sih, karena dia pergi dengan membawa luka yang Om berikan. Tetapi untuk meyakinkan diri hanya itu yang bisa Om lakukan. Takdir memang tidak bisa di rubah, tetapi hati dan usaha kita yang bisa membawa takdir kita akan kemana."

Percy menoleh padanya. "Percayalah, dia akan kembali padamu. Apalagi ada anak yang bisa mempersatukan kalian." Dhika tersenyum padanya seraya menepuk pundaknya. "Jangan pernah menyerah dan berputus asa, waktu dan jarak bukanlah sesuatu yang bisa membuat kita kalah."

Dhika memang mengatakan sesuatu yang ambigu, tetapi Percy dapat memahaminya. Ia juga bisa melihat langsung bagaimana tersiksanya Dhika dulu. Ia menyaksikan sendiri bagaimana hancurnya Dhika. Walau saat itu ia belum memahaminya.

Dhika sudah berlalu pergi meninggalkan Percy sendiri. Ia terlihat berkaca-kaca dan kembali menghisap rokoknya lebih dalam lagi seakan tidak ingin menangis lagi.

Dulu dia memang terkenal sebagai Percy yang cengeng tetapi sudah lama sekali sejak SMP, dia sudah tidak pernah menangis lagi. Dia berusaha untuk menjadi pria yang kuat, supaya tak di ejek cengeng lagi. Tetapi kali ini Rasya berhasil membuatnya terus menerus menangis dan kembali menjadi Percy yang cengeng.

***

Rasya baru saja keluar dari sebuah mini market bersama Hezky. Mereka terlihat tertawa kecil sambil bercanda dengan menjinjing kantong belanjaan mereka.

Perut Rasya sudah terlihat membuncit, dia terlihat cantik dengan keadaan hamil.

Mereka berjalan di trotoar dengan saling bercanda dan tertawa.

"Berhenti bercanda, Rasya. Ayo kita harus segera sampai di flat.

Hezky terlihat menerima telpon dan berjalan sedikit ke jalanan. Hingga Rasya melihat motor melaju dengan kencang ke arah Hezky.

"Hez awas,,"

Brak

"Rasya.....!!!!"

Rasya terlihat terjatuh karena terserempet, ia meringis memegang perutnya. Darah mengalir dengan begitu derasnya di bagian selangkangannya.

"Rasya, ya tuhan! Help,,,, Help me... please!" teriaknya seraya menahan kepala Rasya dengan lengannya. "Sya bertahanlah," ia sudah menangis melihat kondisi sahabatnya yang meringis kesakitan dan darah yang menggenang banyak sekali di sekitar mereka.

Rasya langsung di larikan ke sebuah rumah sakit. Hezky berdiri di luar ruang emergency dengan sangat gelisah. Ia terus mondar mandir dengan tangisannya yang pecah.

Ia menangis dan bingung harus bagaimana.

Tak lama dokter keluar dari ruangan.

"Keadaannya masih kritis, dan bayinya tidak terselamatkan."

Deg

Hezky mematung di tempatnya. Tangisnya semakin pecah, ia sampai terduduk di kursi tunggu karena syok. Ia begitu merasa bersalah pada Rasya. Karena hanya itulah kenangan Percy yang di miliki Rasya.