Hu Yucheng tiba-tiba seperti seekor ikan yang melompat ke dalam air, beberapa saat berikutnya nyawanya kembali lagi. Dia langsung menarik tangan Taozi, dan tanpa basa basi dirinya langsung menembak Taozi, "Su Tao, wajahmu imut sekali. Bagaimana kalau kamu menjadi pacarku?" katanya. Jujur saja, sejak kecil dia memang seorang anak yang mempunyai bakat untuk mendekati gadis-gadis.
"Ha?" gumam Taozi yang tersentak ketika mendengar ucapan Hu Yucheng yang secara tiba-tiba. Dia menoleh ke arah Shen Mochen, tapi dia mendapati Shen Mochen tidak menampilkan ekspresi apapun.
"Aku bisa menjamin, kalau aku akan memperlakukanmu dengan baik. Entah itu makanan enak, atau mainan, aku pasti akan memberikannya terlebih dahulu kepadamu. Kalau kamu bersedia, nanti setengah dari uang sakuku akan menjadi milikmu juga!" kata Hu Yucheng yang menjanjikan panjang lebar kepada Taozi.
"Pacar itu apa?" tanya Taozi kemudian. Dalam pikirannya, dia sama sekali tidak mengetahui arti kata 'pacar' ini. Karena dia hanya tahu kalau dirinya sama seperti menantu perempuan dan seorang istri.
"Ehm… teman baik perempuanku. Kamu tenang saja, aku pasti memperlakukanmu dengan sangat baik. Nanti kamu bisa menjadi istriku," lanjut Hu Yucheng sambil menepuk dadanya. Sebenarnya dia pun hanya sekedar tahu tentang hal seperti ini, bukan yang sangat paham atau semacamnya. Tapi karena anak ini terlalu banyak menonton televisi, dia pun terkontaminasi oleh pemikiran orang dewasa.
"Tidak mau," jawab Taozi dengan sangat tegas. Lalu, dia semakin menggenggam erat tangan Shen Mochen, "Dia itu suamiku. Aku tidak mau yang lain." katanya menambahkan.
Baiklah, meskipun tidak mengatakan mengapa, tapi Shen Mochen merasa kalimat ini terdengar sangat jelas.
"Hei… Kamu tidak bisa secepat itu menolakku. Kamu bisa mengetesku, loh! Aku bahkan melihat televisi di rumahku, bukankah biasanya membutuhkan waktu?" tanya Hu Yucheng sekali lagi. Dia yang berjalan bersama mereka memandangi kedua orang itu dengan tatapan malas. Kemudian dia hanya berharap bahwa suatu saat mereka akan berpisah hingga saat kelulusan sekolah tiba. Dan tentu saja, saat itu pasti akan terjadi.
※
Para murid sekolah dasar itu selalu dianjurkan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang moralitas, kecerdasan, pendidikan jasmani, keterampilan dan kewirausahaan. Karena itu sekolah pun juga membuka berbagai macam kelas peminatan. Dengan ketentuan, setiap murid paling tidak memilih satu kelas peminatan.
Taozi tampak membawa kertas formulir kelas peminatan itu, kemudian dia membaca satu persatu dengan seksama. Hanya saja, setelah sekian lama membaca, dia menyadari kalau tulisan yang ada dalam formulir itu mengenali dirinya, tapi dirinya sama sekali tidak mengenali tulisan itu. Dia pun memanfaatkan waktu setelah pelajaran untuk pergi ke lantai 2 dan menemui Shen Mochen. Dia berlari dengan penuh semangat agar segera mungkin bertemu dengan Shen Mochen.
"Ada apa?" tanya Shen Mochen yang berada di belakang Hu Yucheng, ketika akan berjalan menuju ruang kelas mereka.
"Sayang, banyak tulisan yang tidak aku mengerti dikertas ini. Wali kelas menyuruh kita kalau sebelum pulang sekolah harus sudah mengisi formulir ini dan mengumpulkannya." kata Taozi sambil menampilkan wajah sedihnya, lalu dia memberikan formulir itu kepada Shen Mochen.
Jangan ragukan lagi kemampuan Shen Mochen, meskipun dia baru duduk dibangku kelas 2, tapi ayahnya adalah seorang profesor di universitas. Ketika dia di taman kanak-kanak, tingkat pengetahuan tulisannya sudah melebihi standar kemampuan sekolah dasar tingkat 6. Tentu saja, hobi Taozi adalah memperhatikan suaminya. Karena, saat itu dia tidak terlalu serius mendengarkan ayah mertuanya ketika mengajari pengetahuan tulisan.
"Kamu suka apa?" tanya Shen Mochen, namun dia tidak mengambil formulir itu, dia hanya melihat Taozi dan asal bertanya.
"Hm… Sepertinya tidak ada yang kusukai," kata Taozi sambil melihat langit biru dari koridor lantai 2. "Tapi guru bilang kalau kita wajib ikut kelas peminatan ini. Oh iya, kamu ikut kelas peminatan apa?" tanyanya setelah itu.
Shen Mochen menaikkan alisnya sembari menjawab dengan nada dingin, "Aku? Kelas keterampilan..."