Menantuku (5)

Taozi lalu menepuk pundak Shen Mochen dan berkata, "Hei, perhatikan aku sebentar saja. Andai saja kamu tidak menyuruhku pergi ke kelasmu untuk menunggumu tadi pagi, mungkin kita juga tidak akan ketahuan oleh guru BK yang jahat itu…"

"Hmm." jawab Shen Mochen. Lalu, dia kembali mengerjakan PR-nya.

"Apanya yang 'hmm'?" tanya Taozi lagi.

"Berisik, PR mu sudah selesai kamu kerjakan?" tanya Shen Mochen sambil melirik Taozi.

"Hari ini kan hari pertama sekolah, mana ada PR!" jawab Taozi dengan kesal. 

"Oh," gumam Shen Mochen yang lagi-lagi tidak memperdulikan Taozi.

Taozi merasa sedikit frustrasi, Haduh anak ini, kalau biasanya tidak memperdulikanku ya tidak masalah. Tapi sekarang kan urusan hidup dan mati, bisa-bisanya dia masih acuh kepadaku, katanya dalam hati.

Tapi, tetap saja Taozi hanya berani memaki Shen Mochen dalam hatinya, dia tidak berani mengekspresikannya keluar. Dia tidak punya kekuatan karena setiap hari harus bersepeda bersama Shen Mochen ke sekolah.

Taozi memikirkan sesuatu, tiba-tiba terlintas ide cemerlang dalam benaknya. Dia mengambil bantal yang ada di kasur, lalu berbaring di sebelah meja belajar Shen Mochen. Dia menopang pipinya dengan kedua tangannya dan menatap Shen Mochen dalam-dalam. 

Shen Mochen melihat Taozi yang tiba-tiba berbaring di sebelahnya hanya menoleh sesaat, lalu kembali fokus ke PR-nya. Wajah Taozi yang putih tampak tersinari oleh cahaya lampu meja. Kedua matanya kemudian memancarkan kerlingan cahaya seperti mutiara yang indah. Astaga… Aku sudah menatap Shen Mochen seperti ini, bisa-bisanya dia tidak meresponnya sedikit pun? batinnya.

Taozi merasa dirinya sedikit stres akan hal ini. Dia lalu melihat Shen Mochen yang pandangannya terus tertuju kepada PR-nya. Sepasang bulu mata lentik terpancar di bawah cahaya lampu meja dengan bibirnya yang terangkat sedikit, jemari panjangnya juga tampak menggenggam sebuah bolpoin. Dia terlihat sibuk menulis rumus-rumus matematika dan menghitung jawabannya.

"Selesai." kata Shen Mochen sambil melihat tugasnya sekali lagi, kemudian dia memasukkannya ke dalam tas. Dia lalu sedikit tertawa ketika melihat Taozi yang masih tetap dalam posisinya di samping meja belajarnya, "Sebenarnya apa yang kamu khawatirkan?" tanyanya.

"Besok aku tidak ada orang tua yang bisa datang," ucap Taozi sekali lagi. Padahal, dia sudah mengatakan hal ini beberapa kali, tapi Shen Mochen sama sekali tidak mendengarnya berbicara.

"Terus kenapa?" tanya Shen Mochen kemudian.

"..." Mata Taozi seketika berlinang air mata. Apa jangan-jangan pikiranku kini sudah tidak lagi dengan Shen Mochen? Apa Shen Mochen memang benar-benar berasal dari planet lain? Apanya yang 'terus kenapa'?! Guru BK itu menyuruhku untuk memanggil orang tua, dan kini kedua orang tuaku tidak berada di rumah. Bisa-bisanya Shen Mochen masih bertanya 'terus kenapa'?! batinnya dengan kesal.

Mungkin ekspresi Taozi saat ini bercampur aduk antara marah dan sedih. Dan karena hal itu membuat Shen Mochen tidak sanggup untuk tertawa.

"Apa yang perlu ditakuti. Besok ayahku tidak ada kelas, ajak saja dia untuk pergi. Sejak kecil sampai sekarang aku belum pernah disuruh untuk membawa orangtua ke sekolah," jawab Shen Mochen dengan santai. Dengan salah satu tangannya, dia lalu mengambil kaset video yang berada di samping meja belajarnya, kemudian memasukkan ke dalam komputernya. Alunan musik yang tenang pun perlahan mengisi ruangan itu.

"..." Taozi seketika merasa banyak bintang kecil kini mengelilingi kepalanya yang kecil. Siapapun, siapakah yang bisa memberitahuku apa yang sebenarnya Shen Mochen katakan? Apakah dia benar-benar mendiskusikannya dengan orang tuanya? Mengapa aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Shen Mochen? batinnya.

"Aku sudah bilang ke ayahku. Lagi pula ini juga pertama kalinya dia dipanggil. Hmm… Bagaimana ya, kelihatannya dia sedikit menikmatinya…" kata Shen Mochen kemudian...