Tok tok tok.
"Pamaaaannnn … Pamaaaaannnnn … aku sudah menyiapkan sarapan untukmu, Pamannnn!"
Sudah berkali-kali Blossom mengetuk pintu kamar majikan barunya itu, namun sepertinya Steven masih enggan meninggalkan alam mimpinya. Membuat si remaja berambut sewarna bunga sakura menjadi gemas di luar.
"Ck. Dasar Paman pemalas," umpatnya di depan pintu kamar penolongnya itu, "Ini kan sudah hampir jam delapan, masa masih belum bangun juga."
"PAMAAAAAANNNNN!" Blossom kemudian memutup mulutnya dengan tangan karena Steven sudah muncul di pintu kamarnya dengan wajah membunuh. "Hehehe … Paman sudah bangun, ya?" tanyanya dengan senyum yang dibuat sepolos mungkin.
Namun senyum itu perlahan-lahan memudar karena nyali Blossom yang semakin ciut akibat tatapan Steven yang makin menusuknya.
"Bisa tidak menggangguku?"
Pertanyaan yang terucapkan dengan nada datar namun tajam itu membuat nyali Blossom makin mengecil sehingga ia mengangguk cepat. Ditatap seperti itu oleh Steven rasanya seperti ditatap oleh Count Dracula, sungguh mengerikan.
"Apa tadi ada yang mengantarkan paket?"
Lagi-lagi Blossom mengangguk takut sebagai jawaban.
"Itu seragam sekolahmu dan alat tulis, tadi malam aku sudah menghubungi sahabatku untuk mengurus kepindahanmu," lanjut Steven lagi dan membuat mata Blossom berbinar-binar kegirangan.
Steven memesan seragam sekolah dan alat tulis? Apa itu tandanya ia akan bersekolah? Hari ini rasanya sunguh luar biasa! "Baik Paman!" Dengan semangat menggelora ia berlari ke ruang tamu tempat ia meletakan paket, lalu menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap.
"Paman? Huh," gerutu Steven saat anak itu sudah menghilang dari hadapannya. Hell, umurnya baru 27 tahun dan sekarang ia benar-benar dipanggil Paman?
.
oOo
.
Mata Blossom semakin berbinar saat mobil Steven berhenti di depan sebuah gedung sekolah yang sangat megah. Dia tahu sekolah ini, Scarlett Internasional High School. Sekolah bertaraf internasional yang sering masuk siaran televisi karena prestasinya baik di bidang akademik maupun olahraga dan seni. Sejak dulu dia memang selalu bermimpi bisa masuk di sekolah tersebut.
"Paman ... ini?"
"Hn. Ini sekolah barumu," jawab Steven sebelum keduanya turun dari mobil menuju ke dalam gedung sekolah. Setibanya di ruang guru mereka disambut oleh seorang wanita cantik bermata amethyst yang bernama Kimberly.
"Jadi ini Blossom? Pemuda yang manis," kata wanita itu.
"Errr … iya," jawab Blossom salah tingkah.
"Urus dia dengan benar."
Kimberly mengangguk mantap dan tersenyum menatap Blossom lagi. "Kau tidak perlu khawatir, Stev."
"Hn. Aku pergi. Nanti kau akan kujemput sepulang sekolah."
Setelah Steven pergi, Kimberly mempersilakan Blossom untuk duduk di sofa yang ada di ruang guru. Beberapa orang guru tampak melihat murid baru itu sebentar sebelum pergi, sepertinya mereka akan pergi ke kelas masing-masing untuk mengajar.
"Namaku Kimberly, salah satu guru di sini. Jadi kau pindahan dari Bandung?" tanya Kimberly yang dijawab dengan anggukan Blossom.
"Berkas-berkasmu yang hilang akan diurus Steven, jadi kau fokus belajar saja, ya," kata wanita itu lagi.
"Darimana Ibu tahu?"
Wanita cantik itu lagi-lagi tersenyum dan memandang Blossom sebentar. "Tadi malam Steven menelpon suamiku dan memintaku untuk mengurus kepindahanmu ke sekolah ini. Jarang-jarang dia bertindak seperti itu."
"Hihihi. Paman kan memang orang baik," ujar Blossom sambil tertawa kecil.
"Paman? Alex pasti akan menertawainya kalau tahu ada yang memanggil Steven paman. Baiklah, Blossom, ayo kita ke kelas, kebetulan aku adalah wali kelasmu."
.
oOo
.
"Namaku Blossom, pindahan dari Bandung. Salam kenal semua," serunya bersemangat.
"Nah, Blossom, kau boleh duduk di sebelah Yuki. Yuki angkat tanganmu." Blossom kemudian duduk di sebelah seorang gadis berambut pirang yang mengangkat tangannya.
"Hai, salam kenal, Yuki," sapa Blossom setelah tiba di tempat duduknya.
"Salam kenal, Blossom. ," balas gadis cantik itu.
Blossom memperhatikan ada yang tidak beres pada gadis di sampingnya itu. Tanpa disangka Blossom meletakan tangannya di dahi Yuki dengan wajah khawatir, "Kau sakit, Yuki? Sepertinya kau demam."
"A-aku ... aku baik-baik saja, Blossom."
"Ibu." Kimberly yang sedang mengajar kemudian berbalik ke arah Blossom. "Yuki sepertinya sedang sakit."
"Yuki, kau sakit?" dengan segera Kimberly menuju tempat duduk Blossom dan Yuki.
"Aku tidak apa-apa, Bu" jawab Yuki sambil tertunduk.
"Yuki, kalau kau sakit sebaiknya beristirahat saja. Bu, bolehkah aku mengantarnya ke ruang kesehatan?" tanya Blossom pada Kimberly.
"Kau tahu di mana ruang kesehatannya?" Kimberly balik bertanya pada Blossom.
"Yuki bisa menunjukkannya padaku," jawabnya mantap.
"Baiklah. Yuki kau bersama Blossom ke ruang kesehatan, ya. Kalau sudah merasa baikan kau boleh kembali ke kelas dan Blossom setelah mengantar Yuki, segeralah kembali ke kelas."
"Baik bu. Ayo, Yuki ." Dengan perlahan ia menarik tangan Yuki dan memapahnya keluar dari kelas.
"Baik anak-anak kita lanjutkan pelajarannya." Tampaknya Guru yang satu ini tidak menyadari aura tidak mengenakan dan kekaguman bercampur menjadi satu di dalam kelasnya.
'Blossom itu, baru masuk sudah berlagak sok pahlawan, di depan Yuki pula!' kira-kira seperti itulah isi hati para siswa yang merasa tersaingi.
Sedangkan para siswi memiliki pikiran yang berbeda, 'Dia gentle sekali. Yuki sungguh beruntung, aku juga mau ditolong Blossom seperti itu. Kyaaaaa mana wajah Blossom sangat manis.'
.
oOo
.
Blossom dan Yuki telah sampai di ruang kesehatan, namun ruangan itu kosong, tidak ada seorang pun. Blossom dengan cekatan membaringkan Yuki pada salah satu ranjang dan menyelimutinya. Ia lalu mengambil obat dan segelas air dan membantu Yuki meminum obatnya.
"Terima kasih, Blossom."
"Hm. Istirahatlah, Yuki," kata Blossom sambil memberikan kompres di dahi Yuki. "Jangan memaksakan diri kalau kau sakit. Kau tidak apa-apa 'kan ditinggal sendiri?"
"Aku tidak apa-apa, Blossom, terima kasih."
"Baiklah kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu. Semoga cepat sembuh ya Yuki," ujar Blossom sambil menepuk-nepuk pelan puncak kepala Yuki.
"Blossom …," kata Yuki sambil memandang punggung Blossom yang berjalan menuju pintu.
.
oOo
.
Pada saat jam istirahat para gadis berkerumun di sekitar meja Blossom dan membuat siswa-siswa lainnya semakin cemberut.
"Blossom, apa kau mau berkeliling sekolah denganku?"
"Blossom, maukah kau ke kantin bersamaku?"
Tampaknya murid pindahan ini kewalah menghadapi berbagai macam ajakan dari siswi-siswi yang mengerumuninya. Belum sempat dia menjawab satu pertanyaan sudah muncul pertanyaan lainnya. Rasa risih juga ternyata dirasakan oleh para siswa akibat kepopuleran Blossom yang mendadak itu.
"Cih, lihat murid pindahan itu. Baru datang sudah berlagak."
"Laki-laki kok berwajah cantik? Rambutnya merah muda pula. Apa gadis-gadis ini sudah tidak waras?"
"Blossom akan berkeliling sekolah bersamaku." Suasana di dalam kelas menjadi hening karena suara dari seorang gadis. Dari arah pintu masuklah Yuki.
"Blossom sebagai ucapan terima kasih aku akan menemanimu berkeliling sekolah ini," kata Yuki lagi setelah duduk di samping Blossom.
"Kau sudah merasa baikan, Yuki?"
"Hm." Yuki mengangguk sebagai jawaban. "Sepertinya obat yang kau berikan manjur dan aku tadi sudah tidur sebentar, jadi aku sudah merasa lebih baik sekarang."
"Syukurlah kalau begitu," jawab Blossom sambil tersenyum.
Semua gadis tanpa terkecuali tersipu karena senyum Blossom itu.
"Blossom, ayo kita makan siang bersama. Kebetulan aku membawa bekal," ajak Yuki yang masih tersipu.
"Baiklah."
Merasa di atas angin Yuki tersenyum angkuh pada gadis-gadis lain yang masih berada di sekitar mereka. "Ayo Blossom, makan di atap sekolah sepertinya menyenangkan."
Blossom sialan itu memang perlu diberi pelajaran.
.
oOo
.
Sepulang sekolah, Blossom menunggu paman tampannya itu di gerbang sekolah. Sekolah sudah terlihat sepi karena semua murid sudah pulang. Ia sesekali melirik jam tangannya dengan gelisah karena Steven tak kunjung datang, padahal ia sudah menunggu selama hampir satu jam.
"Ck. Dasar paman lelet. Sudah tua sih, makanya lambat," keluhnya kesal.
"Blossom, bisa ikut kami?" Blossom mengernyit bingung saat beberapa siswa yang ia tahu sebagai teman sekelasnya mengelilinginya.
"Ke mana?"
"Ikut saja."
Blossom mengikuti teman-teman barunya itu dengan bertanya-tanya. Ia memiliki firasat buruk saat mereka sampai di belakang sekolah.
"Huh. Baru masuk sudah sok gentle pada Yuki dan gadis lain. Kau benar-benar tidak tahu malu, Pinky!" kata seseorang yang berkepala botak.
"Benar. Apa sih bagusnya kau ini? Wajah cantik, rambut merah muda, benar-benar seperti banci," sambung yang lainnya.
Blossom berpikir sebentar dan mencerna kata-kata mereka, "HAH? Jangan bilang kalian iri padaku?" tanya gadis yang menyamar itu dengan takjub.
"Iri?" si kepala botak itu langsung mencengkeram kerah seragam Blossom.
"Ya, iri. Lucu sekali, apa ini kelakuan anak-anak di sekolah elit? Tidak ada bedanya dengan preman," jawab Blossom santai yang disambut dengann umpatan-umpatan tidak terima dari orang-orang yang mengepungnya.
"KAU!" si kepala botak sudah mengambil ancang-ancang dan mengarahkan tangan untuk meninjunya.
"Cih berisik sekali! Siapa yang mengganggu tidurku?" dari atas pohon besar di dekat mereka seorang pria melompat dan mendarat di dekat mereka,
"Ka Michelle"
"Hn. Kalian semua mengganggu tidurku."
Orang baru bangun tidur karena terganggu pasti memiliki mood yang jelek. Para junior sepertinya tahu kalau senior mereka itu sedang kesal. Apalagi orang ini adalah Michelle yang ditakuti satu sekolah bahkan oleh para guru sekali pun.
"Ma-maaf ka... kami pergi dulu." Dengan langkah seribu, mereka segera meninggalkan tempat itu. tinggalah Blossom sendiri yang menatap bingung pada pemuda yang dipanggil Michelle itu.
"Apa lihat-lihat?"
"Mereka sepertinya takut padamu," kata Blossom polos.
"Kau tidak takut?"
"Kenapa harus takut? Kau tidak makan orang kan?" tanyanya lagi dengan polos.
"Hahahaha ... junior yang menarik."
Semua orang yang melihat Michelle pasti akan langsung patuh dan hormat padanya. Dia adalah berandal di sekolah ini, namun siapa yang berani memarahinya? Cuma kakak iparnya, Kimberly, yang berani memarahinya. Michelle hanya bertingkah seolah ia adalah anak baik di depan kakak iparnya itu, selebihnya ia akan kembali menjadi berandal. Jika ayahnya bukan Mike sang pemilik yayasan sekolah, sudah pasti sejak jauh-jauh hari ia dikeluarkan.
"Namaku Blossom, salam kenal, ka."
Makin heranlah Michelle karena bocah itu malah memperkenalkan diri.
"Kau memang menarik, bocah. Salam kenal, namaku Michelle," jawabnya sambil menyeringai.
"Apa kau mengenal Ibu Kimberly?"
"Dia kakak iparku."
"Oh." Blossom kemudian melirik jam tangannya, jangan-jangan Steven sudah sampai gerbang sekolah. "Aku pergi dulu, ya, ka,pamanku mungkin sudah menjemput."
"Hei, kau tidak mengucapkan terima kasih?"
Blossom mengernyitkan kening karena bingung. "Terima kasih?"
"Iya. Aku kan sudah menolongmu tadi."
"Kapan kau menolongku, ka?"
Perempatan siku sudah muncul di kening Michelle. Bocah tidak tahu diri, kalau tadi Michelle tidak muncul dia pasti sudah dikeroyok.
"Ah aku benar-benar harus pergi, ka, sampai jumpa." Dengan tergesa, ia berlari meninggalkan halaman belakang sekolah menuju ke pintu gerbang.
Benar saja, mobil Steven sudah terparkir di dekat gerbang dan sang pengemudi sudah bersandar pada badan mobilnya dengan wajah garang.
"Maaf, Paman," ujarnya dengan wajah yang dibuat sebersalah mungkin.
"..."
"Habis tadi Paman lama sih! Jadinya aku ke dalam dulu mengambil barangku yang ketinggalan." Seperti tak memedulikan tatapan tajam Steven, bocah itu malah balik menyalahkannya.
"Hn. Masuklah, kita akan membeli pakaian dan perlengkapanmu yang lain," seru Steven yang malas menanggapi keluhan Blossom.
"Pamaaaaaannnnn~" ujarnya kegirangan.
"Wah, jadi ini ya bocah itu." Seorang wanita berambut pirang keluar dari dalam mobil Steven.
"Dia siapa, Paman?" tanya Blossom tak suka.
"Namaku Scarlett, aku kekasih steven " ujar Scarlett, entah kenapa ada rasa tak suka saat Blossom mendengar perempuan itu menyebut dirinya kekasih sang paman. "Wah, Steven dipanggil paman, ya."
Blossom memandang Steven dengan pandangan bertanya namun tak ditanggapi oleh lelaki kaku itu. Akhirnya dengan wajah cemberut ia masuk ke dalam mobil dan duduk di bagian belakang.
.
oOo
.
Sepanjang acara berbelanja mereka terlihat hanya Scarlett yang bersemangat. Korban dari semua ini adalah Blossom, karena dengan seenaknya Steven duduk di Starducks sedangkan Blossom pergi bersama Scarlett. Pria itu nampak begitu santai ketika menyerahkan kartu kreditnya pada Scarlett dan memerintahkan perempuan itu untuk membeli segala hal yang diperlukan Blossom.
Jalan berkeliling, memegang banyak belanjaan sungguh menjadi neraka buat Blossom. Mereka membeli banyak pakaian, sepatu, bahkan pakaian dalam pria untuknya. Blossom yang notabene seorang gadis tentu saja merasa canggung karena harus memilih pakaian dalam pria yang pas untuk ukurannya. Uuugghh, padahal kan dia seorang gadis? Masa pakai dalaman pria?
Saat pulang ke rumah tenaganya benar-benar sudah habis. Para wanita yang masih sanggup berjalan setelah berbelanja gila-gilaan patut diacungi jempol. Steven sendiri seolah tidak peduli dengan bocah berambut aneh itu dan sama sekali tidak membantunya untuk mengangkat barang ke dalam rumah.
"Pamaaannn~ bantu aku," pintanya saat mengangkat sebuah kotak yang berukuran sedang.
"Aku masih banyak kerjaan, lagipula aku sudah mengeluarkan banyak uang untukmu," jawabnya tak acuh.
"Yang keluar kan uangmu bukan tenagamu," keluh Blossom lagi. Gadis itu kemudian memasang senyum polos saat Steven berbalik menatapnya sinis. Ia membalikan badan membelakangi Steven dan merutuki kebodohannya sendiri. Karena merasa kotak itu sedikit berat ia menurunkannya sebentar.
"Sini kotaknya kubawakan." Blossom berbalik karena mendengar suara Steven yang menawarkan bantuannya. Tangan pria itu terulur tepat saat Blossom membalikan badan lagi menghadapnya.
Eeehhhhhh
Detakan jantung Blossom seperti berhenti. Karena ia tadi buru-buru membalikan badan ke arah Steven dan tangan pria itu juga terulur degan cepat untuk meminta kotak, entah bagaimana tangan besar lelaki itu sekarang berada di dada kanannya. Walaupun ia melilit dadanya agar terlihat rata dan tidak ketahuan,tetap saja dia seorang gadis remaja kan? Apalagi tangan itu milik Steven!
.
.
.
To be continue