Sebelas

Kuy, komen sebanyak-banyaknya buat part ini 😁😁

Kenapa cerita ini harus dilanjut sampe ending?

🔥🔥🔥

Happy Reading ya ❤️❤️

🌲🌲🌲🌲🌲

Sebelum mengiyakan ancaman Aderaldo, Naara memastikan satu hal terlebih dahulu dengan pria itu.

"Berikan aku alasan yang masuk akal dengan perintahmu yang tiba-tiba ini? Aku tidak akan mengikuti ucapanmu jika kau tidak memberikanku penjelasan," tanya Naara masih dalam pelukan Aderaldo.

Pria itu mengecup bibir tebal Naara yang menjadi salah satu candunya saat ini. Alis tebal pria itu terangkat satu sambil menatap Naara lekat, pipi wanita itu merona merah, tapi ekspresinya tetap saja terlihat kesal.

"Aku tidak suka lingkungan kotor seperti apartmen sampahmu ini. Semuanya membuatku mual dan sangat tidak nyaman. Bagaimana bisa kau tahan hidup di apartmen sempit dan kumuh ini. Sangat menjijikan semua ini," jelas Aderaldo dan Naara hanya mengembuskan napas lelahnya.

Ia sudah lelah berdebat bahkan marah pada perlakuan semena-mena pria itu terhadapnya. Ia hanya akan mencari cara bagaimana bisa segera membuat bosan pria itu agar melepaskan dirinya dari sebutan 'mainan' Aderaldo. Cepat atau lambat pria itu akan membuangnya dan menggantinya dengan wanita lain lagi. Naara yakin itu.

"Lepaskan aku! Bagaimana aku bisa bersiap-siap, jika kau masih menempelkan tangan sialanmu itu di pinggangku," gerutu Naara.

Aderaldo membebaskan Naara dari kungkungan lengannya. Ia melepaskannya dengan mudah karena ingin segera cepat pergi dari tempat tinggal terkutuk yang membuat isi perutnya habis tidak bersisa.

"Cepat kemasi barang-barang yang penting saja. Aku hanya memberimu waktu sepuluh menit dari sekarang," ucap Aderaldo tanpa ragu.

Naara melebarkan kedua bola matanya mendengar ucapan pria brengsek itu.

"Dasar gila!" umpat Naara dan ia langsung pergi ke kamarnya, secepat mungkin memasukkan barang-barang terpenting menurutnya.

Pria tampan itu memilih untuk tetap berdiri seperti patung di posisinya. Ia enggan bergeser barang selangkah sekali pun. Matanya terpejam dan sesekali melirik arloji mahal yang melingkari lengan kirinya.

Baru saja pria itu akan menjeritkan waktu yang ia berikan akan selesai, ternyata Naara sudah lebih dulu sampai di hadapannya dengan koper kecil di tangannya.

Aderaldo menepuk puncak kepala Naara dan berkata, "Good girl," Naara yang mendengarnya hanya berdecih sambil membuang pandangan ke sembarang arah.

Dengan langkah tergesa, Aderaldo menarik Naara agar segera keluar dari tempat tinggal wanita itu. Jika orang yang melihatnya, mereka akan beranggapan bahwa Naara diculik atau melarikan diri dari kejaran polisi atau debtcollector.

Aderaldo menarik napas panjang dan membuangnya berkali-kali ketika mareka sudah berada di samping mobil mewah pria itu. Naara menatap Aderaldo dengan tatapan aneh.

"Kau terlalu berlebihan," celetuk Naara dan pria itu melirik tajam.

"Orang miskin sepertimu terbiasa hidup di lingkungan kumuh, tapi tidak berlaku padaku. Aku benci sampah, hal yang menggangguku, maka dari itu sebisa mungkin aku akan melenyapkannya," ucapan blak-blakan Aderaldo sukses membuat Naara kesal setengah mati.

Naara menahan diri untuk tidak mengumpat apalagi menanggapinya. Pria itu senang sekali memancing kemarahannya. Untungnya kali ini, Naara tidak terprovokasi.

Kali kedua wanita itu menaiki mobil mewah milik Aderaldo. Mobil tersebut membelah jalanan malam yang dihiasi kelap kelip lampu kota. Naara memandang takjub suasana malam di Jerman.

Naara menoleh kanan kiri jalanan. Ini kali pertama baginya melintasi jalanan malam kota Jerman selama beberapa hari sejak ia menginjakkan kaki di sana. Ia biasanya memilih untuk menghabiskan waktunya sepulang kuliah dengan berdiam diri di dalam apartmen sambil membaca buku dan mengerjakan tugas dari dosennya.

"Jangan bilang ini kali pertama kau melihat kota Jerman pada malam hari," sindir Aderaldo.

Naara mengangguk tanpa menoleh pria itu, ia lebih tertarik melihat pemandangan di jalanan dibanding menoleh pria mesum itu.

"Dasar udik," cemooh Aderaldo lagi dan Naara tetap mengabaikannya.

"Aku akan membawamu keliling kota Jerman, tapi tidak malam ini," ucapan Aderaldo sukses membuat Naara menatapnya penuh harap.

"Kau serius? Aku akan menagih janjimu," kata Naara antusias.

"Baiklah. Aku akan membawamu ke perkebunan anggur milikku,"

Aderaldo terkesima melihat senyum lebar terbit di wajah cantik Naara. Wanita itu begitu bahagia, ekspresi wajahnya benar membuat gemas Aderaldo.

🌲🌲🌲🌲🌲

Naara dilanda kepanikan saat mobil mewah Aderaldo memasuki area gelap, kanan dan kirinya hutan kecil hanya ada beberapa pencahayaan dari tiang lampu jalanan. Ia memilin-milin jari jemarinya. Wanita itu sama sekali tidak mengenal kota Berlin, dan sekarang ia dibawa entah ke alam apa oleh pria di sebelahnya ini.

"Kau tidak akan memutilasiku, 'kan?" tanya Naara ragu dan Aderaldo melirik sambil menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Aku masih ingin menamatkan kuliahku, bekerja di perusahaan membantu paman dan bibiku. Jadi, ku mohon, jangan bunuh aku," ucap Naara ketakutan.

Aderaldo makin mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naara.

"Apa yang kau katakan?" tanya Aderaldo tidak paham.

Naara mengatupkan kedua telapak tangannya ke depan dada dan memohon pada Aderaldo.

"Kau ingin membuangku ke hutan belantara ini bukan? Aku mohon padamu jangan lakukan itu. Aku akan melakukan apa pun perintahmu, tapi jangan celakai aku. Aku belum siap mati," pinta Naara.

Aderaldo berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak habis pikir dengan cara berpikir seorang Naara Kiva. Bisa-bisanya wanita itu beranggapan jika ia akan membunuhnya dan membuangnya ke hutan. Ia belum tahu saja jika, kanan kirinya adalah tempat yang indah. Pria itu memilih bungkam dan terus menginjak pedal gasnya sampai menuju tempat tujuannya.

Naara melotot dan mulutnya mengagan, ketika mobil mewah milik Aderaldo berhenti tepat di pintu masuk sebuah bangunan besar dan luas. Mungkin ini adalah hotel mewah di Berlin.

Deretan pelayan menyambut kedatangan Aderaldo dan Naara saat masuk ke dalam pintu depan. Ini bukan hotel, tapi rumah ah- bukan, ini massion.

Aderaldo berjalan santai melewati semua orang di sana tanpa menoleh apalagi menyapa. Naara yang mengekor jalannya pria itu tentu saja merasa salah tingkah dan melempar senyum kikuk. Wanita itu berjalan cepat lalu menarik ujung jas bagian belakang Aderaldo membuat pria itu berhenti berjalan dan menoleh dengan mengangkat sebelah alisnya pada Naara.

"Kau menyuruhku pindah ke sini?" tanya Naara tanpa basa basi.

"Menurutmu?" tanya Aderaldo balik.

"Hah? Aku tidak mau. Ini rumahmu, 'kan? Aku tidak mau tinggal satu atap denganmu," tolak Naara mentah-mentah.

Aderaldo berbalik badan sepenuhnya menghadap Naara sambil bersedekap tangan di depan dada, menatap lurus wanita itu.

"Kita tidak hanya satu atap, tapi kita akan tinggal di satu kamar. Apa sudah cukup jelas ucapanku ini?" kata Aderaldo dan sontak Naara mundur perlahan sambil menggeleng tidak percaya.

"Dasar gila! Aku tidak mau!" umpat Naara dan Aderaldo hanya mengangkat sebelah bahunya.

Naara berbalik dan berancang-ancang untuk lari dari tempat itu, lalu pergi dari sana dari pada ia harus tinggal satu kamar dengan pria tampan nan mesum spesies seperti Aderaldo.

Tapi semua berakhir menjadi angan-angan. Aderaldo jauh lebih cepat dan gesit untuk membopong tubuh Naara dalam kedua tangannya. Pria itu mengangkat tubuh Naara dengan menyunggingkan senyum miring mempesona.

Naara memukul-mukul tubuh pria itu, tapi yang dipukul biasa saja. Kaki panjang pria itu tetap melangkah ringan menuju salah satu pintu di lantai dua bangunan besar itu. Naara tidak habis pikir, untuk apa rumah ini dibangun sebesar dan seluas itu jika hanya ditinggali seorang diri. Naara tidak menemukan tanda-tanda kedua orangtua bahkan saudara-saudara yang lainnya.

Kamar bernuansa abu-abu menyambut Naara dan Aderaldo ketika pria itu membuka kenop pintu. Aroma khas pria itu benar-benar menusuk indera penciuman Naara.

Tubuh Naara dibanting pria itu ke atas tempat tidur king size yang sangat empuk. Naara takjub atas apa yang ia lihat di dalam kamar mewah dan sangat luas itu. Mulutnya menganga, matanya berkeliling menatap setiap detail isi ruangan. Ia selalu dibuat terkagum atas pilihan perlengkapan Aderaldo. Pria itu sangat memperhatikan detail kesempurnaan dan perpaduan warna yang apik.

Lima menit Naara kehilangan kesadarannya jika ia sedang berada di kamar Aderaldo, ketika ia sadar dan otaknya kembali berpikiran normal, ia memekik kuat saat matanya menangkap objek yang bisa membuat otaknya kehilangan daya pikir jernih, matanya terkontaminasi ingin lagi dan hal-hal lain yang tidak pernah ia rasakan tiba-tiba hadir karena penasaran sekaligus takjub.

"Arrrggghhhhh...!"

🌲🌲🌲🌲🌲

Aderaldo melepas jas dan kemejanya di depan Naara dengan santainya sehingga tubuhnya topless, menampilkan perut kotak-kotaknya dan lengan kekar menggiurkan, begitu menarik perhatian yang melihatnya.

Pria itu merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada tidak jauh dari ranjang tempat Naara duduk. Aderaldo fokus menatap layar ponselnya, entah apa yang sedang ia kerjakan.

Mendengar pekikan Naara yang tiba-tiba, pria itu segera bangkit dari posisinya dan bergegas menuju Naara. Wanita itu menutup rapat matanya dengan kedua telapak tangannya, hal itu membuat Aderaldo kebingungan.

"Ada apa? Kenapa kau berteriak seperti orang gila?" tanya Aderaldo penasaran.

Naara menunduk semakin dalam. Ia bingung dan salah tingkah melihat tubuh topless Aderaldo di hadapannya yang terlihat dari celah-celah jari tangannya.

"Menjauhlah dan pakai bajumu," ucap Naara dan Aderaldo mulai paham apa yang wanita itu maksud.

Pria itu tersenyum miring dan semakin mendekatkan diri pada Naara. Menggoda wanita itu adalah hal yang menyenangkan bagi Aderaldo.

"Kenapa harus pakai baju? Bukankah aku lebih menarik seperti ini," goda Aderaldo.

"Ck! Sialan. Pergi sana, dasar pria gila," umpat Naara.

"Iya, tergila-gila padamu," ucap Aderaldo dan Naara segera membuka telapak tangannya yang menutupi matanya lalu menatap sengit wajah pria yang sedang tersenyum miring ke arahnya.

Baru saja Naara hendak membuka mulut namun, tertahan. Tangan Aderaldo lebih cepat mencegahnya. Pria itu mengarahkan telapak tangan Naara ke dada bidang yang dipenuhi otot.

Gemetar dan dingin, itu yang pria itu rasakan saat tangan Naara menyentuh tubuhnya. Sensasi aneh muncul di dalam tubuh Aderaldo. Aura keposesifannya semakin menjadi-jadi saat ia menatap lekat wajah Naara dalam jarak sangat dekat seperti sekarang.

Deru napas mereka saling terasa satu sama lain. Kilatan tekat dan ambisi muncul begitu saja tanpa permisi.

"Kau milikku dan kau tidak bisa pergi dariku sampai aku sendiri yang mengizinkan kau pergi. Camkan itu baik-baik," bisik Aderaldo di depan bibir Naara.

Pria itu segera melumat bibir Naara, ritme pelan yang berhasil membuat Naara bereaksi untuk pertama kalinya.

🌲🌲🌲🌲🌲

Jangan lupa REVIEWnya yaaa!!

Thank you