Masih Mencintai

Rhein memandangi sebuah nama kontak di layarnya sambil tersenyum, setelah agak lama dia kemudian menulis pesan singkat di sana 'Terimakasih'.

Tak lama kemudian teleponnya berdering, dari Keenan!

"Assalamualaikum," sapa Rhein

(Waalaikumsalam, sudah datang?) suara Keenan terdengar di ujung telepon.

"Sudah, teman-teman sangat berterimakasih padamu,"

(Kau suka?) tanya Keenan kemudian.

Rhein terdiam, dia tak tahu harus berkata apa, dia sangat suka Keenan memberinya kejutan tapi untuk saat ini Rhein tak ingin teman-temannya tahu kalau suaminya adalah Keenan Adi Wijaya, pengusaha muda yang sangat tajir.

(Rhein... kamu gak suka, ya?) suara Keenan mengejutkannya.

"Suka, sangat suka," jawab Rhein dengan cepat.

Keenan terkekeh di ujung sana, (Syukurlah kalau kamu suka? Tadinya aku pikir kamu akan marah karena aku memesannya tanpa persetujuanmu,)

"Kalaupun aku marah apa gunanya? Toh barangnya sudah sampai di sini. lagi pula aku senang melihat wajah bahagia teman-temanku saat menerimanya," Rhein tersenyum, di depannya ada beberapa karyawan yang mengucap terimakasih padanya,

(Baiklah kalau begitu, kapan-kapan aku akan mengirimkannya lagi. Kamu sudah makan?)

"Belum," ada perasaan hangat yang membelai hati Rhein saat mendengarnya,

(Jangan lupa kamu harus makan, aku gak mau lagi menungguimu di rumah sakit lagi hanya karena kelaparan!)

" Itu gara-gara siapa coba?" tanya Rhein dengan nada merajuk, dia merasa malu

Di ujung sana Keenan terkekeh, ( Iya, maaf).

Rhein tertawa mendengar perkataan Keenan, dia sangat senang karena Keenan merasa bersalah.

"Jadi kemarin itu ceritanya gak ikhlas gitu waktu nungguin aku di rumah sakit?" goda Rhein, entah mengapa Rhein suka berbicara dengan Keenan di telepon meski saat bertemu keduanya sangat jarang berbicara layaknya sepasang suami istri.

(Ikhlas! Sangat ikhlas! Aku hanya tak mau istriku kelaparan lagi. Itu saja!) Keenan terkekeh, (Oke, honey, aku meeting dulu, jangan lupa makan! Nanti pulangnya aku jemput!)

"Tap.., " sebelum Rhein menyetujuinya, Keenan telah menutup panggilannya.

Uh! Rhein mengeluh dalam hati mendengar panggilan Keenan untuknya. Panggilan yang manis, sangat manis dan Rhein menjadi takut menerima kenyataan bahwa dia semakin terjerat pada pria yang bahkan dia tak tahu banyak tentangnya. Senyum kembali tersungging di bibirnya dan Rhein menyadari wajahnya telah bersemu merah karena dia merasa pipinya panas.

Di tempat lain, dari jendela ruangannya yang menggunakan one way vision, Surya bisa melihat jelas bagimana Rhein yang sedang berdiri di dekat kubikelnya dengan wajah yang malu-malu. Surya mengepalkan tangan dan merasa hatinya sakit, dia merasa sangat rindu pada Rhein tapi gadis itu sama sekali tak menghiraukannya bahkan Rhein langsung pergi ketika dia menyatakan penyesalannya.

"Kenapa tadi Pak Surya marah saat aku mengucapkan terimakasih atas makan siangnya? Bukankah suami Rhein adalah Pak Surya?" Rhein mengurungkan niatnya untuk keluar dari toilet saat dia mendengar seseorang bicara di depan kamar kecil yang digunakannya.

"Ya, kamu kudet, sih! Rhein kan gak jadi menikah dengan Pak Surya karena keburu ketahuan istrinya," jawab sorang yang lain.

"Terus?"

"Ya, mereka gak jadi menikah, lah! Kata Sina yang jadi mata-mata istri Pak Surya. Bu Meta sengaja menahan Pak Surya agar tidak datang ke acara akad nikah mereka, jadi karena putus asa dia terpaksa menikah dengan orang lain biar gak malu."

"Lalu dia menikah dengan siapa?"

"Entahlah, Sina gak cerita Rhein menikah dengan siapa?"

"Tapi sepertinya dia cukup tajir, lihat saja makanan yang dia kirim untuk kita, jelas itu makanan dari restoran yang terkenal dengan harganya yang selangit,"

"Eits, siapa tahu Rhein menghabiskan tabungannya untuk mentraktir kita agar dia bisa memanas-manasi Pak Surya."

"Benar! Rhein kan cinta mati sama Pak Surya makanya dia mau saja dijadikan simpanan tapi sayangnya dia menuntut untuk minta dinikahi. Benar-benar gak tahu malu, ya?" terdengar suara tawa kedua perempuan itu di luar dan suara mereka semakin menjauh.

Rhein segera keluar dari kamar kecil dan menuju dapur, dia merasa gerah mendengar pembicaraan tadi. Dia segera mengambil air putih dari dispenser dan meminumnya di sana.

"Mbak Rhein, makasih maksinya, ya. Makanannya enak banget, aku gak pernah nyangka akan menikmati makanan dari restotan itu," kata Nisa salah satu office girl.

"Sama-sama, Nis."

"Aku doakan Mbak Rhein dan suami mbak jadi keluarga yang samawa dan langgeng sampai kalian tua nanti,"

"Makasih, Nis," Rhein tersenyum kecil, dia tak tahu bisakah keluarganya yang baru saja berjalan akan mampu bertahan selama itu. Rhein tidak mau berharap terlalu jauh baginya sudah lepas dari Surya sudah menjadi satu kebahagiaan tersendiri meski sebenarnya dia merasa sakit. Kalau Rhein boleh meminta dia berharap dia ingin waktu enam bulan ini berjalan dengan lambat agar dia bisa menikmati kebersamaan dengan Keenan.

Ya, Rhein tidak ingin berharap banyak meski dia ingat Keenan pernah berkata kalau dia tak pernah menganggap perkawinannya dengan Rhein sebagai pernikahan kontrak karena saat menikah mereka belum membuat kesepakatan apapun selain Rhein boleh minta berpisah kapanpun darinya bila Rhein tidak menyukainya. Rhein tidak ingin menjadi serakah karena dia sangat sadar siapa dirinya yang bukan siapa-siapa, dia hanya seorang desain grafis di perusahaan milik Surya yang tak begitu besar sedang Keenan adalah seorang milyarder dengan perusahaan yang semakin besar.

"Sepertinya Pak Surya masih mencintai mbak Rhein, tadi waktu aku mengantar kopi ke ruangannya, Pak Surya memendangi kubikel mbak Rhein terus, dia sampai kaget waktu aku menyampaikan kalau kopinya sudah ada," Nisa tertawa kecil'

Rhein tersenyum kecut dan menghela nafas panjang, Surya memang pernah sangat berarti baginya tapi saat ini dia sangat ingin melupakan semua itu.

***

AlanyLove