Setelah Aisyah menggunakan [Rewrite], dia dipanggil oleh Pak Tono ke ruangan BK. Bukan hanya dia. Ivan pun kena getahnya. Pasalnya, laki-laki itu tidak mencoba menghentikannya. Ivan berusaha menjelaskan kepadanya bahwa dirinya sudah mencoba. Tapi tetap saja tidak ada alasan.
Aisyah menghela napas. Tidak menyangka [Rewrite] digunakan hanya dalam jarak terjangkau baginya. Sedangkan mereka tidak terkena dampaknya. Belum lagi, smartphone yang dihancurkan sudah pasti ada yang merekam.
Kini, dia hanya bisa menyesali keputusan yang terlalu sembrono. Aisyah menundukkan kepala.
Pak Tono terus memberikan ceramah berupa larangan tindakan heroik atau berpotensi menghilangkan nyawa orang lain. Bibirnya terus mengoceh sampai dia capek sendiri. Aisyah berusaha menahan diri sekuat tenaga. Keringat dingin membasahi pipinya. Kedua tangannya dikatup. Tubuhnya kaku akibat tegap terlalu lama. Ivan yang melihatnya hanya tertunduk lesu. Menyesali tindakan untuk memanggil guru. Tapi yang ada malah diceramahi olehnya. Apalagi Aisyah masih diliputi rasa kekesalan terhadap seseorang. Nampak dari wajahnya terus melotot tajam ke bawah. Bulu kuduk Ivan merinding ngeri.
"A-aisyah," Ivan menenangkan gadis berhijab itu.
Namun dia menggaruk-garuk kepalanya. Berteriak dengan lantang. Suaranya terdengar di ruang sebelah. Pak Tono juga terkejut dengan teriakannya.
"Maafkan saya. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya bernada sopan.
Aisyah menundukkan kepala sekaligus menitikkan air mata. Pak Tono mendesah lega. Para guru melanjutkan kembali aktivitasnya. Setelah Pak Tono selesai berceramah panjang lebar, Aisyah dan Ivan meninggalkan ruangan.
"Aisyah. Bapak ingin bertanya. Untuk apa kau membawa busur dan anak panah?" tanya Pak Tono.
"Tentu saja … untuk melatih fokus dan mata kita apabila ada musuh menyerang," jawab Aisyah.
"Musuh?" tanya Pak Tono kebingungan.
Aisyah hanya menunggingkan senyum. Dia memilih untuk melanjutkan mengelilingi lapangan sekolah. Pak Tono menoleh ke sesama guru. Mereka mengangkat bahu. Bingung antara harus reaksi seperti apa. Di sisi lain, Aisyah merasa murung selama seharian penuh. Wajahnya diliputi rasa kesedihan. Dalam lubuk hatinya, dia ingin menikmati kehidupan sekolah dengan normal. Akan tetapi, Aisyah telah mengacaukan semuanya.
Siang hari ketika adzan dhuhur berkumandang, para siswa menuju masjid sekolah. Termasuk Aisyah. Dia membuka sepatunya, menaruh ke lemari penitipan barang. Shaf khusus perempuan ada di lantai atas.
Masjid sekolah terdiri dari tiga lantai. Terbuat dari keramik. Luasnya 35x56. Di sampingnya, ada tempat mengambil wudhu dan toilet masing-masing. Baik shaf laki-laki maupun perempuan. Air keran mengambilnya dari PDAM. Keran dibuka secara bergiliran. Mengantri untuk mengambil air wudhu. Ada beberapa jamaah yang melaksanakan sholat sunnah. Dan ada yang tidak, seperti duduk diam, berdzikir, berbicara pelan dan mengganti celana panjang dengan sarung.
Di dalam masjid, terdapat mimbar coklat berdiri tegak dengan mic kuning. Berdiri tegak menjulang ke atas. Ditambah pengeras suara diapit ke sela kancing baju.
Salah satu siswa berdiri, melaksanakan iqomah. Aisyah telah sampai di shaf paling depan. Para siswa berdiri, langsung melakukan sholat dhuhur.
"Shaf mohon diluruskan dan rapatkan karena merupakan kesempurnaan dari sholat itu sendiri," ucap salah satu guru yang menjadi imam sholat dhuhur.
Aisyah sudah biasa mendengarkan hal itu. Saking hapalnya, dia mencoba menirukannya. Setelah itu, hatinya merasa lega. Tidak lagi berat seperti sebelumnya. Kemudian, mereka melaksanakan sholat dhuhur.
Di sisi lain, Fanesya mengunyah bekal yang telah disiapkan oleh orang tuanya. Jadi dirinya tidak perlu jajan di kantin lagi. Tidak lupa juga membuka tas biru kecil berisi obat-obatan. Botol minuman juga dikeluarkan, sehingga bunyi ketukan meja terdengar di sekitarnya. Beberapa siswa mendekati Fanesya.
"Nes, kau kan dekat dengan Aisyah. Kenapa kau bisa sesantai ini?" tanya salah satu siswi berambut kuncir dua.
"Memangnya kenapa?"
"Habsinya, kau terlihat santai saja semenjak kepergian Aisyah. Apa kau tidak pernah menegurnya?" ucapnya.
Fanesya merapalkan doa. Dia memejamkan kedua matanya, berharap hari ini dipenuhi keberkahan untuk dirinya dan Aisyah.
Suasana kelas ramai seperti biasanya. Ada yang kerjakan PR, tugas dan bermain game di dalam kelas. Semua ingin merasakan masa muda di SMA.
"Selama ini dia tidak melakukan kesalahan. Toh ucapan barusan itu sudah mengartikan bahwa guru sekarang tidak bisa dipercaya," ucapnya
"Eh? Apa maksudmu?" kata siswi rambut berkuncir dua.
Florensia berdiri sambil kedua tangan ditaruh di atas meja. Dia merogoh sesuatu di bawah meja. Lalu diberikan begitu saja kepada Fanesya dengan tatapan dingin.
"Dengarkan aku, dasar bedebah kecil. Jangan pernah menyeret masalah kalian kepadaku. Aku tidak akan pernah membiarkan kalian pergi begitu saja!" katanya bernada kesal.
Namun bukannya, Fanesya hanya bisa tertawa, menitikkan air matanya. Perutnya tidak mampu menahan tawa akibat ucapan Florensia. Di satu sisi, teman-teman pada dibuat bingung oleh tingkah lakunya.
"K-k-kenapa kau tertawa?"
"Habisnya kau lucu banget sih. Dari awal, memang Aisyah seperti itu sikapnya," bela Fanesya.
"Dengarkan aku, da—"
"Begini, kawan. Aku tidak tahu apa yang melatarbelakangimu kesal terhadapnya. Tetapi, Aisyah sudah mengakui perbuatannya. Selama ini, dia bersikap ceria dan menentang guru berkat mentor sejak kecil. Mentor tersebut merasa system pembelajaran di Indonesia tidak cocok dengannya. Ditambah sejarah masa lalu negara ini tidak jauh berbeda dengan masa lalunya. Jadi sifatnya terrcipta berkat dididik keras oleh mentor tersebut," jelas Fanesya.
"Lalu siapa nama mentornya, Fanesya?" tanya Florensia.
Ingatan Fanesya samar-samar. Berupaya mengingatnya. Tapi tidak bisa karena ada sesuatu yang menahannya. Fanesya memilih untuk makan sejenak. Sembari mengingat siapa orang yang menjadi mentor bagi Aisyah.
~o0o~
Bel berbunyi sejumlah empat kali. Menandakan pulang ke sekolah terkecuali siswa yang mengikuti ekskul atau ekstra kurikuler. Aisyah menghela napas. Antara pasrah atau kabur dari rumah. Seandainya saja dilahirkan laki-laki, dia akan menghadapinya secara jantan. Siap dimarahi habis-habisan.
Langkah kaki terkulai lemas. Helaan napas terus keluar dari mulutnya. Seketika, ada kendaraan berupa lin atau angkot warna biru menjemput daerah sekolahnya. Aisyah sudah menghubungi pihak keluarganya untuk tidak perlu dijemput. Fanesya sudah pulang terlebih dahulu. Jadi mau tidak mau naik angkot.
Sesampainya rumah sakit, dia menaruh uang sejumlah dua puluh ribu rupiah. Tanpa mendengarkan perkataan supirnya. Menurut penumpang, uangnya kelebihan sepuluh ribu.
"Ambil saja pak. Saya ikhlas," ucapnya tersenyum memaksa.
Supir angkot hanya terbengong. Dia menundukkan kepala sambil mengucapkan terima kasih kepadanya. Ramainya jalan, mengganggu perkataan dari supir kepada para penumpang. Aisyah kini tidak memedulikan sekitarnya. Yang penting sampai di rumah, istirahat dan tidak mau ngobrol dengan siapapun.
Di dalam tasnya, busur dan anak panah disimpan. Para warga sekitar pasti saling berbisik. Mengenai Aisyah membawa busur panah yang dinilai terlalu mencolok.
Sesampainya di rumah, dia disambut oleh orang tuanya. Mereka memasang muka kesal. Aisyah menduga bahwa dirinya akan dimarahi akibat tindakan heroiknya. Dan benar saja. Hartoyo menampar pipinya.
"Apa-apaan kau? Guru BK memanggil kita berdua karena tindakanmu mencerminkan indispliner! Kau tahu sudah berapa kali kita pindah sekolah akibat perbuatanmu!" bentaknya.
Aisyah teringat dengan ucapan Gufron. Orang tua sejelek-jeleknya mereka atau seburuk-buruknya mereka, tetap saja tidak ada yang bisa melawannya. Aisyah sudah memahami itu. Tapi tindakan barusan itu sudah benar dan tidak ada yang salah dengannya.
"Tapi, pa. Dengarkan aku dulu. Papa mungkin mendengarkan versi Pak Tono. Tapi dengarkan dulu versiku, supaya bisa mengambil keputusan adil," katanya mencoba membela diri.
"Ok. Papa dengarkan," ucapnya menarik napas panjang-panjang.
Selama mereka bertiga duduk bersama di ruang tamu, Aisyah menjelaskan kronologinya. Dari dirinya dihukum sampai menyelamatkan korban dari para penjambret. Akan tetapi, dia mencoba menyampingkan pasca para perampok berubah secara drastis.
"Begitu ya. Papa rasa papa telah melakukan hal keliru. Maaf karena membentakmu,"
"Mama juga minta maaf karena tidak bisa melindungimu, nak." Ucapnya beserta Hartoyo menundukkan kepala.
Kedua orang tua kini mengetahui sebenarnya. Aisyah tiba-tiba memeluknya. Dia tahu bahwa pelukan memang dibutuhkan dalam jiwa dan psikologisnya akibat tekanan batin.
"Tapi tetap saja Mama dan Papa akan menghukummu tidak boleh makan malam. Paham ya? Mengenai dirimu yang dikeluarkan dari guru sejarah, kurasa kau ada benarnya," kata Hartoyo berpikir sejenak.
Baik Ratih maupun Aisyah mengerutkan kening. Untuk pertama kalinya, Hartoyo mengeluarkan pernyataan yang logis. Minuman air putih yang dingin, menetes membasahi seluruh permukaan gelas. Aisyah menenggak air putihnya sampai habis.
"Kenapa Papa bisa seyakin itu?" tanya Aisyah.
"Habisnya, kau diajarkan oleh Gufron mengenai sejarah kan? Tentu saja Papa tahu karena dia sering kemari," ucapnya.
"Sering kemari?"
"Sebelum kau muncul, teman Gufron bernama Sakurachi dan Goro Tsukishima pernah kemari," jelas Hartoyo.
Jika tidak salah, Ratih dan Hartoyo menerima bayi perempuan pemberian dari keduanya. Tapi bagi Aisyah, dia baru pertama kali mendengar soal ini.
~o0o~
Hartoyo POV …
"Mas … aku benar-benar ingin cerai darimu," ucap Ratih menundukkan kepalanya.
Aku yang sedang menikmati seruput kopi, tersedak mendengarnya. Tidak menyangka, bahwa istriku berani berkata seperti itu. Padahal aku mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya kurang lebih 10 tahun. Kedua orang tuaku tidak mempermasalahkan hubungan kami, mengingat rumah tangga kita harmonis. Ketika saudaraku, Melinda melahirkan, istriku dengan sigap membantu proses persalinan. Bahkan biaya nya berasal uang pribadinya sendiri.
Terlihat air mata Ratih, istriku mengalir begitu saja. Kutaruh secangkir kopi, mencoba menenangkan sikap gundahnya.
"Ada apa toh, dek? Kenapa adek berkata seperti itu?"
Namun tidak ada jawaban darinya. Yang ada hanyalah tangisan yang terus menjadi-jadi. Tangan Ratih terus berusaha mengusapnya. Tapi tidak mampu menahan tangisan lagi. Dia tiba-tiba memelukku lebih erat. Seakan-akan tidak mau melepaskannya begitu saja.
"Mas, aku memeriksakan kandunganku ke dokter. Katanya, aku mandul,"
Petir menyambar dari dalam diriku. Sekujur tubuhku dilanda shock mendengarnya. Indera pendengaranku tidak salah. Istriku berkata demikian. Seluruh perkataan dan nada bicaranya gemetar. Wajahnya terus pucat, bingung harus mencari solusi ke siapa lagi.
"Maafkan aku, mas. Aku tidak bisa hidup bersamamu kalau tidak memiliki momongan. Apalagi banyak tetangga bilang bahwa mereka terus membanggakan diri anak-anaknya. Sejujurnya, mas aku ingin sekali mendapatkan momongan. Bahkan, aku terus berdoa kepada Allah supaya diberikan momongan, tapi—" belum selesai dia bicara, kupeluk istriku.
Kucoba menguatkan diri bersama dengannya. Aku memeluknya hingga dia tenang.
"Dek, meski pun adek atau mas mandul, mas tetap sayang sama kamu. Tidak perlu pedulikan omongan orang lain. Yang ada malah dijadikan beban olehmu. Lebih baik adek sholat dulu dan berdoa lagi kepada Allah. Mas yakin, Allah pasti akan mendengarkan doa yang sungguh-sungguh," ucapku mencoba bersikap tegar.
Akhirnya, Ratih ke kamar mandi untuk menunaikan sholat maghrib dan istikharah. Aku pun duduk sambil merenung. Sejujurnya, ada rasa kesal, kecewa dan marah terhadap diri sendiri. Bisa bayangkan, kehidupan kami berdua selalu harmonis, damai dan tenang. Pertengkaran kecil dapat diatasi dengan mudah. Akan tetapi, karena pernyataan istriku yang mengatakan mandul, aku tidak tahu harus berbuat apa. Jika aku menceraikan Ratih, terus bagaimana dengan nasibnya? Apalagi keluarga dia sedang dilanda musibah akibat perusahaannya mengalami kebakaran. Sehingga mau tidak mau aku harus mengganti rugi semuanya. Total yang diganti mencapai puluhan milyar.
Beberapa menit kemudian, istriku selesai mengambil air wudhu, memasangkan mukena untuk menunaikan sholat. Aku langsung menyusul ke kamar mandi. Di saat mengambil wudhu, terlihat sebuah lingkaran putih dari dinding.
"Mas, mas! Itu apaan—"
Seorang laki-laki terlempar dari dinding. Disusul dengan perempuan berambut merah muda. Laki-laki itu terkena tumpukan darinya.
"Sakurachi! Berapa kali harus kubilang! Kalau menggunakan multiverse earth, sebaiknya memutar tuas warna biru!"
"Mau gimana lagi? Wong Yuka dan Rina tidak mengajari cara kemudi yang baik dan benar!"
"Korban iklan, kah!"
Multiverse earth? Cara kemudi? Apa yang mereka bicarakan? Ucapku kaget dalam hati. Aku bergegas mengambil sapu lidi, langsung mengarahkan ke laki-laki dan perempuan bernama Sakurachi.
"Kalian siapa! Bagaimana kalian bisa masuk ke kamar?" kataku dengan bernada tinggi.
Namun laki-laki itu tidak merespon. Kemudian, Sakurachi membuka jaket yang ada di dalamnya. Ketika membuka resleting jaket, terlihat anak bayi perempuan sedang tertawa gembira.
"Syukurlah bayinya baik-baik saja,"
"Ya. Kurasa bumi ini aman untuk ditinggali seorang bayi,"
"Tunggu! Apa maksud kalian?"
Wajahnya merengut. Tiba-tiba ekspresinya menatap tajam kepada kami berdua. Istriku yang ada di sampingku, langsung memelukku dari belakang. Wajah dan tubuhnya ketakutan. Sakurachi memberikan anak bayi kepadaku. Secara spontan, aku menggendongnya selayaknya anakku sendiri.
"Istrimu sedang mandul kan? Kebetulan sekali. Aku ingin kau merawatnya seperti anakmu," katanya tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
"Berani sekali kau mengatakan seperti itu di depan istriku! Kau pikir kau siapa huh!" aku menaruh bayinya ke istriku, supaya digendong olehnya.
Lalu, aku mengambil pisau dapur. Mengarahkan senjata tajam itu kepada laki-laki brengsek itu dan perempuan tidak tahu diri itu.
"Sekali lagi kau bilang istriku mandul, akan kubunuh kau sekarang juga!"
"Mas, hentikan!"
Namun bukannya takut, dia malah semakin berani. Tatapannya semakin tajam, membuat bulu kudukku berdiri. Perempuan itu menghela napas. Dia menepuk pundak laki-laki itu.
"Goro … kalau Kapten Gufron mendengar hal itu, bisa-bisa kau dicincang olehnya. Ditambah lagi, mereka berdua pantas mendapatkan momongan," ujar Sakurachi.
"Entah kenapa, mendengar darimu membuatku kesal. Tapi baiklah,"
Keringat dingin membasahi pipiku. Aku berusaha tegas dan melindungi keluargaku dari ancaman tidak jelas ini. Apalagi, mereka menyerahkan bayi begitu saja? Di mana hati nurani mereka selama ini? Seharusnya mereka bersyukur apabila punya anak, kehidupan mereka akan bahagia di sana. Tapi jika diperhatikan baik-baik, mereka berdua bukanlah pasangan suami istri.
"Maafkan aku menyela. Tapi kenapa kami? Bukankah kalian pantas merawat bayi ini?"
"Kalau kami merawatnya, apa kau ingin bayi yang kau gendong ikut berperang melawan pasukan Titan? Seharusnya kalian bersyukur Tuhan memberikan mukjizat berupa munculnya bayi di rumah kalian. Tapi bagi kami, eksistensi kami berawal dari ciptaan Prometheus. Bisa dibilang, kami hanyalah pelayan bertugas membantu Dewa Dewi kami yang sudah punah," kata Goro menjelaskan.
Mendengar penjelasan dari Goro membuatku tidak mengerti. Eksistensi Dewa Dewi? Bukannya Allah yang menciptakan umat manusia dari tanah, kemudian ruhnya ditiupkan hingga hidup untuk pertama kalinya? Jika tidak salah ingat, manusia pertama yang diciptakan adalah Adam. Kemudian Hawa. Aku tidak mengerti konsep pemikiran kedua orang ini.
"Kami bukan Dewa atau Tuhan. Tapi jika aku jadi kau, kuterima saja pemberian bayi ini. Dia masih suci. Orang tuanya tewas saat perang. Anggap saja, itu adalah sebuah mukjizat. Walau caranya aneh sih,"
"Begitu ya. Begini saja. Anggap kejadian ini kami lupakan dengan syarat, kami ingin mengadopsi bayi ini,"
"Ok, done! Kita pergi, Sakurachi," jawabnya singkat. Sakurachi melongo melihatnya.
Sebuah lingkaran muncul dari atas. Dengan kecepatan tinggi, lingkaran tersebut melenyapkan kedua orang itu. Tanpa mempertimbangkan dari istriku. Bukan itu saja yang membuatku bingung. Mereka ke sini untuk apa? Kataku dalam hati.
"Mas, haruskah kita percaya kepadanya? Kok rasanya mereka berdua susah dipercaya," kata istriku meninabobokan bayi angkat kami.
"Biarin saja dek. Toh kita sudah bersyukur telah mengadopsi bayi perempuan,"
"Tapi kenapa mereka bilang perang? Bukannya perang sudah berakhir ya?"
Dalam hati kecilku, apa yang dikatakan istriku memang benar. Kini, di pikiranku tersimpan beragam pertanyaan daripada pernyataan dari Goro dan Sakurachi. Tapi untuk saat ini, kami sepakat dalam satu hal. Istriku sudah mulai tenang pasca ada bayi di rumah kami. Meski mukjizat yang diturunkan benar-benar aneh, setidaknya aku bersyukur kepada Allah. Kami pun bergegas berwujud, melaksanakan sholat secara berjamaah di rumah.
~o0o~
Suara bel berbunyi dari pintu luar. Hartoyo yang kebetulan sedang menjaga Aisyah. Nama itu diberikan pasca Sakurachi dan Goro Tsukishima pergi dari rumahnya.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam!" jawab Hartoyo membukakan pintunya.
Ternyata Gufron telah berada di depan pintu. Dia membawakan perlengkapan khusus bayi. Terutama popok dan susu formula. Barang bawaannya cukup banyak. Sehingga Hartoyo cepat-cepat membukakan pintunya. Gufron menaruhnya di ruang tamu. Setelah itu, dia duduk di kursi sembari kecapekan membawa peralatan khusus bayi.
"Kenapa kau kemari? Bukankah sudah kularang untuk menjauh dari keluargaku?"
"Jika aku menurutimu, lalu siapa yang mampu mengendalikan kemampuan bakat sihirnya?"
"Putriku bukanlah penyihir sepertimu!" bentak Hartoyo.
Hentakan tangan Hartoyo membuat meja kaca menjadi retak. Gufron hanya bisa mendesah. Dia mengibas-ngibas tangan kanannya. Mengusap keringat di sekitar wajahnya.
"Meski demikian, apakah kau mau menjauhkan kemampuannya dari orang lain? Ingat, ini bukan zaman renaissance atau zaman kegelapan eropa, di mana agama menentang segala apapun yang berkaitan dengan sihir," ucapnya menjelaskan.
Gufron berkata demikian, supaya putrinya tidak takut dengan hal-hal berbau sihir. Terutama di zaman modern ini. Goro Tsukishima dan Sakurachi memberitahukan, bahwa keduanya menaruh bayi di rumah Ratih dan Hartoyo. Permasalahannya adalah keduanya taat agama. Apapun yang berkaitan dengan sihir akan ditentang atau menolaknya. Sehingga benda sihir tidak diperbolehkan di area miliknya. Itu hasil pengamatan keduanya. Oleh sebab itulah, Gufron menahan diri sekuat tenaga, supaya tidak menggunakan sihir.
"Terserah! Tapi tidak akan kubiarkan putriku menggunakan sihir! Titik!"
Akhirnya, Hartoyo memenangkan perdebatan tidak penting ini. Gufron enggan meneruskan pembicaraan karena dirasa mererpotkan, berbincang dengan orang fanatic agama. Dia memikirkan sesuatu supaya bisa membantu Aisyah menjalani kehidupan normalnya.
"Kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Hartoyo.
"Tidak juga. Hanya saja memikirkan cara untuk Aisyah, supaya menjalani kehidupan biasa," gumam Gufron mendongak ke atap.
Walau demikian, dirinya berharap Aisyah menggunakan sihirnya hanya dalam keadaan terdesak. Dia bergumam terus selama beberapa detik. Mencari cara dengan mendongak terus menerus. Hingga akhirnya, dia menemukan sebuah ide.
"Oh ya, Memanah itu akhir-akhir ini populer ya dalam sehari-hari?" tanya Gufron kepada Hartoyo.
Hartoyo yang enggan bertatap muka dengannya, hanya bisa mengangguk malas. Gufron menyeringai tersenyum. Hartoyo memiliki firasat buruk soal senyuman misteriusnya.
Mulanya selama kurang lebih setahun, terjadi situasi yang membahayakan. Hingga Aisyah berumur 7 tahun. Saat itu, dia sedang bermain panah di taman. Mulanya Hartoyo agak curiga dengannya, karena pulangnya sering larut malam. Hingga dia memergoki Aisyah sedang berlatih memanah sendirian. Gadis itu melemaskan otot-ototnya. Meregangkan lengannya. Kemudian, dia menarik busur panahnya hingga maksimal. Terus melepaskan anak panahnya. Lontarannya cukup cepat. Membuat angin mengikuti panahnya. Melesat jauh hingga mencapai target. Lalu muncul Gufron berada di belakangnya sebagai pengamat.
"Badanmu terlalu kaku,"
"Yah! Kok gitu Paman? Aisyah sudah berjuang lho selama setahun," gerutu Aisyah menggembungkan kedua pipinya.
Gufron menunggingkan senyumannya. Dia mengelus-elus kepala Aisyah. Kemudian dia mengambil anak panah yang menancap di target. Poin yang didapat lumayan. Meski demikian, Gufron ragu akan memberikan latihan fisik kepadanya. Oleh sebab itulah, dia mengawasinya.
"Gufron! Kenapa kau malah melatih putriku menjadi seorang pembunuh!" gumamnya meremas potongan kayu.
Dia tidak tahu, bahwa Gufron diawasi betul oleh Hartoyo. Sampai-sampai, dia tidak bekerja selama kurang lebih seminggu. Ratih khawatir dengan suaminya, langsung berbincang secara kekeluargaan.
Keduanya duduk di ruang tamu, sambil menyeruput teh celup. Hartoyo menaruh gelas di meja, dengan wajah tertunduk lesu.
"Mas, ada apa toh? Akhir-akhir ini mas kurang semangat dan sering bolos kerja. Biasanya mas rajin dan selalu datang dengan penuh kelelahan. Tapi yang adek lihat malah sebaliknya," ujar Ratih.
Hartoyo merasa ada sesuatu yang harus diceritakan kepada istrinya. Mengingat mereka berdua mengetahui situasi Aisyah saat ini. apalagi, Gufron juga belum memberitahukan masa lalunya. Jadi bisa dikatakan, waktunya pas untuk bercerita.
Ketika bibir mau membuka, Gufron datang tanpa berkata salam. Baik Hartoyo maupun Ratih kaget dengan kemunculan mereka berdua.
"Kau bermaksud memisahkanku dengan Aisyah, bukan? Aku kan sudah kubilang. Aisyah kulatih supaya bisa mengendalikan kemampuan sihirnya. Ditambah dia menginginkan kehidupan normal meski banyak kapasitas sihir dalam tubuhnya," katanya dengan bernada santai.
"Tapi sampai kapan kau akan kemari? Banyak tetangga sekitar tidak suka denganmu," sela Hartoyo dengan nada cemas.
"Terus? Aku harus mendengarkan ucapan mereka, begitu? Apa kalian tahu, bahwa manusia itu tidak pernah lepas dari bahan cacian maupun pujian. Jadi jangan mengharapkan kedua hal itu di dunia ini," tukasnya mengunyah permen karet.
Gufron menutup kedua matanya. Mencoba mencari kata-kata yang pas untuk bercerita. Terutama saat Aisyah masih bayi. Bagaimanapun juga, itu bagian tanggung jawab Gufron. Setidaknya mereka berdua berhak mengetahui situasi yang sebenarnya.
"Kenapa anda diam saja? Apakah ada hal yang ingin diceritakan?" tanya Ratih kepada Gufron.
Hembusan napas kasar keluar ke hidung. Gufron menceritakan sebenarnya kepada Hartoyo dan Ratih. Mengenai Aisyah dan bagaimana bisa dia mendapatkan kekuatan sihirnya.
Beberapa tahun lalu …
Di sebuah tebing pegunungan, banyak sekali mayat yang tergeletak di mana-mana. Bahkan banyak burung bangkai menghinggapi mayat manusia. Gagak juga hinggap di tempat sama. Mereka mengunyah daging busuk. Sampai-sampai lalat berdengung di mana-mana.
Rumah-rumah hancur menjadi beberapa puing. Angin berhembus kencang, menyebar bau amis ke seluruh area. Organ dalam dan anggota tubuh berceceran ke mana-mana. Jejak kaki bercampur manusia dengan monster. Senjata berupa tombak mengalami patah, sedangkan pedang maupun perisai berlumuran darah. Belum sampai disitu, beberapa mayat ditimbun seperti gunung. Ada juga yang dipasung, tubuhnya berlumuran darah. Tapi jasadnya dipatuk oleh burung bangkai. Tengkorak menyebar di bagian bawah, dengan tusukan dari tombak yang tajam.
Gufron, Goro Tsukishima, Sakurachi, Yuka, Shido Haneyama, Akemi Sonoda, Koichirou Yuuki dan Rina Shirasaki versi bumi lain sedang melihat fenomena mengerikan ini. Mereka berjalan dikelilingi sekumpulan mayat.
"Ini … ini mengerikan sekali," kata Akemi.
"Jadi inikah pembantaian monster terhadap manusia ya? Benar-benar tidak bisa dimaafkan!" kata Shidou mengepalkan tangannya.
Namun tidak ada sepatah kata pun darinya. Gufron memang tidak mau menunjukkan sisi emosional kepada teman-temannya. Baginya, mereka adalah sebuah keluarga yang tidak tergantikan. Tapi ketika melihat pemandangan ini, Gufron bertanya-tanya untuk apa dia melakukan hal ini.
"Gufron-kun, kurasa aku salah menilaimu. Maaf," kata Sakurachi memohon maaf membungkukkan badannya.
"Tidak masalah. Dan juga, tidak perlu pakai fonetik atau menggunakan kata –kun. Panggil saja namaku seperti biasanya,"
Walau demikian, seperti yang dikatakan oleh Shidou. Gufron ingin mencari tahu siapa penyebab di balik semua ini. Dan menghabisi orang tersebut tanpa ampun.
Hingga beberapa menit berselang mencari orang yang masih hidup, suara tangisan bayi terdengar. Mereka semua bergegas ke suara tersebut. Lalu di belakang mereka, ada sekumpulan monster berukuran raksasa. Terutama babi hutan coklat, berkulit tebal. Koichirou Yuuki mengambil posisi ancang-ancan untuk menyerang. Tangan kanan memegang bagian tengah logam katana emas. Lalu mengeluarkan sekaligus menebasnya dalam sekejap. Suara erangan babi hutan coklat, bersimbah darah. Kemudian, kepalanya ikut terbelah dan matanya terbelalak. Monster itu telah salah memilih lawannya.
Babi hutan telah terbunuh. Darahnya mengalir keluar dari tubuhnya. Kedua bola matanya terbelalak.
Suara tangisan kembali terdengar. Akhirnya, Gufron telah sampai pada salah satu rumah kayu. Terlihat dindingnya hancur akibat serangan monster. Cakaran demi cakaran membekas pada dinding. Membuat terlihat jelas makhluk jenis yang menyerangnya. Koichirou Yuuki mengusap bekas darah sambil menciumnya. Terlihat baunya segar dan masih basah.
"Sepertinya pembantaian terjadi baru-baru ini," ucap Koichirou bernada datar.
"Gufron, coba lihat itu!" tunjuk Sakurachi kepada dua orang yang memegang kain putih.
Gufron dkk berjalan mendekati kedua orang tuanya. Goro membuka kain putih yang ditutupi, terlihat bayi perempuan sedang menangis. Jeritan dan tangisan terus dia lontarkan. Membuat para monster bermunculan. Orang tua mereka mengalami sekarat.
"Gufron, mereka mengalami kelumpuhan dan gagal jantung. Peluang untuk hidup—"
"Aku tahu, Akemi. Aku tahu," selanya menjawab singkat.
Akemi yang masih memeriksakan kondisinya, hanya bisa menundukkan kepalanya. Semua kecuali Gufron dan Akemi bersiaga untuk menyerang. Para monster berukuran raksasa datang. Menghancurkan pepohonan sekitarnya. Ada berbagai macam monster yang nampak. Jerapah berukuran raksasa, dengan bertanduk dua. Kemudian ada juga buaya dan komodo. Mereka mengeluarkan aura iblis dalam tubuhnya.
"Monster bermunculan di mana-mana ya? Sial sekali nasib kita," kata Rina Shirasaki Alternate.
"Memangnya kau ingin tidak ada monster bermunculan begitu?" tanya Sakurachi.
"Kalian bisa tenang tidak? Mood Gufron-sama hari ini kurang baik," kata Yuka bernada datar.
Mendengarnya saja membuat Sakurachi dan Rina Shirasaki Alternate memilih membungkam mulutnya. Mengalah daripada dihajar oleh Yuka, yang notabene half-android human.
Sementara itu, Shido dan Goro mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Shido menggunakan pedang, sedangkan Goro memilih kapal berukuran raksasa.
"Gufron, bagaimana ini? Kita semua bereskan atau bagaimana?" tanya Shido.
Namun dia memilih diam. Gufron berjongkok, menekan sekaligus mengecek denyut nadinya. Tapi tidak ada tanda-tanda bergerak. Dengan kata lain, keduanya menghembuskan napas terakhirnya. Akemi menggeleng kepalanya, membungkukkan kepalanya.
"Maafkan aku," katanya menitikkan air mata.
"Bukan salahmu, Akemi … yang paling penting adalah cari orang-orang yang selamat dari pembantaian. Tidak peduli bayi, anak kecil, perempuan atau laki-laki sekalipun," kata Gufron sedikit meninggikan suaranya.
"Jadi—"
"Ya! Bantai mereka semua!"
Perkataan Gufron langsung teman-teman pada semangat. Baik Koichirou Yuuki, Rina Shirasaki Alternate, Yuuka, Akemi Sonoda, Shido Haneyama dan Goro Tsukishima menyerukan dan berteriak memanggil namanya. Gufron hanya sedikit tersenyum, menggeleng-geleng kepala.
"Hore! Dengan gini kita bisa jalan-jalan! Aku ingin ketemu dengan Hitler dan menyuruh membantai sekumpulan idiot!" ujar Koichirou nyengir
"Siapa yang kau maksud dengan idiot, dasar tukang idiot!" Sakurachi tidak terima dengan perkataan Koichirou.
"Sakurachi, jangan menghina tunanganku!" geram Rina Shirasaki Alternate.
"Dasar, suami istri idiot!"
Seketika, Koichirou dan Rina menggeram. Goro hanya bisa menghela napas. Melihat kelakuan mereka bertiga yang dianggap kekanakan. Yuuka memiringkan kepala. Tidak mampu menganalisa emosi maupun perasaan mereka.
"Jangan dianalisa. Tapi diresapi, Yuuka-san," tegur Akemi menepuk pundaknya.
"Tapi—"
Akemi mengerti situasinya. Yuuka ingin belajar memahami manusia seutuhnya. Dia berharap mereka bertiga tidak melakukan hal-hal berbahaya. Gufron melontarkan sihir api berukuran bola baseball. Lalu dilemparkan begitu saja. Salah satu monster berukuran raksasa berteriak histeris. Makhluk tersebut meronta-ronta, meminta ampunan kepada Gufron. Tapi tubuhnya terlanjur terbakar hingga tewas begitu saja. Bagi teman-teman yang mengenal dia, kekuatan tersebut masih belum seberapa. Gufron bersikap cuek dan kembali melakukan hal serupa. Tapi dicegah oleh Koichirou. Tangannya dicengkram sangat kuat.
"Tidak perlu menyerang lagi. Bisa-bisa kita tidak dapat mangsa nantinya," tegur Koichirou.
"Kau ini,"
Koichirou menepuk pundaknya. Memaksakan dirinya untuk tersenyum. Gufron pun membalas dengan reaksi serupa. Para monster menerjang Gufron dkk. Auman dan erangan keluar dari mulut para monster. Sedangkan teman-teman Gufron bersiap ancang-ancang untuk menyerang. Mereka langsung menyerbu dengan sekali serangan. Tubuhnya langsung terurai banyak organ dalam berceceran. Kepala yang terbelah, kena tebasan dari Koichirou. Kecepatan kilat menggilas seluruh lapisan permukaan kulit hingga organ vitalnya. Jika orang biasa melihat ini, sudah dipastikan akan mual meski hasilnya nampak seperti tercecah menjadi puluhan bagian. Dan menyebar ke seluruh area sekitar. Tidak bisa melihatnya dengan mata telanjang.
Sementara itu, Akemi mengecek kondisi bayi perempuan. Dia menggunakan stetoskop untuk mengetahui bayi tersebut. Detak jantung masih normal. Akan tetapi, aliran energy mengalir dalam tubuhnya begitu jelas. Warna merah, biru, kuning dan hijau mengelilingi dalam tubuhnya. Erangan bayi sekilas, dipenuhi senyuman lebar. Sorot mata polos bersinar, membuat hati yang memeluknya menjadi hanyut dalam kelucuan dan keimutan. Tangan mungil mengelus pipi dan dada Akemi. Baginya, hal itu sudah biasa. Tapi saat melakukannya lagi, ada rasa ketidaknyamanan dalam diri Akemi.
"Kenapa Akemi?" tanya Koichirou.
Ekspresinya pucat pasi. Matanya tidak lepas dari lirikan bayi tersebut. Senyuman lebar terasa perih. Tidak seperti sebelumnya. Rina Shirasaki Alternate cepat bereaksi, menggendongnya bergiliran. Dia menimang-nimang bayinya supaya tidak menangis. Semakin lama, bayi tersebut memejamkan matanya. Tertidur pulas. Goro memberikan botol susu. Sakurachi mengernyitkan dahi.
"Goro … aku ingin bertanya padamu,"
"Silakan," jawabnya singkat.
"Kau mendapatkan botol susu itu darimana? Setahuku kau tidak membawa benda apapun kecuali kapal milikmu. Apa kau menggunakan [Gate] secara diam-diam?" tannya Sakurachi penasaran.
Goro menelan ludah. Keringat dingin bercucuran. Dia melihat sekitarnya. Semua orang menatap tajam ke arahnya.
"Goro," semua kompak menggema.
Seketika, Goro dimarahi habis-habisan oleh Sakurachi. Semestinya, [Gate] tidak boleh digunakan apabila ada orang yang tidak terlibat dengan mereka. Apalagi mengambil objek dari benda terjauh sekali pun. Kemampuan skill [Gate] akan diaktifkan apabila mereka berada satu objek yang dikenal. Contohnya, Gufron dkk berada di kapal Argo. Tapi untuk menggunakan gate, diharuskan menempati checkpoint terlebih dahulu. Baru setelah itu, [Gate] diaktifkan. Tidak sembarang skill tersebut digunakan. Ada aturan tersendiri, mengingat mereka merupakan Keeper Timeline alias penjaga keamanan waktu. Jika merusak waktu, akan berdampak pada waktu lainnya. berlaku juga dengan skill [Gate]. Satu-satunya orang yang sukses menggunakan [Gate] adalah Gufron. Baru Koichirou Yuuki dan Rina Shirasaki Alternate.
Gufron menggunakan sihir [Gate], langsung menuju kapal Argo. Dia menoleh dan mengucapkan doa dalam hati. Memejamkan mata sambil berharap Dewa akan menaruh mereka ke surga-Nya.
Selama dalam pertemuan, mereka masih kesulitan mencari bumi yang cocok untuk menitipkan bayi ke sana. Apalagi tidak ada rekomendasi yang cocok atau pengembangan karakternya.
Hingga pada akhirnya, Goro dan Sakurachi menemukan Bumi yang cocok. Yaitu Bumi Alpha. Bumi tersebut ditinggali manusia, yang memiliki sedikit kapasitas sihir. Jadi, cocok untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya.
Namun demikian, ada satu hal yang mengganggunya. Yaitu masa lalu Gufron. Sampai sekarang, dia masih terbayang dengan masa lalu suram. Wajah orang tuanya tidak menampakkan wajah kecuali senyuman bibir mengambang. Pakaian yang dikenakan berupa baju muslim dan muslimah.
Saat itulah, Goro dan Sakurachi melakukan manuver bodohnya. Mereka terjatuh dan terjebak ke dalam zona waktu sementara.
"Dasar bodoh!" geram Koichirou.
"Mereka berdua terlalu ribut, sehingga bayinya menangis!" Gufron merutuk mereka berdua.
"Andrei, status mereka apa sekarang?" tanya Shido.
Andrei Zagrachev, orang rusia yang baru bergabung, mengecek kapal Argo. Lampu berkedip-kedip warna merah. Menandakan ada sesuatu bahaya menanti mereka.
"Kita akan menabrak sesuatu,"
"Aku tahu itu! Tapi apa?"
"Bersiaplah kalian semua. Akan ada yang datang!" ucap Gufron.
Seketika, kapal tersebut menghantam sesuatu. Begitu keras dan kuat. Sampai-sampai merusak body kapal Argo.
"Kalau saja Sakurachi dan Goro tidak melakukan hal konyol itu, tentu kapal bisa terhindar dari tabrakan!" sesal Shido membiarkan keduanya bergantian mengemudi kapal.
Lampu kedip-kedip muncul. Kali ini posisi Sakurachi dan Goro telah diketahui. Mereka berbincang dengan suami istri yang belum memiliki momongan.
To be Continued