Chapter 16. Pengejaran (Part 3)

Aisyah menarik napas panjang. Mencoba berpikir tenang dan melepaskan seluruh energi negatif dalam dirinya. Kedua kaki dilipat, kedua tangan ditekuk. Mata dipejamkan. Rongga hidung dia hembuskan dari diafragma. Tarikan napas panjang dilakukan olehnya. Diikuti oleh hembusan angin, meniup kain hijabnya.

Satu persatu, kapasitas sihir mulai mengisi. Di atap mobil memang agak menyebalkan. Apalagi durasinya terbatas. Cepat atau tidak, orang-orang akan menyadarinya. Setelah lima menit berada di atap mobil, dia melompat satu mobil ke mobil lainnya. Beruntung [Stealth] miliknya masih bisa digunakan dengan baik. Walau demikian, dia tidak mau mengandalkan kemampuan tersebut secara terus menerus.

Langkah kaki yang dia pijak, mencoba meminimalisir adanya sentuhan. Aisyah mendongak ke langit. Sinar matahari yang cerah, menyinari permukaan bumi ini. Dia berharap tidak ada orang yang melihat atau mendengar langkah kakinya. Atau keberadaannya. Lalu dia melakukan meditasi. Sampai Aisyah benar-benar siap. Lalu, dia melihat sepeda motor yang ada di seberang jalan. Lalu, menyalakan starter motor, menarik gas hingga speedometer mencapai 80 km/jam. Teriakan orang-orang bahwa Aisyah mencuri sepeda motor tidak diindahkan olehnya. Sadar perbuatannya ketahuan, dia menggunakan sihir [Copy] ke lokasi semula. Dia melihat spion di belakang, terlihat sangat mirip. Tentu saja orang tersebut terkejut bukan kepalang.

"Makasih," gumamnya santai.

Dia terus berbelok. Tidak peduli ada kendaraan yang melintas. Dirinya melihat ada polisi yang berjaga di perempatan jalan. Apalagi Aisyah tidak mengenakan helm. Dia menggunakan sihir [Mirage] seolah-olah memakai helm. Setelah itu, kecepatannya diturunkan. Semua terlihat normal. Ada sebuah truk melintas dan Aisyah melakukan sliding dari arah kiri. Melewati dengan ukuran sesuai bagian bawahnya. Dia menarik gas kencang. Jantung berdetak tidak karuan. Kalau saja tidak menggunakan sihir, sudah pasti nyawa bakalan melayang.

"Entah kenapa stunt motor di film dan dunia nyata berbeda jauh," gumamnya dalam hati.

Sejak kecil, dirinya suka bermain balapan sepeda motor. Bahkan sampai menggunakan simulasi motor sekaligus. Alasannya karena bagi Aisyah, mengendarai motor kadangkala dibutuhkan ketika mobil tidak mampu menyalip akibat laju lalu lintas. Belum lagi, resiko tabrakan akan terjadi pada mobil. Tentu motor juga termasuk jika tidak mampu mengendalikannya.

"Kurasa bukan gayaku sih mengendarai motor," gumamnya lagi bernada sedih.

Setelah melakukan perjalanan cukup jauh, dia menemukan gedung yang dicari. Itu semua berkat alat pelacak pemberian dari Fanesya. Dia menaruh GPS pada ayah tirinya, Hartoyo dalam keadaan darurat. Aisyah tancapkan gas. Melaju dengan kecepatan tinggi. Sampai kabut menyebar ke seluruh area jalan. Aisyah menurunkan kecepatan. Lalu memarkir di tengah jalan. Dia mengangkat busur panah, bersiap melepaskan anak panah. Langkah kaki Aisyah begitu berat. Seolah-olah ada sebuah pemberat diikat di belakang. Kedua matanya tidak lepas dari kedua kakinya. Sebuah cakar menerkam gadis berhijab itu. Aisyah memusatkan pandangannya untuk menunduk. Kemudian melepaskan anak panah disertai sihir [Fireball]. Cakar tersebut perlahan-lahan menghilang. Gigi rahangnya menggertak. Dia memukul kedua pahanya untuk bergerak. Terlihat gemetaran sehabis diserang mendadak. Dan aisyah paham hal itu.

Aisyah berlari menuju gedung itu. Bunyi klakson terdengar dari arah belakang. Dalam kecepatan tinggi, nampak terlihat truk. Aisyah menghindar. Jantungnya berdegup kencang. Angin yang semula nampak, kini tidak berhembus. Sebaliknya, cakar mulai menyerang Aisyah. Gadis berhijab terus menerus menghindar.

"Siapa di sana! cepat keluar!" teriak Aisyah.

"Rupanya ada seorang gadis yang bisa menghentikanku ya?" suara menggema dari kabut.

Anak panah dilepaskan ke langit. Tapi mulai tidak nampak benda tersebut. Aisyah menduga anak panah berhasil direbut. Kemudian dia mencoba lagi. Kali ini menggunakan kail. Setelah anak panah dilepaskan, Aisyah mengunci kail dengan busur panah. Di samping itu, cakar tersebut masih menyerangnya. Hal itu merepotkan baginya. Anak panah berhasil mencapai ketinggian gedung apartemen, tapi karena kabut benda tersebut mulai menghilang. Dan kail yang dipasang putus. Di saat Aisyah sedang berpikir, cakar menerkamnya dari atas. Aisyah menghindar lagi.

"Cakar ini terus menggangguku. Aku harus mencari tahu sumbernya," gumamnya.

Dia melepaskan anak panah berulang kali. Tidak lupa ketinggalan, memasangkan dua belati ke ujung busur panah. Lalu menyerang tanpa arah dan tujuan. Aisyah mulai kehabisan napas. Dia menyadari bahwa kabut tersebut mempengaruhi penglihatan dan pernapasan. Matanya buram dan sulit untuk bernapas. Anggota tubuhnya juga mulai kehilangan tenaga. Kedua lututnya ambruk ke tanah.

"Aku ... aku masih bisa," katanya dalam semangat dan memiliki tenaga tersisa.

Aisyah menarik senar busur panah. Melepaskan tembakan sekuat tenaga. Di samping itu, dia menggunakan sihir tersisa.

"[Light]!"

Cahaya bersinar pada diri Aisyah. Dia menarik napas panjang, lalu melepaskan kembali anak panahnya. Kini yang harus dia lakukan terus menggunakan [Light] sampai menengok ke sekitar. Akan tetapi sulit sekali menemukan kelemahannya.

"Gawat. Aku ... kehabisan napas,"

"Percuma saja, nona. Mustahil kau bisa mengalahkan kemampuan sihirku,"

Di saat Aisyah mulai terdesak, muncul api yang begitu hangat. Cakar yang semula menyerang, kini tidak berkutik. Kedua bola mata Aisyah tidak melihat apapun kecuali ketiga bayangan.

"Aisyah! Aisyah!"

Teriakan demi teriakan terus menggema di tengah kabur. Aisyah hanya bisa mendengar namanya dipanggil. Dia berusaha bangkit. Kedua kaki berusaha berdiri, berjalan tertatih-tatih. Tangan kanan terus menadah ketiga bayangan itu. Berharap ada seseorang yang menyelamatkan dirinya. Sampai di tengah perjalanan, tubuh Aisyah tidak mampu berdiri lagi. Dan ambruk di jalan. Pandangannya berubah menjadi gelap.

"Aisyah! Aisyah!"

"Sadarlah!"

Teriakan demi teriakan memanggil namanya membuatnya lega. Di sisi lain, Aisyah lega bahwa mereka bertiga telah datang kemari untuk menyelamatkan dirinya. Florensia, Fanesya dan Rachel.

Mereka bertiga memang sahabat sejati, gumamnya melontarkan kalimat terakhir sebelum tidak sadarkan diri.

To be Continued