Chevailer, 2006
Hingar bingar lampu tersebar rata ke seluruh ruangan, di lantai dansa ada banyak orang dengan bebasnya menari dan bercanda-secara harfiah beberapa dari mereka bahkan terlalu liar untuk sekedar bercanda. Oh, tentu saja bung. Karena kalau kau masih belum bisa menangkap gambarannya, biar aku sebutkan dengan lantang.
Klub malam.
Ini adalah klub malam, beberapa orang menyebutnya pub atau apapun itu. Namun intinya tempat ini sama, tempat dimana segala jenis dosa dibalut menjadi surga dan kesenangan. Sesuatu yang sangat klise sekali bukan? Tapi kita tidak perlu membicarakan hal itu, karena di di sini kita tidak akan membicarakan soal dosa dari orang lain.
Di sisi lain dari klub, tampak sofa-sofa beludru hitam ditata rapi. Disalah satu sofa yang tepat berada di ujung tengah ruangan, duduk empat orang pria. Yang berada di pojok terlihat tengah asik memangku dua orang pelacur dan bermain dengan mereka entah apa, sementara pria di sebelahnya yang berambut pirang terkekeh dan sesekali sibuk mencuri ciuman dari salah satu pelacur di pangkuan pria yang di ujung.
Di sisi sofa tunggal yang berada di depan sofa panjang, duduk seorang pria dengan wajah dingin. Ia memakai kaus putih yang ditutupi dengan jaket kulit hitam dan celana jeans hitam. Sepatu berwarna merah menghias kakinya, dan kedua tangannya bertumpu di lengan kursi. Dimana salah satu tangannya dengan gaya anggun memegang gelas vodka dan membawanya ke bibir menyesapnya pelan.
"Apa gunanya kau kemari jika kau hanya bercumbu dengan gelasmu Richard?" tanya pria berambut pirang sambil melirik Richard yang hanya minum dan menatap lantai dansa bosan.
"Aku tidak tidur dengan semua jenis pelacur sepertimu Andrew," Richard berucap datar.
Pria yang ada diujung mendengus, "Apanya? Semua pelacur itu sama, mereka hanya berguna untuk memuaskanmu dan mendesah di bawahmu. Apa yang sembarangan."
"Kalimat yang bagus Daniel," ucap Andrew yang langsung membuat Daniel-pria di ujung-tertawa. "Tentu saja kau hanya akan mencari pelacur yang hanya akan tidur denganmu saja iya kan, Richard? Atau kau memang tidak bermain karena ada penjaga kecilmu di sini?"
Andrew melirik pada pria yang memiliki surai pirang dan mata hijau cerah. Pria itu berdiri tegak, diam si samping Richard. Andrew menyeringai saat pria di sisi Richard tidak bergerak se-inchipun.
"Louis, harus aku akui kau punya pengendalian yang baik. Datang ke pub, tidak minum, tidak duduk. Hanya diam di sisi Putra Mahkotamu, luar biasa."
Daniel ikut melirik ke pada Louis yang masih diam, ia kemudian mencium salah satu pelacurnya dan menyuruh mereka berdua pergi. Meninggalkan wink nakal yang membuat dua pelacur itu berjalan sambil terkikik.
"Kenapa kau tidak menawarkan segelas vodka padanya Richard?" tanya Daniel sambil meraih gelas vodka yang ada di depannya. "Dia mungkin saja berminat?"
Richard menelengkan kepala, "Louis?"
"Saya tidak minum saat saya bertugas yang mulia," Louis menjawab cepat dengan nada stabil.
Jawaban itu membuat Andrew mendengus dan Daniel tertawa. Sementara Louis mengacuhkannya.
"Astaga," Daniel menggeleng. "Kau bahkan baru delapan belas tahun, usiamu sama dengan Andrew, setahun lebih muda dariku dan dua tahun lebih tua dari Richard. Kenapa kau menyia-nyiakan masa mudamu untuk hal sepele ini? Richard itu liar, dia bahkan tidak perlu penjaga."
Louis tidak menjawab, ia kembali menatap lurus ke arah lantai dansa dan terdiam. Membuat Daniel mendengus dan Andrew tertawa.
"Astaga abaikan saja Daniel, dia tidak akan bicara jika bukan atas perintah Yang Mulia, iya kan?"
Richard tersenyum tipis saat mendengar kalimat Andrew, "Ya, dan aku harap itu adalah kesetiaannya. Karena yang aku butuhkan adalah orang yang bisa aku percaya, walau kadang aku kesulitan melakukannya. Ya, kan. Louis?"
"Ya Yang Mulia, anda bisa mempercayai saya. Saya akan selalu setia kepada anda."
...
Richard diam di ujung ruangan, tangannya bersedekap rapat dan tampangnya sudah seperti sniper psikopat yang akan menembak semua orang yang akan dia temui.
Well, sebenarnya bukan tanpa alasan ia seperti itu. Redd marah, wanita itu meringkuk di sudut ranjangnya bersama Fleur, wajahnya tertekuk dan ia menolak bicara kepada Richard, bahkan menatap saja ia tidak mau.
"Baiklah," Richard berucap kesal, "Ini salahku. Sekarang bicaralah sesuatu Redd."
Hening.
"Redd Annabeth Mansen?"
"Enyah saja kau Alexander," ucap Redd teredam. Wanita itu menarik selimut menutupi wajahnya dan menghindari Richard.
"Jangan bertingkah konyol. Aku meninggalkanmu untuk pergi ke bagian forensik, aku pergi untuk melihat pelaku yang mencoba untuk mencekikmu."
"Enyah kau."
Richard menggeram rendah saat mendengar ucapan Redd, dengan isyarat mata ia meminta Fleur bergeser dan dengan cepat ia membuka selimutnya.
"Apa yang kau lakukan!!" Redd berteriak sambil berusaha untuk menarik selimutnya kembali. "Aku tidak mau melihatmu! Enyah kau!"
Richard mendengus, "Fleur bisa kau tinggalkan kami berdua? Dan oh, tolong kunci pintunya dari luar." Raja itu melirik melalui sudut matanya dan Fleur mengangguk, berjalan keluar dengan langkah cepat.
"Tu,tunggu. Fleur!" Redd berteriak. "Kau harusnya tidak menuruti pria gila ini di-Astaga! Hei, Alexander! Kau sudah gila?"
Richard mengacuhkan Redd sepenuh hatinya. Karena begitu suara pintu terkunci terdengar, dengan cepat ia melepas kemejanya dan mengukung Redd. Membuat wanita itu memukulinya, "Mau apa kau? Menyingkir, dasar cabul! Enyah kau!"
"Aku ingin kau melihatku dan bicara Mansen."
"Tidak, tidak," Redd menggeleng. "Menyingkir kau!"
"Kenapa kau jadi konyol, kau-"
"Kau ini benar-benar tidak bisa menghargai wanita ya?" teriak Redd kesal, "Kau pikir aku tidak sakit hati? Kau menyeretku ke taman belakang, lalu meninggalkanku begitu saja. Membuat aku harus berjalan sendirian ke kamar ditemani penjaga dan AKU BAHKAN MASIH BELUM MAKAN SARAPANKU! Astaga, Raja sialan. Aku bilang enyah kau dari hadapanku."
Richard termenung selama beberapa saat, Raja Muda itu menatap wajah Redd yang tertekuk dan entah karena apa yang ia tahu kemudian adalah ia tertawa terbahak-bahak hingga menangis.
"Apa yang kau tertawakan sialan?!" Redd meraih bantal di sisinya dan memukulkannya pada Richard, "Dasar orang gila tidak berperasaan, psikopat gila
tidak peka. Enyah kau!!"
"Hei, hei," Richard menahan tangan Redd yang siap menghantamnya lagi. "Ini kekerasan dalam rumah tangga kau tahu?"
"Aku tidak peduli."
"Sudah aku duga sejak awal kalau kau itu memang wanita kasar."
"Beraninya kau!!" teriak Redd marah. "Kemari kau! Dasar Raja sialan!"
Richard tertawa dan berlari turun dari ranjang, Redd dengan cepat ikut turun dari ranjang pula. Sekeras yang ia bisa ia memukuli dada Richard, namun langsung terhenti saat Raja itu meraih pinggangnya dan menggendongnya cepat.
"Hei, apa yang kau lakukan! Turunkan aku!!"
"Tahu tidak," Richard berucap. "Aku suka sekali saat melihat kau marah. Kau tahu, itu liar dan," ia diam. "Sexy?"
"Apa-apaan? Kau mesumm!! Kau, astaga,"
Redd terdiam kaku. Saat Richard menjatuhkannya di ranjang dan menimpa tubuhnya. Tangan pria itu berada di kedua sisi tubuhnya, dan matanya ... sial.
"Jangan melihatku dengan mata itu," bisik Redd.
"Kenapa?"
"Aku tidak menyukainya."
"Bohong."
"Aku membencinya."
"Kenapa?"
"Kenapa? Aku membenci mata itu, aku membenci pandangan itu. Apa kau tahu? Saat kau mulai peduli pada seseorang kau akan mulai memahaminya." Redd menyentuh kening Richard pelan. "Rasanya menyakitkan untukku saat menatap matamu, karena matamu sedih. Matamu tidak berbinar bahagia, matamu itu kosong. Aku membencinya, karena itu menyakitkan. Melihatmu hacur, tapi aku tidak bisa melakukan apapun untuk itu. Aku membencinya. Itu alasannya, aku membencinya. Aku berjanji akan membuatmu bahagia dan tersenyum lagi, jadi jangan menatapku dengan pandangan itu."
Sebuah hening yang panjang menyapa mereka setelah itu, Reds masih mengelus kening Richard sebelum pria itu menyingkingkirkan tangan Reed dan menyentuhkan kening mereka.
"Ada apa?" tanya Redd. "Apa aku salah bicara?"
"Kenapa kau masih peduli pada orang lain saat dirimu bahkan terluka?"
Ratu itu mengerutkan kening, "Kau bukan orang lain."
Richard tertawa, "Bukan itu maksudku. Dasar perusak suasana."
"Kau kan juga terluka," Redd berucap cepat sambil mendorong Richard untuk berbaring. Wanita itu kemudian meraih tangan Richard yang diperban, dan menyadari bahwa perban itu belum diganti. "Kenapa kau belum mengganti perbanmu?"
"Kenapa harus diganti?"
"Karena kau bisa kena infeksi! Kau ini bodoh atau apa sih, biar aku pang- uwa, apa yang kaumppwjib!"
Redd memberontak saat lengan Richard meraihnya dan mendekapnya erat. Redd mencoba mendorong, tapi yang ada pria itu malah menaikkan kakinya dan melingkari pinggang Redd erat. Menekan wajah wanita itu di dadanya. "Akpuhm tykdiak bygsa byngnafds brfgsrk."
Richard melonggarkan pelukannya, "Apa?"
"Aku tidak bisa bernafas brengsek!!"
Alis Raja itu menukik tajam, dengan marah ia membalik posisi mereka dan menekan Redd di bawahnya, "Apa yang aku katakan soal mengumpat?"
"Apa?" Redd mendelik dengan nafas berantakan. "Kau tidak pernah mengatakan apapun."
"Baik," Richard menarik nafas. "Mulai sekarang, aku melarangmu untuk mengumpat. Apapun itu."
"Kenapa?"
"Kenapa!? Tentu saja karena itu tidak sopan."
"Tapi aku hanya mengumpat kepadamu, apa salahnya itu?"
"Wah, begitukah? Bagus sekali. Bakat yang sangat luar biasa."
Redd melengos, "Aku tahu. Aku memang berbakat. Terimakasih."
Richard menggeram, "Wanita ini."
"Apa?"
Richard menggeleng, dengan cepat menggigit bibir bawah Redd sebelum kemudian menghisap nya gemas. Bibir penuh pria itu kemudian mulai bergerak, ia melumat bibir bawah Redd dengan konstan, "Richard kau tahu," Raja itu mengiggit lagi, "Kau tahu tidak kal-," melesakkan lidah, "Richard kaump-" menyesap liar, "Richard kau tah-," melumat lagi, "BIARKAN AKU BICARA DULU SIALANN!!"
Richard menjauh dan memasang senyum polos tanpa dosa yang membuat Redd mendelik kesal, dengan marah ia berusaha untuk mendorong Richard menjauh tapi ia menyerah saat Richard tetap tidak bergerak sama sekali. "Ada apa?" tanya Richard tenang.
Redd mendengus, "Kau tahu kalau pelaku yang menyerangku waktu itu adalah pria? Dengan mata hijau dan rambut pirang?"
Richard mengerutkan kening, "Tidak. Tapi mayat yang aku temukan memang berambut pirang dan bermata hijau."
"Tapi bagaimana kalau ternyata mayat itu bukan dia? Jika ternyata dia masih hidup."
Richard terdiam, ia kemudia menjatuhkan diri di sisi Redd dan tidur menyamping. Memeluk wanita itu erat-erat, "Aku juga memikirkan kemungkinan itu. Karena itulah aku memerintahkan Charles untuk mengumpulkan pria dengan rambut pirang dan mata hijau di istana, kita akan melihat mereka nanti."
"Tapi mereka akan sangat banyak sekali?"
"Kau benar, tapi kita perlu itu untuk memastikan." Richard menjawab, "Dan aku juga sudah memilih seorang pengawal untukmu."
"Pengawal?"
"Ya. Pengawal-tunggu sebentar," Raja muda itu mengulurkan tangan dan meraih kemeja putihnya yang ia lepas di lantai. Ia memakainya cepat, sebelum mengeluarkan sebuah iphone dari saku celananya.
"Apa itu ponsel?" tanya Redd saat melihat Richard menekan layar.
"Ya," Richard mengerutkan kening. "Ya. Kau tidak punya?"
"Apa kau mau bicara omong kosong denganku?" Redd mendegus. "Aku ini pelayan. Mana mungkin aku punya barang-barang seperti itu."
Richard menghentikan gerakan jarinya di atas layar, "Kau tidak pernah punya ponsel seumur hidupmu?"
Redd menggeleng, "Tidak."
Richard mengerutkan kening lagi dan dengan cepat menekan layar, "Aku ingin ponsel untuk langsung dipakai dan aku akan ke aula istana sebentar lagi."
"Apa kau akan pergi lagi?" tanya Redd.
"Ya. Aku ada rapat dengan Dewan."
"Kenapa?"
Richard menoleh enggan, hanya untuk menemukan Redd yang mencebik dengan mata berkaca-kaca, "Astaga Redd, jangan mulai lagi."
"Kau meninggalkanku."
"Hanya ke aula, astaga," pria itu menggerang. "Aku janji akan makan siang bersama oke? Kemudian setelah itu kita akan mengecek para pria pirang."
"Lalu kau pergi lagi."
"Tidak, tidak. Sungguh. Aku akan bersama selama sisa hari kemudian."
Redd mengulurkan kelingking, "Janji?"
"Janji," ucap Richard sambil mengaitkan kelingkingnya dengan milik Redd.
"Bagus," Ratu itu bangkit dengan wajah sumringah, "Sana pergi. Aku mau mandi." lantas pintu kamar mandi berdebam tertutup menyusul kemudian.
Sialan. Richard pikir ia harusnya menyesal karena menikah dengan wanita seperti itu.