Leo tengah sibuk dengan konsol mainan dan layar plasma raksasa di depannya saat sebuah ketukan meyambangi pintu kamarnya, pemuda itu mendecak, melepas headphonenya dengan kesal, melempar konsolnya ke ranjang dan bersiap melempar pandangan sengit pada sosok yang menggusiknya—ya, jika saja sosok yang menggusiknya adalah Howie atau Kylie, tentu saja.
"Oh ...." Leo menggerjab kikuk kala pintu terbuka dan netranya bertatapan dengan hazel hangat Redd. "Yang Mulia?"
"Halo Leo, apa aku menganggumu?"
"Tidak,uh," Leo bergerak dan menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, masuklah Yang Mulia,"pemuda itu membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan bergeser. "Apa ada yang bisa saya bantu?"
Redd tersenyum kecil, sembari masuk ke dalam. Matanya memandang berkeliling pada kamar yang telah berubah menjadi kumpulan perangkat elektornik dan kerusuhan khas anak muda.
"Uh," Leo berucap canggung. "Maaf, berantakan."
"Tidak apa, malah akan jadi aneh jika orang sepertimu memiliki kamar yang rapi."
Leo tersenyum lebar. "Ya kan? Kylie terus memarahi saya karena kamar saya berantakan, padahal ini memang gaya anak muda. Saya rasa Perempuan itu memang agak ketinggalan jaman."
Redd hanya meresponnya dengan tawa, "Kau benar-benar membuatku ingat pada Justin."
"Justin?" kening Leo mengkerut. "Siapa itu Yang Mulia?"
"Ajudanku, anak muda yang tingkahnya sama sepertimu."
"Oh," hening sesaat. "Saya belum mengenalnya."
"Memang belum," sahut Redd pelan sebelum menatap Leo. "Ngomong-ngomong Leo, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku?"
"Apa itu Yang Mulia?"
"Bisakah kau membantuku untuk menghubungi adikku?"
Leo menggerjab, "Adik?"
"Aku memiliki seorang adik perempuan, namanya Leen. Aku tidak pernah mendengar kabarnya untuk waktu yang lama, dan aku," Redd berhenti sebentar. "Kau tahu, aku merindukannya. Aku khawatir dengan kondisinya sekarang. Aku hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja, bisakah kau membantuku?"
"Yang Mulia ingin bicara dengannya?"
"Tidak perlu bicara," Ratu itu menggeleng. "Aku hanya ingin mendengar suaranya. Itu sudah cukup, bisakah kau melakukannya?"
Leo termenung sejenak, matanya kemudian melirik sebelum ia bangkit dan menutup pintu. "Begini," pemuda itu meneleng sebelum mendekat untuk duduk di sisi Redd. "Anda tahu bahwa ini adalah ilegal dan walau saya bisa melakukannya, saya sedikit khawatir jika aktifitas ini akan jadi mencurigakan jika sinyal kita terbaca oleh protokol pasukan khusus. Karena bagaimana pun saya menghubungi sosok yang anda kenal."
"Kalau begitu ini tidak bisa?"
"Bukan," Leo cepat-cepat menggeleng. "Bukan tidak bisa, saya bisa tentu saja. Hanya saja," Leo mendesah. "Ini seperti pertarungan antara hati nurani, tapi yah. Baiklah, saya akan mencobanya."
Pemuda itu mengangguk penuh tekad sebelum berjalan menuju ke depan dekstop dan duduk. Leo meregangkan diri sebentar, sebelum menoleh kepada Redd.
"Jika saya boleh tahu, apa ada alamat yang bisa saya pakai? Sekolah? Rumah? Atau media sosial?"
"Avenue Apartment unit A nomor 321, Chevailer."
Leo mengangguk-angguk, ia kemudian menghadap ke dekstop kembali dan mulai membuka laman-laman yang tidak bisa Redd pahami. Tangan pemuda itu bergerak sangat cepat di atas keyboard, mengetik dengan bunyi 'ctak' keras yang bersahutan.
Redd sendiri hanya diam di tepi ranjang, dalam hening memandang sosok Leo yang kini mulai larut dalam keseriusan. Ia tahu, jelas sangat tahu bahwa apa yang kini tengah ia lakukan sangatlah beresiko. Walau terdengar mustahil, ia tahu sangat mungkin ada beberapa pihak yang memata-matai dan kemudian memiliki kemungkinan besar untuk menyadari bahwa ia masih hidup.
"Leo apakah kau tahu siapa saja orang-orang yang ingin membunuhku?" perkataan itu tercetus bahkan sebelum Redd sempat mencegahnya.
Pemuda yang tengah sibuk di depan layar itu menoleh kaget, ia memandang Redd untuk beberapa saat yang lama sebelum kemudian menggeleng ragu, "Tidak. Saya tidak tahu, itu bukan ranah saya."
"Kalian tidak berbagi informasi?" Ratu itu bertannya bingung. "Kau juga anggota pasukan khusus kan?"
Leo berdeham, "Saya hanya bertugas untuk mengatur komunikasi dan kebanyakan teknologi. Saya tidak terjun ke lapangan tapi bekerja di balik komputer, meretas jaringan dan yah, mencari informasi. Walau mungkin disalah satu informasi itu ada pelakunya saya tidak akan memperhatikan, ada banyak nama untuk diidentifikasi Yang Mulia." Leo menaikkan bahu acuh, "dan semakin tinggi kelas kejahatannya biasanya semakin sulit. Karena mereka benar-benar bersembunyi dengan lihai."
"Aku pikir orang-orang seperti kalian akan bisa menemukan identitas dalam beberapa jam."
"Ya, jika informasi yang diberikan sangat jelas. Tapi kebanyakan kriminal mempunyai jalur untuk memalsukan identitas, lengkap beserta surat-suratnya. Mereka dilindungi oleh organisasi gelap dan tentu saja terkadang aparat hukum bahkan negara. Tidak ada alat absurd yang bisa mengidentifikasi data seseorang secepat itu tanpa informasi yang jelas Yang Mulia, bayangkan saja jika saya ingin mencari seorang kriminal di suatu tempat. Agen lapangan harus turun ke lokasi, mencari tahu tempat ia berada, pekerjaannya, koneksinya dan banyak hal—baru setelahnya saya bisa mencari tahu hal lain yang lebih mendetail. Belum lagi dalam melakukannya saya masih harus membobol data negara tertentu, penjara tertentu atau bahkan data internal sebuah organisasi. Kalaupun nanti saya bisa menemukan data lengkap kriminalnya, untuk benar-benar menemukan siapa dia saya masih harus mengecek dari data seluruh orang yang ada di dunia ini. Menyempitkannya menjadi pencarian data sebuah warga negara tertentu dan mengecek suspek-suspek yang tidak terhitung."
Redd menahan nafas sembari memilah respon di otaknya, "Eh, terdengar sulit ternyata."
"Tentu saja," Leo tertawa. "Jangan bayangkan kami akan bekerja seperti para agen di film, itu hanya fiktif. Faktanya bahkan agen terbaik pun tidak bisa menembak sasaran seraya terbang atau berguling."
Ratu Chevailer itu terkekeh kecil, "Aku pikir itu akan bagus untuk dicoba."
"Yah, andai saja mereka mengajarkan itu sebagai kurikulum di sekolah."
"Oh?" alis Redd naik sebelah. "Kalian juga bersekolah?"
"Tentu saja," nada Leo tidak terima. "Kami mendapat pendidikan kelas tinggi untuk ini, kami harus melewati seleksi ketat untuk masuk dan kemudian berlatih keras hingga dianggap mampu menjadi agen."
Redd menelengkan kepala, "Tapi kau menjadi agen di usia segini. Kapan kau mulai bersekolah Leo?"
"Secara harfiah saya tidak mengambil sekolah penuh," Leo menaikkan bahu. "Saya masuk saat usia saya tujuh belas, saya direkrut segera setelah saya akan dipenjara akibat tanpa sengaja membobol data internal CIA. Pasukan Khusus memberi pembelaan pada saya dan setelah melalui beberapa prosedur saya bebas—dengan syarat mau mengabdi ke negara dan menjadi pasukan khusus."
"Apa pasukan khusus berjumlah banyak?"
"Hanya tujuh orang, karena kami adalah pasukan elit," nada Leo bangga. "Tapi ada divisi pasukan lain yang berada di bawah intelejen negara dan pertahanan. Mereka yang biasanya melakukan sekolah penuh dan masuk ke militer."
"Kalau begitu kau tahu siapa saja anggota pasukan?"
Leo menoleh ke layarnya dan mulai sibuk lagi, "Tidak. Saya hanya mengenal Kylie dan Howie, sisanya saya belum pernah bertemu. Saya hanya mengenal nama samaran mereka saja, pasukan khusus tidak ditambahkan bersama-sama. Karena anggotanya rahasia, kami hanya akan tahu jika sudah diadakan pertemuan resmi. Terkadang dalam bertugas kami gugur Yang Mulia, lalu segera akan ada anggota baru masuk menggantikan. Jadi bukan hal aneh jika kami menemukan wajah baru dalam sebuah misi—begitu juga soal misi akan disampaikan secara berantai dan kode dari pemimpin pasukan."
"Kalian punya pemimpin pasukan?" Redd bertannya tertarik.
"Tentu saja, dia yang mengatur segala misi dan informasi. Saya belum pernah bertemu dia, yang saya tahu hanya nama samarannya adalah Nerve."
Redd mengulum senyum, "Kau punya nama samaran juga Leo?"
"Oh, ya. Tentu saja," pemuda itu menatap Redd percaya diri. "Hades."
"Hades?" Redd tertawa. "Raja Dunia Bawah?"
"Ya, Raja orang mati dan neraka. Sebuah nama yang akan menimbulkan ketakutan bagi siapapun yang mendengarnya, terdengar keren dan sangat pas untuk saya."
"Ya," Ratu itu mengangguk mengiyakan. "Memang terdengar sangat menakutkan."
"Anda mengejek saya?" Leo merengut.
"Aku tidak," Redd tertawa kecil. "Aku bersungguh-sungguh."
Pemuda yang lebih muda hanya mendengus sebelum kembali fokus ke layar, mencoba untuk menerobos beberapa keamanan secara ilegal sebelum sebuah pemikiran yang melintas di pikirannya membuat ia berbalik lagi pada Redd.
"Yang Mulia?"
"Ya?"
"Saya hanya menawarkan," Leo diam sesaat. "Tapi, apa anda tidak ingin mencoba untuk mengubungi Yang Mulia Raja?"
...
"Kemana kita akan pergi?"
Justin mendongak seraya memandang pada sang ayah yang hanya mengusak surainya, dengan bibir mencebik bocah bersurai pirang itu menghentakkan kaki. "Ayah, jawab aku."
"Kita akan pergi ke suatu tempat."
"Bersama siapa?" Justin meraih lengan ayahnya sembari melihat ke kanan dan kirinya yang dipenuhi oleh para penjaga berjas hitam. "Kenapa ada banyak orang disini?"
Ayahnya berjongkok menyamai tinggi Justin, "Orang-orang ini akan menjaga kita. Kita akan pergi ke suatu tempat dan Ibu Ratu akan ikut bersama kita."
"Ibu Ratu?" Justin kecil berpaling dengan cepat. "Pangeran James juga?"
"Pangeran James tidak akan ikut."
Justin merengut, "Kenapa tidak?"
"Karena Pangeran sedang sakit."
Justin mengangguk-angguk, "Tapi ayah. Kapan ayah akan mengenalku pada Pangeran Ricahard? Ayah tahu dia? Dia kakak laki-laki Pangeran James, pangeran bilang kakaknya keren dan sangat baik. Pangeran bilang kakaknya ingin bertemu denganku."
Ayahnya memandangnya sesaat, "Tidak sekarang. Kau akan bertemu Pangeran suatu hari nanti Justin, tapi tidak sekarang.
"Kenapa?"
"Karena kau dan Pangeran hanya akan saling melukai satu sama lain"
....