Lu Sinian mengangkat matanya sedikit dan meliirk Shen Qingyan dari samping, "Hadiah seperti apa yang biasanya disukai seorang gadis?" Ia terdiam sejenak dan menambahkan, "Contohnya kau."
Shen Qingyan membeku sejenak. "Aku?" Ia mengerutkan kening selama beberapa detik dan bergumam, "Sepertinya tidak ada yang terlalu aku suka..." Shen Qingyan tidak kekurangan emas, perak, dan berlian. Ia juga tidak terpikirkan hadiah lain.
Lu Sinian menuangkan secangkir teh dan berkata dengan ringan, "Sebutkan apa saja."
Shen Qingyan menopang dagunya sambil menggigit bibirnya. "Ya, jika aku harus mengatakannya, aku mungkin menginginkan sebuah kapal pesiar," jawab Shen Qingyan. Ayahnya berkata bahwa jika seorang gadis kecil mengendarai kapal pesiar, itu hanya akan mempromosikan kapitalisme yang tidak sehat. Apapun yang ia katakan, ayahnya tentu tidak akan membelikan itu untuknya. Masyarakat kuno yang ketinggalan zaman. Ide-ide feodal! pikirnya geram.
"Kapal pesiar?" Lu Sinian mengangkat alisnya. Jari-jarinya yang ramping mengarahkan cangkir ke mulutnya dan ia menyesap tehnya. Matanya tampak sedikit tersenyum saat ia bergumam, "Aku mengerti."
———
Setelah makan malam, Ye Banxia duduk di sofa dan mencari posisi yang nyaman. Ia mendengarkan tayangan berita di televisi dan melirik layar televisi dari waktu ke waktu. Mo Chenyan berjalan ke arahnya. Namun, pria itu tidak duduk dan hanya menatapnya. Satu tangannya masuk di saku celananya dan ada rokok di sela jari-jari tangannya yang lain hingga menyebarkan asap putih di ruang tamu yang besar.
"Tidak jadi berbicara tentang kehidupan?"
Ye Banxia tertawa kecil dan mencibir, "Aku hanya berkata asal. Kau bisa melanjutkan kesibukanmu."
Mo Chenyan mengangguk. Lalu, sosok tinggi itu melintas di depan Ye Banxia dan berjalan lurus menuju lantai dua. Ye Banxia menatap bagian belakang pria itu dengan asap menyala di antara jari-jarinya. Ia merasa bahwa setiap langkah Mo Chenyan terlihat seperti catwalk. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan seperti apa Mo Chenyan saat ini. Bagaimana mungkin tidak ada wanita yang menyukai pria seperti itu. Asap yang memenuhi udara perlahan menghilang, tapi baunya masih tersisa dan masih sangat melekat.
Mata Ye Banxia terfokus pada layar televisi yang berkedip-kedip. Pada pukul 9:30 malam, ia mengambil remot dan akhirnya mematikan televisi lalu naik ke lantai atas. Setelah ia selesai mandi dan keluar dari kamar mandi, ia melihat Mo Chenyan yang seharusnya berada di ruang kerja kini telah duduk di atas sofa. Pria itu telah melepaskan jasnya dan hanya tersisa kemeja putih bersih berhiaskan kancing biru tua. Ye Banxia menunjuk ke arah kamar mandi dan berkata, "Sudah malam. Segeralah mandi."
"Kau lupa apa yang kau katakan di atap siang tadi?"
Ye Banxia terkejut dan sepertinya benar-benar tidak ingat karena ia malah bertanya, "Ada apa?"
Mo Chenyan melirik Ye Banxia, lalu alisnya yang dingin berkerut semakin dalam d bawah cahaya redup. Ia mengerutkan dahi dan bibir tipisnya terangkat hingga terbit lengkungan senyum yang tidak menyenangkan. Ia menarik dasi di lehernya dan melemparkannya ke samping. "Hampir lewat dari jam makan siang, kita akan bicarakan lagi di rumah nanti malam—bukankah kau yang mengatakannya?"
Ye Banxia terdiam dan mengedipkan matanya. Ia mengatakan kalimat seperti itu tadi siang hanya karena terpaksa oleh situasi. Wanita itu mengenakan baju tidur sutra putih dan berjalan perlahan ke arah Mo Chenyan dengan rambut ikal hitam yang terurai dari sisi bahunya. Ia membungkuk untuk duduk di sofa sebelah Mo Chenyan dan aroma harum sehabis mandi masih melekat di tubuhnya. Ia tertawa, "Baiklah, bicaralah."
Mo Chenyan menatap wajah cantik Ye Banxia dan kilatan gelap melintas di matanya. Jelas Ye Banxia sudah duduk, tapi tampaknya ada sepasang kaki putih ramping yang bergetar di depannya. Jakunnya sedikit naik turun, lalu ia tanpa sadar mengangkat tangannya untuk menarik dasi di lehernya. Saat ia baru setengah jalan mengangkat tangannya, barulah ia tersadar bahwa ia sudah melepas dan melempar dasinya sedari tadi. Wajahnya pun kembali tenggelam.
Ye Banxia takut karena suasana muram Mo Chenyan yang tak dapat dijelaskan. Aku sudah bersikap begitu baik dan sepertinya tidak menyinggungnya, kan? batinnya. Ia mengerutkan kening dan bertanya dengan curiga, "Mo Chenyan, apa yang ingin kau katakan padaku?"
Ye Banxia tampaknya telah menjelaskannya, namun ia tetap merasa 'terintimidasi' oleh Mo Chenyan. Sebenarnya ia sudah tidak bisa memikirkan hal lain untuk melanjutkan pembicaraan. Memukulnya juga tidak membuatnya bisa menebak apa yang membuat Tuan Mo tidak puas sekarang.
Saat mereka berada di atap kantin, Mo Chenyan lupa bahwa Ye Banxia sedang menstruasi sehingga ia setuju untuk 'membicarakannya kembali setelah pulang'. Namun, Mo Chenyan baru saja melihat sosok Ye Banxia yang begitu lembut dan tiba-tiba teringat kembali. Ia pun tidak bisa mengatakan apapun lagi. "Tidak ada apa-apa," jawab Mo Chenyan.
Tiba-tiba ada bayangan gelap yang menghalangi cahaya asli di mata Mo Chenyan. Pria itu merapatkan bibir tipisnya menjadi garis lurus dan matanya ditutupi kabut yang dalam. Ia berdiri tegak dan melintas di depan Ye Banxia sambil membuka kancing kemejanya satu demi persatu. Ketika ia sampai di pintu kamar mandi, jari-jarinya sampai di kancing terakhir. Ye Banxia menatap punggung Mo Chenyan yang semakin menjauh sampai pintu kamar mandi menghalangi pandangannya. Kemudian, suara air datang terdengar sampai ke kamar tidur. Ye Banxia mengedipkan matanya dengan wajah tidak berdosa.
———
Keesokan harinya, Ye Banxia tidak perlu pergi ke kantor. Setelah makan, ia mengurung diri di ruang kerja. Mulanya ia berniat untuk membuka dua buku dan melihat apakah ia dapat menemukan beberapa inspirasi. Sayang sekali, inspirasi sering tidak datang ketika ia membutuhkannya dan menginginkannya. Setelah bertahan selama hampir dua jam, Ye Banxia akhirnya menyerah begitu saja. Bagaimanapun, masih ada tenggat waktu sebelum naskah harus diserahkan sehingga Ye Banxia tidak memaksakan diri untuk menulis sesuatu dalam dua hari ini. Kemudian, ia menemukan film remaja inspirasional di tablet dan setelah menonton beberapa episode, Li Shen datang memanggilnya untuk makan.
Ye Banxia baru saja mengambil sumpit saat ia menerima telepon dari Ling Nian. Di ujung panggilan, napas Ling Nian jelas terdengar sedang cemas. Sebelum Ye Banxia sempat berbicara, ia mendengar Ling Nian buru-buru bertanya, "Ye Banxia, apakah hari ini kau ada waktu? Atau, kapan waktu luangmu? Mari kita bertemu."
Ye Banxia terdiam sejenak dan meletakkan sumpitnya kembali. "Ada apa?" tanyanya.
"Ini masalah besar! Kurasa aku akan segera mati!"
Suara Ling Nian terdengar gemetar, tapi membuat orang yang mendengarnya merasakan semacam kegembiraan, kontradiktif dengan perkataannya yang seharusnya menimbulkan suasana hati yang aneh. "Aku sekarang ada waktu. Di mana kita bisa bertemu?"
"Tidak sekarang, aku... Aku sekarang... Tetap saja sekarang tidak bisa! Jam dua siang, kita bertemu di toko kue yang sering kita kunjungi. Nanti aku akan memberitahumu. Aku akan menutup teleponnya. Dah…"
Ye Banxia mendengar nada sibuk di telepon dan berkedip polos sebelum menjauhkan ponsel dari telinganya sambil membatin, Ling Nian, apa yang sedang terjadi? Ling Nian terdengar begitu gelisah dan tergesa-gesa dan itu tak bisa dijelaskan. Namun, itu membuatnya merasa... ia sangat bersemangat
———
Jam baru menunjukkan pukul dua belas setelah Ye Banxia makan. Ia kembali ke ruang kerja untuk duduk sebentar dan ketika ia mengembalikan kedua buku yang baru saja ia ambil di tempatnya, matanya secara tidak sengaja melirik buku koleksi musik Mozart yang ada di sampingnya. Ye Banxia sedikit terkejut karena tidak mengira akan ada hal seperti itu di ruang kerja Mo Chenyan.
Ye Banxia belajar piano saat masih kecil. Kakeknya suka mendengarkan ia dan Ye Hanyan memainkan lagu-lagu Mozart sehingga saat itu ia paling menyukai Mozart. Ia pun tidak bisa menahan diri, lalu membuka buku itu dan melihatnya beberapa kali. Jari-jarinya terus membalik lembaran demi lembaran musik yang familier dan jelas terlihat bahwa lembar-lembar buku ini sudah berulang kali dibolak-balik oleh seseorang sehingga seharusnya buku ini tidak menganggur di sini. Ye Banxia tersenyum ringan dan berpikir, Chenyan bahkan menyukai hal-hal seperti ini. Ia terus membalik halaman, tapi senyum di wajahnya tiba-tiba membeku dan matanya lekat tertuju pada sebuah gambar yang indah.