SEBUTIR ASA DI ATAS PASIR Writting by: Adjie Atmoko

Bagi kami, Bapak adalah lautan luas. Bapak adalah lapangan tanpa tepi. Bapak tempat segala hal bermuara. Apapun yang keluar dari mulut keempat anaknya, Bapak senantiasa menampungnya dengan senyum hangat. Senyum yang terlukis dari guratan bibir kehitaman yang menua. Meski terlihat rapuh, tak pernah sekali pun kulihat lelah di raut wajahnya yang legam terbakar matahari di tengah laut. Dulu, Kak Ruslan sering mengatakan padaku, bahwa Bapak bukanlah seorang manusia. Katanya, Bapak adalah robot dari Amerika. Bapak tertawa sampai matanya berair ketika mendengarnya. Dan karena Bapak tidak marah dibilang sebagai robot, aku percaya saja kalau Bapak memang seorang robot. Namun, Bapak pernah membisikiku jika dia lebih suka dipanggil lautan olehku. Aku ingat sekali, aku tertidur pulas sambil tersenyum setelah mendengarnya.

Kami menganggap Ibu sebagai purnama. Bulatan emas cantik yang menemani lautan di malam-malam yang panjang. Kami senang sekali pada bulan purnama. Purnama selalu membuat lautan bergejolak. Berombak. Bersemangat. Persis seperti Ibu yang selalu membuat Bapak bersemangat setiap hari. Ibu selalu bisa membuat Bapak tertawa lepas. Apakah kau tahu, permukaan laut selalu meninggi saat purnama sempurna? Saat di mana Dewa Air seolah ingin memeluk Dewi Bulan. Seperti itulah Bapak dan Ibu. Saling menyemangati. Saling menyayangi.

Sampai kemudian, Bapak melarang kami menunggu purnama. Purnama-purnama memang masih selalu hadir menemui kami, menghibur kami, tapi sejak Ibu meninggalkan kami untuk mengejar takdirnya di seberang samudra, kami menjadi lupa cara untuk tertawa.

"Ibu pergi jauh untuk mencari uang," kata Kak Ruslan padaku suatu kali. "Bapak membutuhkan obat untuk sembuh dari sakit. Uang Ibu itu yang untuk membeli obat."

Aku terdiam mendengarnya. Kulirik Bapak yang terbaring lemah di atas tikar kusam. Tak ada senyum di bibir Bapak. Tak ada lagi. Karena akhir-akhir ini Bapak lebih suka komat-kamit daripada tersenyum, entah kenapa. Kata Kak Ruslan, Bapak begitu karena sedang berkomunikasi dengan Ibu. Aku tahu itu tidak benar. Mana mungkin begitu?

"Kak Ruslan bohong!"

Kulihat Kak Ruslan menghenTitan aktivitasnya memilah kerang. Dia menatapku. Aku balas menatapnya. Sebal. Kenapa sih harus bohong untuk menghiburku?

"Tita ...."

"Tita nggak suka Kakak bohong hanya agar Tita senang!"

"Kak Ruslan nggak pernah bohong, Tita."

Aku menepis tangan Kak Ruslan yang hendak mengelus rambutku. "Dulu Kakak bilang Bapak bukan manusia, tapi robot dari Amerika. Sekarang Kak Ruslan bilang Bapak yang komat-kamit menahan sakit sedang berkomunikasi dengan Ibu. Bohong kan dosa, Kak …." Kurasakan pipiku membasah ketika air mataku jatuh menganak sungai menuju dagu.

"Bapak memang sedang berkomunikasi, Tita." Kak Ruslan tetap kukuh pada pendiriannya. "Kakak pernah dengar Bapak menyebut-nyebut nama Ibu saat komat-kamit itu."

"Kak Ruslan bohong …," isakku.

"Kak Ruslan nggak bohong kok, Tita." Suara seseorang mengejutkan kami. Suara kakak sulung yang baru pulang dari mengaji. "Bapak memang sedang berkomunikasi."

Ruslan merasa mendapat angin pembelaan. Dia menepuk dadanya, membuat Tita memonyongkan bibirnya lucu. "Tuh, dengerin ...."

"Tapi bukan dengan Ibu." Kakak sulungku geleng-geleng gemas. "Bapak sedang berkomunikasi dengan Allah. Bapak sedang berdoa."

Kami terdiam saling pandang. Kakak masuk ke kamarnya, sementara aku dan Kak Ruslan masih di luar gubuk sambil saling bercanda.

"Ketipu nih yee?"

"Iiih, Kak Ruslaaaaan!"

Aku berdiri, kukejar Kak Ruslan sambil melempar kulit-kulit kerang ke arahnya. Kaki-kaki Kak Ruslan lincah berkelok-kelok menghindari 'serbuan' kulit kerang. Jejak-jejak kaki kecilnya terlihat jelas di permukaan pasir pantai yang basah.

Kak Ruslan bukan lawan yang mudah. Dia terbiasa berlari. Dia tertawa-tawa menerobos kerumunan orang-orang yang memenuhi pantai kami. Tubuh dekilnya sigap dan gesit menyelinap di antara lalu-lalang nelayan, sambil sesekali menjulurkan lidahnya kepadaku, meledekku. Huh!

Lalu, saat sedang asyik meledekku sambil berlari, Kak Ruslan tidak menyadari ada jala yang tergeletak di pasir bersiap menghentikannya.

Mataku terbelalak melihat Kak Ruslan terhuyung dan tubuh kurusnya jatuh terjerembab.

***

"Aduh!"

Wanita berkulit gelap itu menjatuhkan pisau itu ke lantai. Menimbulkan suara denting logam yang beradu dengan ubin. Bergegas, wanita itu segera berusaha mengambilnya tanpa peduli pada jarinya yang terluka karena teriris. Darah yang mengucur dari kelingking mencemari lantai.

"Apa pula ini?"

Jantung wanita itu serasa berhenti berdegub. Sesosok tubuh dengan bau tembakau yang amat dia kenal berdiri menjulang di hadapannya.

"Ma—maaf, Tuan." Terbata-bata wanita itu meminta maaf pada majikannya. Seorang lelaki Malaysia dengan aksen Melayu yang kental. "Saya tidak sengaja, Tuan. Maafkan saya ...."

"Minta maaf? Awak sudah ganggu saya tidur pun!" Lelaki itu memungut pisau dan mengacungkannya ke wajah pembantunya. "Awak sudah ganggu tidur saya! Awak kena penalty! Tak ada sarapan pagi ni!"

Wanita itu terkejut mendengarnya. Dia sudah tidak makan dari kemarin karena salah menyiapkan hidangan buat makan malam. dan pagi ini dia dihukum tidak boleh sarapan.

"Saya kecewa sama awak! Awak tidak becus kerja. Saya nak balikin awak ke Indonesia kalo gini ni!"

"Ampun, Tuan. Jangan pecat saya, Tuan. Saya minta maaf .…"

"Saya kontrak awak buat kerja, bukan buat main-main. Awak pahamilah tu."

"Iya, Tuan. Iya."

Jauh di lubuk hatinya, wanita itu sebenarnya sangat ingin segera pulang ke Indonesia. Dia rindu pada keempat anaknya. Dia kangen pada puisi-puisi Tita, pada cerita-ceritanya yang imajinatif. Dia rindu pada Ruslan, anak ketiganya, yang meskipun bandel tapi sayang pada Tita. Wanita itu menangis teringat bagaimana Ruslan pasang badan dan mengusir anak-anak bandel yang mengganggu adiknya. Dia ingin sekali bertanya pada anak pertama dan keduanya tentang perkembangan mengaji mereka. Dia ingin tahu apakah mereka bisa menggantikannya merawat Ruslan, Tita, dan … Bapak.

Bapak.

Wanita itu menitikkan air mata teringat suaminya yang kini tak berdaya disergap sakit. Suami yang mengajarinya tentang menghadapi hidup. Suami yang selalu tersenyum bahkan ketika letih terlihat di matanya. Seorang Bapak yang menasihati anak-anaknya dengan teladan, bukan sekadar kata-kata. Seorang Bapak yang selalu menitikkan air mata haru mendengar lantunan ayat Al-Qur'an dari dalam gubuknya yang reyot. Seorang pejuang yang melarangnya ke negeri di mana dia berada sekarang. Negeri yang menjanjikan ringgit sekaligus nestapa.

"Awak bersihkan lantai tu segera!" Lelaki itu menunjuk lantai yang terdapat cipratan darah. "Jangan menangis. Awak tak suka orang cengeng!"

Wanita itu terisak. Lalu beranjak hendak mengambil lap di belakang.

"Hei! Nak ke mana?"

"Nyari lap, Tuan."

"Cari lap? Buat ape? Lap sama kerudung itu saja. Kelamaan cari lap keburu kering darahnya."

Tangan wanita itu gemetar memegang ujung kerudungnya.

"Lekas awak lepas kerudung tu. Lap itu darah sebelum kering."

"Tapi, Tuan ...."

Tiba-tiba tangan si lelaki bergerak cepat meraih ujung kerudungnya. Wanita itu meronta kaget. Namun tenaga sang majikan terlalu kuat untuk ia lawan. Kerudung kremnya terlepas. Pekik tertahan meluncur dari bibir sang TKW ketika warna krem kerudungnya berubah menjadi merah darah.

***

Dalam rintik gerimis, seorang gadis kecil tampak sedang jongkok di tepi sebuah gundukan tanah merah. Mata gadis kecil itu masih sembab dan hidungnya kemerahan. Sesekali bahunya terguncang, sementara tangan kanannya yang memegang ranting kecil tak berhenti menggores tanah.

Di belakangnya, seorang anak laki-laki menungguinya. Dia memegang daun pisang yang digunakannya memayungi adiknya yang sedang berduka. Bukan. Bukan hanya adiknya yang berduka. Dia juga berduka. Dia kehilangan. Kedua kakaknya juga kehilangan. Mereka sedang di rumah, menangis. Hanya karena dia lebih suka berteriak di laut saat kehilangan, bukan berarti dia tak merasakan kesedihan yang sama dengan adik dan kedua kakaknya.

"Tita, pulang yuk?" katanya pada Tita. Namun tak ada suara yang keluar dari mulut adiknya itu. "Sebentar lagi hujan. Kita harus segera pulang."

Tangan gadis itu berhenti menggurat tanah. Dia lalu mengamati gambar wajah seorang laki-laki: wajah Bapak. Di atas gambar wajah itu, Tita menuliskan satu kata: BAPAK.

Ruslan merasa ada sesuatu jatuh dari matanya melihat itu semua. Kesedihan karena telah kehilangan sosok ayah mengalir seiring air mata yang membelah pipi tirusnya.

"Kakak ...." Tita meneruskan menggambar sesuatu di samping gambar wajah Bapak. Ruslan menyeka air matanya. Sebentuk gambar wajah perempuan yang dia kenal membuat dada Ruslan sesak.

"Tita rindu Ibu. Kapan Ibu pulang?"

Sejenak, dada Ruslan seolah meledak sebelum air mata membanjiri pipinya. Ruslan memeluk adiknya erat.

***

Seperti pagi yang selalu menjanjikan harapan, aku percaya apa yang telah kami semua alami adalah sebuah jalan yang memang harus kami lalui agar kami lebih kuat. Orang bijak mengatakan, bagi orang-orang yang telah mengalami air dan api, ada dua yang akan terjadi. Mereka yang telah menerima cobaan berat—kehilangan ayah dan ibu—bila sanggup melewatinya akan menjadi orang-orang yang tangguh. Orang-orang yang kuat dan sukses di masa depan. Namun bila mereka gagal melewati fase berat itu, mereka akan selalu jadi pecundang. Orang-orang yang kalah. Orang-orang yang pesimis dan putus asa, dan karenanya akan selalu berteman dengan penderitaan.

Aku tak pernah menyukai kehilangan. Namun kalau boleh memilih, aku ingin memilih opsi yang pertama. Kami tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Matahari selalu hadir setiap pagi meski hari sebelumnya sinarnya terhalang mendung atau diganggu hujan, bukan? Aku dulu begitu mencintai laut. Kini, aku ingin seperti matahari. Laut adalah symbol penerimaan. Sementara matahari identik dengan kedermawanan. Apa aku sudah memberitahumu kalau Kak Ruslan setuju denganku?

Sejak Bapak pergi, kami adalah sekumpulan anak ayam yang kehilangan pegangan. Ibu. Ibu belum pulang, tak berkabar. Bentang laut mungkin menghalanginya dari kabar kepergian Bapak. Orang-orang mulanya menaruh iba pada kami. Kami yatim. Kami masih kecil-kecil. Kami hanyalah anak-anak ayam yang terbiasa ada dalam lindungan induknya. Kini, seiring angin muson barat yang menyapa, kami harus siap hidup mandiri dengan hanya satu keyakinan: bahwa Ibu akan kembali segera untuk kami.

"Hei! Anak itu mengambil ikanku!"

Teriakan itu mengagetkanku. Lalu dari balik perahu yang tertambat, Kak Ruslan muncul begitu saja. Orang-orang mengejarnya dengan wajah beringas sambil menunjuk-nunjuk tangan Kak Ruslan. Ketika aku menyadari apa yang ada dalam genggaman kakakku, dunia seolah berhenti. Kulihat wajah Kak Ruslan dicekam rasa takut.

"Maling!!!"

"Dasar anak sial! Maling aja kerjanya!"

"Tangkap dia! Dia sembunyi di gubuknya!"

"Malinggg!!!"

***

Plakkk!

"Dasar maling!"

Wanita itu tersungkur. Dipeganginya pipi kanan yang serasa terbakar. Rasanya panas membara. Wanita itu ketakutan melihat ada bara api menyala-nyala di bola mata majikannya.

"Saya sudah bilang, jangan ambil makan di meja! Kalau awak mau makan, makan aja tu lauk di meja dapur. Ada daging buat awak!"

Wanita itu menggeleng-geleng. Tidak. Tidak mungkin dia menyentuh daging itu. Tidak!

"Kalau awak tidak mau, jangan ambil lauk di meja makan tuanmu! Awak langgar perintah! Awak tak beragama apa?"

"Tapi saya tidak mencuri lauk Tuan. Tadi kucing Tuan ambil ikannya." Perempuan itu terisak. Dadanya perih dituduh maling lauk. Tuduhan kejam yang entah keberapa sejak dia mengabdi di rumah itu.

"Kau tuduh kucing saya punya? Kau?"

"Saya tidak mencuri, Tuan. Saya bukan pencuri!"

"Bukan pencuri tapi maling!"

Lelaki itu lalu melangkah ke dapur. Diambilnya piring berisi daging berminyak yang kemudian disodorkannya ke pembantunya itu.

"Nih! Nih makanlah sampe awak puas. Sampai awak kenyang."

Wanita itu menutup mulutnya dengan tangan. Sambil menggeleng-geleng.

"Awak buka mulut awak! Ini daging lezat. Daging enak!"

"Tidak Tuan. Saya tidak makan daging babi ...."

Si majikan berhenti menyorongkan piring. dipelototinya si pembantu. "Kenapa tidak makan daging babi?"

"Dosa, Tuan." Wanita itu menjawab lirih, nyaris tidak terdengar.

"Dosa?" Si majikan tertawa. "Awak takut dosa tapi awak maling? Munafiklah awak!" Majikan itu berdiri lalu membanting piringnya di depan si wanita.

PRANGG!!!

***

Ruslan sedang terbata-bata melafalkan huruf Hijaiyah ketika Tita berlari-lari kecil sambil membawa buku.

"Kak Ruslan tahu ini buku apa?" tanya Tita dengan ceria dan sok misterius.

Ruslan sok mendelik, sok merasa terganggu. Tapi lantas dijawabnya juga pertanyaan adiknya itu. "Buku Bahasa Indonesia."

"Huu, ngarang. Tukang ngarang."

"Hahaha, memangnya buku apa sih?"

Tita menyodorkan buku seukuran komik itu pada Ruslan. "Ini buku isinya syair-syair Kahlil Gibran, Kak. Baguuuuus banget deh."

"Beli?"

Tita menggeleng.

"Pinjem?" desak Ruslan. Dia tidak suka kalau adiknya membawa sesuatu yang tidak jelas darimana. Cukup dia saja yang mengalami ketidakadilan dituduh mencuri.

"Aku dikasih orang baik kok, Kak."

Tatapan Ruslan yang semula penuh selidik sedikit melunak mendengarnya.

"Siapa yang memberi?"

Perlahan, telunjuk Tita mengarah ke balik punggung Ruslan. Ruslan menoleh dengan cepat.

"Siapa sih, Tita. Jangan macem-macem deh .…"

Namun belum sempat adiknya itu menjawab, mulut Ruslan ternganga. Tangannya gemetar melihat sesosok perempuan sedang tersenyum penuh rindu ke arahnya. Perempuan itu sesenggukan sambil mengucap sesuatu dengan lirih tapi begitu jelas terdengar di telinga Ruslan.

"Ruslan ...."

Ruslan kaget. "I– ibu? Ibuuuu ...."

Ruslan berlari menghambur menuju ke dekapan ibunya. Tika berlari-lari kecil menyusul kakaknya ke pelukan orang yang sangat mereka rindukan.

"Mulai besok Ibu yang akan memakaikan kerudung setiap kali kamu mau mengaji."

Tita mengusap air matanya. Dia mendekap ibunya erat-erat. "Selama ini, Kak Ruslan yang memakaikan kerudung Tita, Bu. Kak Ruslan nggak pernah nakal lagi kok."

Ibu tersenyum dan mengecup kening Tita serta Ruslan. Lalu, sesuatu seperti mengusik perasaannya melihat perahu yang amat dikenalnya tergeletak di tepi gubuk.

"Bapak di mana? Tidur? Ibu kangen banget sama Bapak kalian."

Tak ada jawaban dari Tita dan Ruslan.

"Tita? Ruslan? Bapak kalian di mana? Bapak lagi tidur kan? Bapak ...."

Ruslan menyeka bulir air mata yang menetes dari matanya.

"Ruslan? Bapakmu baik-baik saja kan Ruslan?"

Tita sesenggukan, dia memeluk ibunya erat-erat. Ruslan tak bisa lagi menghentikan air matanya yang menderas saat ia kemudian menunjuk manatap rerimbunan pemakaman yang tak jauh dari rumahnya.

"Bapak ... memang sudah tidur, Bu. Di sana ...."

Akhirnya Ruslan menujuknya. Seketika tas jinjing yang masih ada dalam genggaman tangannya, luruh jatuh berdebum ke tanah. Dengan gontai ibu berlarian menyusuri gundukan pemakaman milik warga kampung. Tita dan Ruslan megejarnya di belakang.

"Ibuuu ... tunggu!"

"Di mana Bapak? Di mana?"

Ruslan berhenti di sebuah makam berbatu dengan napas terengah. Begitu juga dengan Mustita.

"Di sini, Bu ...." jawab Ruslan dan Mustita hampir bersamaan.

Ibu kembali melangkah, langkahnya jauh lebih goyah sampia akhirnya tubuhnya tumbang memeluk tumpukan batu bernisan itu. segalanya seolah tumpah ruah.

"Bapaaakk ... kenapa bapak pergi sebelum ibu kembali, Pak? Kenapa, Pak? Padahal ibu sudah memendam rindu sedemikian besar. Rindu itu terlalu penuh di rongga dada ini, Pak. Dan rasanya setiap hari seakan mau meledak saja. Tapi Bapak malah pergi. Bapak curang ... Bapak curaaangg ...!"

"Bapak tidak curang, Bu .... Dia pergi untuk memberi kesempatan sama Ruslan menjadi pengganti kalian mengurus Tita," ucap Ruslan terbata-bata, padahal hatinya serasa hancur tiada terkira.

***

Satu bulan kemudian ....

Bau laut kembali menusuk hidung. Anyir dan sedikit kering di rongga hidung ini. Desau angin pantai yang biasanya membuat Ruslan malas kini malah serasa menampar pipinya setelah melewati satu bulan bersama ibu mereka yang telah kembali. Perempuan itu sudah membawa kopernya dengan wajah penuh salah.

"Maafin ibu, Nak. Ibu terpaksa menandatangani kontrak dengan sponsor TKI untuk majikan yang lain karena Ibu pikir itu adalah kesempatan lain bagi ibu."

"Pergilah, Bu ... pergi saja!" jawabnya tanpa menoleh. Mata Ruslan sudah berkaca-kaca sembari menatap garis laut di ujung sana. Semuanya terlihat berbayang gamang seperti perasaannya kala itu.

"Kamu seperti tidak iklas dengan kepergian ini, Ruslan. Apa kamu merasa lelah mengurusi Tita?"

Ruslan menengok. "Seperti Ibu yang tak pernah lelah berjuang mencari nafkah. Maka kakak yang baik tidak boleh lelah mengurusi adiknya."

Tiba-tiba ada yang menyahutinya dari belakang. "Seperti kami, yang juga tak pernah lelah berjuang mengurusi anak-anak yang penuh semangat seperti kalian," jawab seorang lelaki gondrong memakai blankon batik. Rambut ikal sebatas pinggang dengan jenggot tipis dan sorot mata yang tajam namun suaranya terdengar merdu. Dialah Kang Aceng, yang beberapa waktu lalu pernah menjemput Ruslan dan Tita untuk tinggal di Pondok Daarul Mujahid asuhan Yayasan Kandang Juang.

"Kang Aceng!" Ruslan segera membungkuk dan mencium tangannya penuh hormat.

"Ayo ikut Kang Aceng! Kamu akan punya banyak kawan dan saudara di sana."

Ruslan dan Tita menatap ibunya. Dengan mata berkaca-kaca sang ibu megangguk luruh kepada dua anaknya. "Ibu menghubungi Kang Aceng lagi agar membawa kalian ke pondok. Agar ada yang membimbing kalian belajar dan mengaji. Berangkatlah, Nak. Kalau kalian jadi anak yang baik dan pandai, Bapak kalian pasti senang."

Ruslan dan Tita menunduk, ada keraguan di kedua mata mereka. Namun saat sebuah perahu layar lewat berlayar, tiba-tiba Ruslan menghadap ke hadapan Kang Aceng.

"Kami akan ikut, Kang! Iya kan, Tita?"

Akhirnya Tita tersenyum,

Peluk haru antar pertemuan dan perpisahan menggemuruh rumah lusuh di tepi pantai. Angin laut menyerbu seakan menyuarakan kepiluan yang sama. Akhirnya, Ruslan dan Tita berangkat ke Kandang Juang, untuk berjuang menuntut ilmu. Sementara ibunya berjuang menuntut nasib. *

֎֎֎