WebNovelVOLDER4.10%

Chapter 17

"Ella, ada apa?"

"Huh?" aku menoleh ke arah Lana. "Apa?"

Ia menatapku dengan kedua mata biru mudanya yang besar, "Kau sedang memikirkan pria itu? Ia pantas mendapatkannya."

Aku mengangguk kecil, "Yeah... kau benar." Tapi bukan itu yang sedang kupikirkan saat ini. Aku sedang memikirkan Mr. Shaw dan apa yang baru saja kami bicarakan. Bagaimana jika memang Ia yang membunuhnya?

"Aku sudah menghubungi kantormu, Christine dan yang lainnya sepertinya akan menjengukmu siang ini."

"Thanks, Lana." Aku tersenyum padanya sambil berusaha mengalihkan pikiranku. "Aku hanya ingin pulang secepatnya."

"Aku juga. Aku kangen mengobrol denganmu tengah malam."

Aku tersenyum lagi padanya, " Aku juga. Ayahmu masih ada di San Fracisco?"

"Ia sudah kembali sejak pukul 7 tadi." Jawabnya dengan cepat, Lana tidak terlalu suka membicarakan tentang ayahnya atau keluarganya. "Ella? Jika... jika kau membutuhkan donor untuk livermu, kau bisa menggunakan milikku."

"Lana...kau tidak perlu melakukannya." Jawabku, aku merasa tersentuh dengan tawarannya. Tapi aku tidak akan menerima tawarannya. "Masih banyak donor lain, itupun jika memang aku benar-benar membutuhkannya."

Lana membalas senyumanku, "Aku serius. Jika kau membutuhkannya, kau bisa menggunakan milikku."

"Lana—"

"Aku yang menginginkannya, Ella. Kau harus berjanji jika kau membutuhkannya, aku adalah donor pertamamu, okay?" Ada sedikit ekspresi kesedihan di wajahnya. Instingku semakin mengatakan ada banyak hal yang Lana sembunyikan dariku. Tapi aku tahu aku tidak bisa memaksanya bercerita padaku, Lana akan memberitahuku saat Ia ingin memberitahuku.

"Okay." Jawabku, walaupun di dalam hatiku aku tahu aku tidak akan melakukan apa yang dimintanya.

Ia kembali tersenyum lagi, "Jadi... apa saja yang Nicholas Shaw bicarakan denganmu?" Ia menaikkan kedua alis matanya ke atas, menggodaku.

"Ia hanya menanyakan kabarku." Balasku dengan sedikit malu.

"Oh ya? Ia datang langsung dari Manhattan hanya untuk menanyakan kabarmu?" Lana tertawa kecil lalu melanjutkannya, "Apa Ia juga yang membayar biaya perawatanmu?"

Senyumku menghilang dengan cepat, "Apa?"

Lana berhenti tertawa saat melihat wajahku, "Aku mengunjungi bagian administrasi rumah sakit sebelum datang ke kamarmu, tapi saat aku akan melakukan administrasi untukmu mereka bilang semuanya sudah dibayar. Jadi kupikir..."

"Oh..." Ia juga membayar biaya perawatanku? Aku berusaha menjumlahkan total semua uang yang Ia keluarkan untuk membayar hutangku dan biaya rumah sakit. Jumlahnya sama sekali tidak sedikit.

"Ia tidak memberitahumu, ya?" tanya Lana dengan mengerutkan alisnya.

Aku hanya menggeleng untuk menjawabnya.

"Mungkin Ia lupa memberitahumu." Tambahnya dengan pelan. Obrolan kami terpotong saat dokter yang menanganiku masuk ke dalam ruanganku bersama Mr. Shaw dan seorang suster.

"Miss Heather." Sapanya, "Kau merasa lebih baik pagi ini?" tanyanya sambil mengecek bola mataku dan nadiku. "Apa kau merasa kesulitan bernafas?" tambahnya. Alat bantuan pernafasanku sudah dilepas sejak pagi ini.

Aku menggeleng. "Aku merasa baik-baik saja."

Ia hanya mengangguk lalu memeriksa mesin yang tersambung ke tubuhku, sama seperti suster yang tadi, Ia juga mengerutkan keningnya saat melihatnya.

Mr. Shaw berdiri bersama Lana di pinggir ruangan, mereka sedang mengobrol dengan suara rendah agar tidak mengganggu.

"Aku harus melakukan USG sekarang, jika kau tidak keberatan." kata dokterku tiba-tiba.

"Tentu saja." Balasku. "Apa—apa keadaanku memburuk?"

Ia tersenyum kecil walaupun kerutan di keningnya belum memudar, "Tidak. Justru sebaliknya."

***

Dua jam kemudian aku sudah dipindahkan ke ruangan reguler. Hasil tes darah dan USGku sudah keluar dan dokter mengatakan aku tidak memerlukan operasi, Ia sedikit terlihat bingung saat membaca hasil tesku.

"Mungkin semalam rekanku salah mendiagnosa." Gumamnya dengan suara pelan padaku, "Tapi hasil tesmu barusan menunjukkan kau baik-baik saja, Miss Heather. Kurasa sehari lagi kau bisa pulang."

"Okay, baguslah." Balasku dengan senyuman. Kami hanya berdua di ruangan ini, Lana dan Mr. Shaw masih berada di luar.

"Well, kuharap kau bisa kembali pulang secepatnya, Miss Heather. Tunanganmu sepertinya benar-benar mengkhawatirkanmu." Katanya sambil tersenyum lalu dokter itu memandangku lagi dengan pandangan aneh selama sedetik lalu menggeleng pada dirinya sendiri. "Mungkin hanya kebetulan." Gumamnya pada dirinya sendiri sebelum keluar dari ruangan baruku.

Lana masuk setelah Ia keluar, "Nicholas Shaw sedang berbicara dengan doktermu." Katanya saat Ia mendekat ke tempat tidurku, mereka sudah melepas semua selang dan kabel yang sebelumnya menempel ke tubuhku, hanya menyisakan selang IV saja. "Apa yang dikatakan dokter barusan?"

"Ia bilang aku sudah boleh pulang besok."

Sebuah senyuman menghiasi wajah berbinarnya setelah mendengar jawabanku, "Aku akan menjemputmu besok pagi, kau ingin aku memasak sesuatu untukmu?"

Kurasakan dahiku yang mengernyit tanpa kusadari. Aku memang tidak terlalu bisa memasak, tapi Lana lebih parah dariku. Terakhir Ia memasak casserole, alarm kebakaran seluruh apartemen berbunyi dan membuat panik seluruh tetangga kami. "Tidak, tidak perlu. Kita bisa mengorder pizza dan menonton film seharian."

"Okay." Ia melihat jam di dinding ruanganku sekilas lalu memandang ke arah pintu. "Aku mengobrol dengannya tadi... Ella, sepertinya Ia benar-benar menyukaimu." Ia berbicara dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya.

"Ia hanya mengunjungiku."

"Nicholas Shaw adalah orang yang sibuk, Ella." Lana memandangku dengan ekspresi seriusnya, "Tapi Ia langsung datang saat mendengarmu masuk ke rumah sakit."

"Itu karena kami sedang mengobrol di telepon saat pria itu menyerangku." Gumamku. "Ia mendengar teriakanku."

Lana terlihat sedikit terkejut saat mendengar jawabanku, tapi hanya sebentar. "Ella, orang-orang seperti Nicholas Shaw tidak akan membuang-buang waktu mereka hanya untuk menjenguk mantan karyawannya, kau pikir untuk apa Ia datang ke San Francisco dengan penampilan seperti itu? Aku berani bertaruh Ia belum mengganti pakaiannya sama sekali sejak tiba disini. Ia menyukaimu."

"Lana, aku tidak bisa—"

"Whoa. Tunggu dulu, kau akan menolaknya? Nicholas Shaw?" Ia memandangku seakan-akan aku sudah gila. Jika saja Lana tahu siapa Nicholas sebenarnya... mungkin saat ini Ia sudah menyeretku pergi dari tempat ini. Tapi Lana tidak tahu.

"Ia... Ia berbeda dariku, okay? Dunia kami berbeda."

Lana menghela nafasnya sambil cemberut, "Aku tahu kau akan menggunakan alasan itu." Gumamnya. "Tapi setidaknya, beri Ia kesempatan."

Kalimat terakhir Lana terngiang di dalam kepalaku hingga Ia pulang ke apartemen. Mr. Shaw belum mengunjungiku sejak tadi, mungkin Ia sudah pergi untuk beristirahat. Sepertinya Ia belum tidur sejak kemarin malam. Lagipula saat ini aku juga membutuhkan waktu sendirian untuk berpikir.

Apa yang harus kulakukan? Mr. Shaw terlihat serius saat mengatakan Ia menyukaiku, dan kami sudah berciuman beberapa kali. Pipiku terasa memanas saat aku mengingat ciuman kami.

Aku kembali mengingat saat kami pertama kali bertemu, Ia menolongku saat sebuah mobil hampir menabrakku. Saat itu aku terlalu sibuk menarik heel sepatuku yang tersangkut di drainase hingga aku tidak menyadari kedatangannya. Ia selalu ada untuk menolongku bahkan sejak kami pertama kali bertemu.

Rasa kantuk membuatku tertidur, tapi suara pintu yang terbuka membuatku terbangun lagi. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur tapi jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Mr. Shaw berhenti saat melihatku terbangun, "Apa aku membangunkanmu?" Ia menutup pintu di belakangnya dengan pelan.

Aku menggeleng padanya, "Kau masih ada disini."

"Tentu saja aku masih disini." Jawabnya sambil duduk di sofa, Ia mengeluarkan handphonenya sebentar lalu memasukkannya lagi. Pakaiannya masih sama dengan yang semalam. "Aku harus mengurus sedikit pekerjaan tadi. Dokter sudah memberitahuku kau boleh pulang besok."

"Ia terlihat terkejut dengan hasil tesku."

"Tentu saja." Gumamnya pada dirinya sendiri.

Tentu saja? "Apa maksudmu?"

"Tidak apa-apa."

"Mr. Shaw apa maksudmu dengan 'tentu saja'?" desakku dengan perasaan tidak enak.

Ia menarik kedua sudut mulutnya ke bawah, "Nicholas."

Kuhela nafasku lalu mengunci pandangannya, "Nicholas..."

Kedua mata biru tuanya yang biasanya dingin berubah lebih lembut saat memandangku, "Katakan lagi."

Pandangannya sekarang membuatku lebih gugup, aku berusaha mengalihkan tatapanku dari pandangannya yang intens tapi aku tidak bisa, "Nicholas." bisikku.

Ia menarik salah satu sudut mulutnya ke atas beberapa milimeter, membentuk sebuah senyuman samar. Ia benar-benar terlihat sangat tampan walaupun penampilannya berantakan, Mr. Shaw berdiri dari sofa lalu berjalan mendekatiku. "Aku hanya ingin menolongmu."

Nada suaranya kembali membuat perasaanku menjadi tidak enak, "Apa... apa yang kau lakukan?"

"Aku memberikanmu darahku." Tidak ada ekspresi di wajahnya saat Ia mengatakannya. Tanganku bergerak secara insting untuk menyentuh leherku, tempat Greg dulu menggigitku.

"Aku tidak menyentuhmu, Eleanor." Suaranya berubah lebih dalam, "Aku menyalurkannya lewat IV mu semalam."

Jawabannya membuatku mendongak menatap botol IV dan selangnya yang menancap di tangan kiriku. Cairan beningnya masih penuh, tidak ada bekas darah sedikitpun.

"Mereka sudah menggantinya pagi ini." Tambahnya seakan-seakan Ia bisa membaca pikiranku.

Ia memberikan darahnya untukku? Darahnya mengalir di dalam tubuhku saat ini, rasa panik sesaat membuat kepalaku pening. Bagaimana jika...

"Eleanor—"

"Apa aku akan berubah sepertimu?" tanyaku dengan suara tercekat.

Ia menatapku sejenak sebelum menunduk ke arah tanganku. Tanpa kusadari tangan kananku sedang menggenggam tangannya dengan erat. Ia tidak melepaskan tanganku, tapi pandangannya sedikit berubah saat menatapku lagi. "Kau tidak ingin menjadi sepertiku?" tanyanya dengan pelan.

Aku membalas tatapannya dengan pandangan panik, "Mungkin ini belum terlambat, bagaimana cara mengeluarkannya?" Aku tidak ingin menjadi monster.

"Eleanor—"

"Mungkin kita masih sempat mengeluarkannya dengan transfusi darah."

"Eleanor."

Suaranya membuatku tersentak dari rasa panikku.

"Kau tidak akan berubah. Darahku hanya menyembuhkanmu. Volder memiliki metabolisme yang jauh lebih cepat dari manusia, kami tidak memiliki golongan darah jadi darah kami bisa bersatu dengan darah manusia dengan mudah."

Aku hanya bisa mendengar kalimat pertamanya. Seluruh perhatianku hanya tertuju pada satu hal; ekspresi di wajahnya yang saat ini terlihat terluka, walaupun Ia berusaha menutupinya dengan wajah netralnya tapi aku masih bisa melihatnya di dalam kedua matanya.

Apa kata-kataku melukainya? Ini adalah pertama kalinya aku melihatnya seperti ini. Ia berhenti berbicara saat melihat perubahan ekspresi wajahku, kami hanya berpandangan selama beberapa saat.

"Aku—aku tidak bermaksud—"

"Aku mengerti." Potongnya sebelum aku selesai menjelaskan. Tapi aku meragukannya, perasaan bersalahku membuat atmosfir diantara kami menjadi canggung. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. "Aku tahu kau masih menganggapku..." Ia menghentikan kalimatnya dengan tiba-tiba.

"Apa kau membunuhnya?" bisikku setelah keheningan yang cukup lama. Aku tidak perlu menjelaskan siapa yang kumaksud. Ia pasti sudah mengetahui apa maksudku, tubuhnya menegang ketika mendengar pertanyaanku. Mr. Shaw tidak memandangku, tapi sesuatu berubah di matanya.

Jauh di dalam hatiku aku sudah tahu jawabannya.

"Kau menghapus ingatan petugasnya..." Nicholas tidak akan bisa masuk dengan mudah ke ruang perawatan pria yang menyerangku, beberapa petugas pasti menjaga kamarnya. Dan satu-satunya cara untuk melakukannya tanpa diketahui adalah dengan menghapus pikiran para petugas itu. Aku ingat betapa mudah Ia melakukannya pada Lana beberapa minggu yang lalu.

Mr. Shaw tidak menjawabku. Tapi aku tidak memerlukan jawaban karena aku tahu semua yang kukatakan adalah benar. "Aku masih memiliki beberapa pertanyaan."

Ia mengangguk kecil sambil memandangku dengan sedikit ekspresi khawatir.

"Jika kalian tidak memburu manusia lagi... lalu bagaimana kalian bisa bertahan hidup?"

"Bank darah, kami memiliki koneksi yang bekerja di sana. Mereka menyuplai darah manusia setiap beberapa minggu."

Bulu halus di seluruh tubuhku sedikit meremang saat aku mendengar jawabannya. Ekspresi di wajahnya terlihat semakin dingin walaupun sepertinya Ia berusaha menyembunyikannya.

"Kami mencampurnya dengan Wine untuk menyamarkannya." Tambahnya dengan suara yang sedikit gusar. Aku teringat botol Wine kristal yang ada di rumahnya saat itu, warnanya memang lebih gelap dari warna Wine biasanya. Perutku sedikit mual saat memikirkannya.

"Jadi kalian tidak memburu manusia lagi." Ulangku pada diriku sendiri. Ia tidak berbahaya.

Tentu saja, bodoh, Ia sudah menolongmu beberapa kali, pikirku dengan rasa marah pada diriku sendiri.

"Tapi kami masih memiliki insting untuk memburu manusia." Kalimatnya membuatku mengedipkan mataku. "Kadang aku merindukan saat-saat mangsaku berlari, aku merindukan suara debaran jantung mereka yang terdengar dari jarak jauh, aroma putus asa yang tercium jelas. Kau tahu, rasa putus asa dan takut membuat kami semakin lapar. Aku merindukan saat mereka menatap ke arahku dengan sepasang mata yang membesar ketakutan dan tidak berdaya..." Ia memandang tepat ke kedua mataku saat mengatakannya.

Beberapa detik kemudian aku baru menyadari Ia sengaja membuatku takut. Dan sepertinya berhasil. Pandangannya bergerak turun ke arah kedua tanganku yang berada di atas selimut. Tanganku sedikit gemetar.

"...Greg dan Alice benar." Gumamnya sambil mengalihkan pandangannya.

"Apa?" perasaan tidak enak perlahan menjalariku.

Ia menoleh ke arahku lagi, sebuah senyuman aneh menghiasi wajahnya. "Mereka benar." Ulangnya, "Aku terlalu memaksakan egoku selama ini."

Aku masih tidak mengerti apa yang sedang dibicarakannya.

"Seharusnya aku tahu..." lanjutnya. Ia terlihat berbeda dengan Nicholas Shaw yang pertama kali kutemui, aku tidak tahu berapa topeng yang Ia pakai untuk menyembunyikan jati dirinya. Seakan-akan setiap kali aku bertemu dengannya Ia memakai topeng yang berbeda. Nicholas Shaw yang berdiri di dekatku saat ini bukan orang yang sama dengan yang pertama kali kutemui.

Tentu saja Ia berbeda, bodoh. Karena kau sudah tahu Ia adalah mons— Kuhentikan pikiranku saat itu juga. Ia belum pernah menyakitiku selama ini. Mungkin... mungkin Lana benar, aku harus memberinya kesempatan.

"Mungkin kau benar. Kita harus menghentikannya disini, Eleanor." Kalimatnya keluar begitu saja, tidak ada ekspresi berarti di wajahnya walaupun kedua matanya berkata lain.

Aku menatapnya selama beberapa saat sebelum menggeleng, "Apa yang sedang kau bicarakan?"

"Sebaiknya kita mengakhirinya sekarang." Suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tidak ingin melihat rasa takutmu lagi setiap kau memandangku..." Ia mengalihkan pandangannya dariku ke jendela lalu Ia tersenyum lagi, senyuman anehnya yang beberapa saat lalu muncul. "Aku tidak ingin melihatnya lagi."

Aku belum mengalihkan pandanganku darinya sejak tadi. Aku bahkan belum berkedip. Kedua mataku mulai terasa panas, sebagian karena aku merasa marah.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi." Ia masih belum memandangku. Apa yang dikatakannya semalam kini tidak berarti lagi untukku. Ekspresi di wajahnya saat Ia masuk ke ruang ICU pertama kali... juga tidak berarti lagi bagiku. Ia sama saja dengan keluarga asuhku yang membuangku dengan mudahnya, pada akhirnya aku sendiri lagi. Dan aku tidak akan memohon padanya untuk tetap tinggal. Ia sudah memutuskannya sebelum Ia mendatangiku, jadi untuk apa aku berusaha membuatnya tinggal? Mungkin Ia menyesali apa yang Ia lakukan untukku selama ini.

"Jadi aku sendiri lagi, huh." Gumamku dengan suara yang kupaksakan datar. Aku belum berkedip sejak tadi, karena aku tahu jika aku berkedip air mataku akan jatuh. "Well..." gumamku dengan suara sedikit bergetar, "Terimakasih untuk semuanya, Mr. Shaw. Aku akan membayar seluruh hutangku padamu secepatnya. Terimakasih untuk—terimakasih untuk..."

Untuk apa lagi? Untuk makan malam waktu itu? Untuk ciumannya? Untuk rasa pedulinya padaku? Untuk seluruh bantuannya? Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku lagi. Kugigit bagian dalam pipiku untuk mencegah air mataku jatuh. Rasa sakit di dadaku saat ini lebih buruk daripada luka-lukaku. Karena aku tahu seluruh lukaku akan sembuh pada akhirnya, tapi hatiku tidak. Aku harus menyusun kepingannya lagi sedikit demi sedikit. Nicholas Shaw melemparkan senyum sedihnya untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu kamarku.

"T—tunggu." Kata itu keluar dari mulutku tanpa bisa kucegah. Ia berhenti tepat di depan pintu dan membeku, perlahan Ia membalikkan badannya padaku dan aku bisa melihat seluruh emosi di dalam matanya. Tidak ada topeng yang melindunginya lagi.

"Paling tidak bantu aku menghapus pikiranku." Satu tetes air mata yang berusaha kubendung sejak tadi jatuh di pipiku. "Kumohon."

Ia berjalan mendekati tempat tidurku lalu menatap dalam ke kedua mataku, salah satu tangannya menangkup pipiku dengan lembut. Kurasakan ibu jarinya yang bergerak perlahan untuk menghapus air mata kedua yang jatuh. Aku tidak bisa mengalihkan tatapanku dari kedua mata birunya yang akan menghantui sisa hidupku. Kepalanya bergerak semakin mendekati wajahku hingga aku bisa merasakan nafasnya yang hangat di pipiku. Lalu dengan sangat perlahan dan lembut Ia menciumku untuk yang terakhir kalinya.