Mataku yang berat terasa sulit untuk dibuka. Rasanya aku seperti baru saja tidur sangat lama hingga tubuhku terasa pegal.
"Tidak, sudah cukup." sebuah suara pria terdengar dari sebelahku.
Tunggu dulu, aku mengenal suara ini. Dimana aku pernah mendengarnya?
"Terimakasih, Clea." Suara itu kembali berbicara. Kupaksa pikiranku untuk fokus dan mengingatnya. Dimana aku pernah—Kubuka kedua mataku dengan susah payah. Sebuah ruangan berbayang-bayang menyambut mataku. Alastair. Itu suara Alastair.
"Eleanor? Kau sudah sadar?" Ia berbicara lagi dari sebelahku, tapi pandanganku masih sedikit kabur.
"Nick..." gumamku dengan suara tidak jelas.
"Sayang sekali Ia tidak ada disini saat ini."
Kukerjapkan mataku beberapa kali walaupun efeknya membuat kepalaku terasa sakit. Sebuah ruangan berwarna biru muda menyambutku saat pandanganku sudah lebih jelas, aku berada di kamar hotel. Ini hotel yang sama dengan saat aku pertama kali ke Manhattan satu setengah tahun yang lalu, sebelum aku bertemu Nick. Alastair duduk di sebelah tempat tidurku sambil menatapku dengan sedikit khawatir, "Kau merasa lebih baik?" tanyanya.
"Bagaimana—"
"Aku menculikmu." Balasnya tanpa menunggu pertanyaanku.
"Bagaimana—"
"Well, dengan mengalihkan perhatian Shaw bersaudara dan butlernya selama beberapa saat. Aku mendapat bantuan beberapa temanku. Cukup dengan pertanyaanmu, sekarang giliranku. Kudengar kau berusaha menemuiku?" Ia memandangku dengan kedua alis yang terangkat. Wajahnya yang ramah tidak terlihat semenakutkan saat Ia mengubahku malam itu, kali ini Ia terlihat lebih... familiar.
"Eleanor?" panggilnya saat aku belum menjawab. Kedua mata abu-abu gelapnya terlihat kontras dengan wajah ramahnya, mata itu terlihat hampir kosong.
"Aku ingin menghentikanmu." Jawabku pelan. Pandanganku beralih pada selang IV yang baru kusadari menancap di nadi tanganku, tapi isinya bukan cairan infus melainkan darah. Ia mengikuti pandanganku lalu senyumannya memudar dari wajahnya, "Ada apa denganmu?"
Pertanyaan itu bukan pertama kali kudengar.
"Seharusnya kau tahu masa seperti ini sangat rentan, kau tidak boleh stress. Kau dan Shaw tidak boleh stress."
Tunggu dulu. "Apa maksudmu?"
Ia terdiam sejenak sebelum menjawabku, "Kau sedang hamil, bukan?" kedua mata abu-abunya menatapku dengan sedikit simpati.
Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba kering. "Ap—apa?" Aku tidak tahu apa Alastair sedang bercanda denganku, tapi wajahnya terlihat cukup serius. "Apa?" ulangku dengan lebih yakin.
"Aku mencoba sedikit darahmu tadi saat kau tidak sadar juga." Ia berbicara lagi, kerutan di keningnya belum menghilang. "Dan darahmu berubah, Eleanor."
"Tidak. Aku hanya lelah dan belum meminum asupan darah harianku." Gumamku. Lagipula aku hanya melakukannya sekali dengan Nick. Kemarin. Tidak mungkin. Tidak, tidak, tidak mungkin.
"Yah, aku sendiri tidak terlalu yakin. Volder terakhir lahir 90 tahun yang lalu, sangat sulit bagi kami untuk... memiliki anak." Ia mengangkat bahunya, tapi kerutan di keningnya masih membuat perasaanku tidak enak. Ia tersenyum sedikit saat melihat ekspresi wajahku, "Eleanor, memiliki anak tidak akan seburuk itu."
"Aku tidak..." Aku tidak hamil, kan? Sebagian besar diriku tidak ingin mempercayainya tapi ada sebagian kecil dariku yang merasa ragu. "Apa...apa tanda-tandanya?" tanyaku dengan suara serak.
"Janin yang baru tumbuh akan melindungi tubuh Ibunya hingga mereka lahir, salah satunya dengan mengubah darah Ibunya menjadi racun bagi siapapun yang meminumnya. Hanya itu yang kutahu..." Ia mengangkat bahunya lagi, "Karena itu aku sendiri juga tidak yakin. Tapi baumu juga sedikit berubah."
"Apa aku tidak bisa menggunakan alat pendeteksi kehamilan?" seluruh tubuhku terasa lemas.
Ia tersenyum lagi, "Tidak. Cara yang paling sering digunakan adalah mencoba sedikit darah Ibu yang sedang hamil."
Kubenamkan kepalaku di bantal sambil memejamkan mataku. Kepalaku mulai berdentum menyakitkan. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya.
"Hey..."
"Huh?" balasku tanpa membuka mataku, kepalaku seakan bergerak ke segala arah tanpa bisa kucegah memikirkan berbagai macam hal bersamaan.
"Untuk apa kau berusaha menghentikanku, Eleanor?"
Kali ini aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya, "Seharusnya kau tahu. Kau adalah penyebab semua ini." Aku tidak memiliki kekuatan untuk marah lagi. "Aku tidak tahu apalagi yang harus kulakukan, Alastair. Kau menghancurkan segalanya." Kututup wajahku dengan salah satu lenganku.
"Aku tahu." Gumamnya, "Saat aku bertemu Elizabeth kupikir kami memiliki satu kesamaan, sama-sama kehilangan orang yang paling kami butuhkan. Bedanya hanya orang yang dicintai Elizabeth masih hidup, sedangkan milikku tidak."
Kuangkat lenganku untuk menatapnya, Ia memandang ke ujung ruangan dengan pandangan kosong. Pria yang terlihat ramah dan familiar sebelumnya berubah menjadi orang asing, rambutnya yang bergelombang menutupi salah satu matanya membuatku ingin menariknya menjauh. "Karena itu aku membantunya, kematian hanya bonus untukku." Tambahnya dengan senyum dingin.
Kurasa hidup terlalu lama mengajari Volder untuk memiliki banyak topeng, seperti Nick dan Alastair. "Bagaimana dengan kesempatan kedua?" tanyaku dengan sedikit putus asa. "Jangan lakukan ini pada kami. Kau akan membunuh Nick juga."
"Kesempatan kedua?" Ia tersenyum padaku seakan-akan aku baru saja mengatakan lelucon padanya. "Aku sudah menggunakan seluruh kesempatan di dalam hidupku. Sekarang adalah waktuku untuk berhenti, Eleanor." Ia menoleh ke arah jendela yang menghadap ke gedung perkantoran di luar. "Aku yakin Nicholas akan melakukan segala cara agar bisa bertahan hidup. Apalagi setelah Ia tahu Ia akan menjadi ayah."
Nick akan menjadi ayah. Sebagian diriku merasa sangat panik, tapi aku tidak bisa berbohong aku juga merasa bahagia. Bagaimana jika Nick tidak menginginkannya? Tangan kananku bergerak untuk mengusap perutku yang masih rata, apapun yang terjadi aku tidak akan menyingkirkannya. Ini adalah milikku. Insting protektif ini masih terasa baru bagiku membuat diriku sendiri sedikit terkejut.
"Bagaimana cara menghentikan Nick?" Rasanya aneh berbicara sekasual ini dengan Alastair, satu minggu yang lalu aku masih ingin membunuhnya.
"Kurasa tidak akan berhasil. Kau adalah Leechku, Eleanor, itu artinya kau milikku. Volder adalah mahkluk yang posesif, Nicholas Shaw tidak akan pernah menerima hal itu. Satu-satunya cara agar kau menjadi miliknya hanya..."
"Membunuhmu?" Ia hanya tersenyum saat mendengar pertanyaanku, sedikit rasa kesal membuatku melontarkan pertanyaanku yang selanjutnya, "Sebegitunya kau ingin mati?"
Tiba-tiba Ia melirik jam tangannya, "Sebentar lagi waktunya."
"Waktu untuk apa?" tanyaku dengan perasaan tidak enak. Ia tidak mungkin melakukannya, kan?
"Nicholas akan menjemputmu."
Oh, sial, sial, sial. Dengan panik aku berusaha turun dari tempat tidur, tapi aku baru menyadari hal lain yang membuat perutku semakin gugup. Kutarik selang infus berisi darah dari lenganku lalu mengendusnya sekilas. "Ini... darahmu?"
Seluruh darah dari wajahku terasa menguap saat Alastair mengangguk kecil. Aku tidak tahu apa yang akan Nick lakukan jika Ia mencium darah Alastair dariku. "Kau membutuhkannya, darahku membuatmu lebih cepat pulih." Jawabnya dengan nada santai. Ia tidak terlihat seperti seseorang yang akan bunuh diri.
"Kau harus pergi!" Aku baru menyadari rencana menculiknya bukan untuk berbicara padaku, tapi agar bunuh dirinya bisa lebih cepat terlaksana. "Alastair, kau harus pergi." Suaraku mulai bergetar karena rasa panikku. Hal pertama yang kulakukan adalah mengunci pintu kamar hotel ini, walaupun aku tahu hal itu sia-sia.
Alastair hanya mengamatiku dari tempat duduknya. "Kau tidak akan pergi walaupun aku memohon padamu, kan?" tanyaku dengan putus asa, saat ini aku berdiri di tengah kamar hotel ini. Apa yang harus kulakukan? Jantungku berdebar lebih cepat, instingku mengatakan Nick berada tidak jauh dari sini. Kurasakan mataku terasa panas karena ketidakberdayaanku, aku tidak bisa mencegah ini terjadi. Jika klannya nanti menyerang Nick, jika Nick mati... semua itu adalah salahku.
"Eleanor..." Ia memanggil namaku saat air mata pertamaku jatuh. "Maafkan aku." Untuk pertama kalinya Alastair terlihat bersungguh-sungguh. "Maafkan aku untuk semuanya."
Aku hanya bisa membalasnya dengan tatapanku yang mulai kabur karena air mata. Lalu pintu di dekatku terbuka dengan bantingan keras.