Hembusan angin memainkan helaian rambut wanita yang sedang asik membaca buku di bawah pohon yang ada di hadapan gue, dengan jari lentiknya yang cantik menyibak helaian rambut itu ke selah bagian pendengarannya.
Hati dan tubuh ini berdebar ketika ingin mencoba mendekatinya, kaki gue serasa kaku tak ingin bergerak. Seperti ada penahan yang sangat berat menghimpit kedua kaki ini.
"Udah sana jangan lama-lama, dari pada dia pergi dan kesempatan ini sia-sia." Budi mendorong gue dari belakang sampai menuju wanita itu.
Pandangan Melea langsung terarah kepada gue dan Budi yang sibuk mendorong tubuh gue dari belakang. Dia menghentikan acara membacanya, seraya berkata, "Ada apa ya?"
"A-a-anu, gu-gu-gue ...."
"Kenapa?" tanya dia dengan wajah penasarannya, namun itu sangat imut di pandangan gue.
"Bo-bo-boleh ke-ke-kenalan ga-gak," kata gue terbata-bata.
"Lu ngapa jadi gagap, Lan?" tanya Budi heran.
Wanita yang berada tepat di depan gue itu tersenyum geli melihat kelakuan gue yang seperti salah tingkah, ya mau bagaimana mana lagi, gue memang begitu sejak dari lahir.
"Melea Sukmawati." Dia menyodorkan tangan halusnya kepada gue.
Tangan gue gemeteran ketika ingin menyambut tangannya. "Gu-gue Dolan Wijaksono."
"Salam kenal, Dolan," ucapnya tersenyum manis.
"Salam ke-kenal juga."
Tanpa sepengetahuan gue, dari belakang Budi langsung menepuk punggung gue dengan kuat.
"Adedede, apa-apaan sih lu, Bud?!"
"Biar gagap lu hilang, dah kalian lanjutkan acara kenalannya. Gue mau ke kantin dulu."
Setelah kepergian dia, gue berkata kepada Melea, "Boleh duduk gak?"
"Oh silahkan," ucapnya.
"Kamu lagi baca apa, Mel?"
"Ini buku sajak dan puisi."
"Kamu suka ya dengan kata-kata diksi yang terkadang berbalut sastra?" tanya gue.
"Iya, kok kamu tahu sih?"
"Soalnya gue juga suka."
Sebenarnya yang gue bilang ini hanyalah kebohongan belaka, agar jadi bahan topik aja untuk ngobrol. Kalau misalkan mentok mau bahas apa, paling gue bakalan nanya tentang apakah dia suka ngemil cicak.
"Wah gak nyangka ada cowok yang suka hal beginian juga." Wajah Melea seketika ceria mengetahui ada cowok yang satu hobi dengannya.
"Dunia ini seperti daun kelor, Mel. Jika ada satu hobi, pastilah akan ada yang menyukai," ucap gue sok bijak.
"Keren kata-katanya. Hmm kamu suka baca buku karya siapa?"
Mampus gue, mau jawab apa? Sedangkan gue aja gak tau apa-apa tentang itu.
Lama gue berpikir untuk menjawab pertanyaan yang mudah menurut sebagian orang, namun susah bagi gue. Ya jelas susah lah, wong gue gak ngerti apa-apa dengan itu semua.
"Kamu kenapa bengong?" Dia melambaikan tangannya di depan wajahku.
Untungnya pandangan gue tertuju ke nama penulis yang ada di buku itu
'Khalil Gibran.' kata gue dalam hati.
"Khalil Gibran, ya Khalil Gibran. Gue suka kata-kata dari dia."
"Wah sama berarti kita." wajahnya tersenyum indah.
Baru kali ini gue melihat dia secara dekat, bola matanya yang indah, senyumannya yang mempesona, bahkan gue baru tahu kalau dia punya bintik hitam kecil di pipinya. Itu loh yang kata kebanyakan orang itu 'feses lalat'.
"I-iya."
Kringg!!
"Eh waktu istirahat sudah selesai, gua pamit masuk ke kelas dulu ya."
Sebelum dia mau pergi dari hadapan, gue langsung meminta nomor handphonenya.
"Tunggu-tunggu!" seru gue.
Dia berbalik dan bertanya, "Ada apa?"
"Boleh gak gue minta nomor handphone lu."
"Oh ya udah mana sini handphone lu, biar gue masukin."
Tanpa menunggu lama-lama seperti menunggu wanita yang lagi dandan, gue langsung menyerahkan handphone itu kepadanya.
"Nih, terserah lu mau buat apa nama dari kontak gue," katanya.
"Kalau sayang bagaimana?" tanya gue bercanda.
"Gombal, udah ya gue duluan." Dia melambaikan tangannya seraya pergi menuju kelasnya.
Akhirnya sekian lama gue menanti mendapatkan nomor dia, sekarang sudah tersimpan di kontak handphone gue. Hati gue langsung berdebar-debar seperti genderang maut perang.
...
Setelah jam pelajar telah selesai, siswa-siswi berbondong-bondong keluar dari kelasnya, seperti ayam ketika keluar dari kandang, dan itu termasuk gue sendiri.
Gue melihat wanita yang tadi ngobrol dengan gue sedang berjalan sendirian menuju gerbang sekolah.
Dengan cepat gue menghampiri dia dengan mengendarai motor antik ini.
"Melea, Ya?" tanya gue.
Dia berhenti dan menoleh kepada gue.
"Kalau iya kenapa, kalau enggak kenapa?"
"Kalau iya mau tanya, kalau enggak ya mau tanya juga," kata gue.
Dia tertawa mendengar ucapan gue yang seperti memaksa untuk bertanya. "Ada apa emangnya, Lan?"
"Tuh kan bener, Melea. Kamu pulang sama siapa?"
"Hmm sendirian."
"Jalan kaki?" tanya gue.
Dia mengangguk dengan senyuman seperti di paksa.
"Pulang sama aku aja." Gue mencoba menawarkan tumpangan kepadanya, moga aja di terima, kalau gak di terima, ya paksa aja sampai dia mau.
"Tapi apa gak ngerepotin?"
"Ya enggak lah, demi kamu apa sih yang enggak. Lautan penuh bara api aja akan gue lewati."
"Emang bisa?"
"Ya bisa lah, kan cuma di lewati bukan menyebrangi."
"Bisa aja kamu, Lan."
"Ya udah yok naik, gue antar pulang."
Apa? Kalian berharap adegan gue sama Melea tadi seperti adegan di film Dilan 1990 yang terkenal itu, ya enggak lah. Kalau sama nanti di kira plagiat, dan cerita gue bakalan hangus kena serbu netijen, eh salah maksudnya netizen bar-bar. Hantu aja di bully apalagi gue yang begini.
Perjalanan pulang kali ini sangat berbeda dari waktu-waktu sebelumnya, yang dulu hanya sendirian, sekarang berboncengan. Apalagi gue berboncengan dengan sosok wanita yang selama ini gue dambakan dari bayang-bayang harapan.
Hembusan angin dengan cuaca yang cerah namun tak panas, seakan-akan langit dan bumi mengetahui bahwa ada insan manusia yang sedang di mabuk cinta. Kalau ada bencana itu berarti langit dan bumi murka karena ada manusia yang berbuat dosa.
"Rumah lu di mananya, Melea?" tanya gue dalam perjalanan.
"Lurus aja dari jalan ini, nanti belok kiri, terus kanan, terus kiri lagi, lalu belok kanan, nah di depan rumah dengan pagar hijau itu ada lorong. Nanti baru ketemu rumah gue di sana."
"Buset dah, berarti selama ini lu jalan kaki sejauh itu?" tanya gue heran.
"Enggak sih, sekali-sekali aja."
"Loh kok gitu?"
"Biasanya di jemput sama bapak, tapi karena sekarang lagi sibuk, jadinya pulang sendiri deh."
"Oh gitu, eh aku boleh nanya sesuatu gak?"
"Apa?"
"Apa gak ada yang marah ni kalau lu pulang sama gue." Gue keluarin jurus jitu cowok-cowok ketika mencoba mendekati seorang wanita pertama kali, mau tahu alasannya kenapa semua cowok begitu ketika baru kenal. Simple kok alasannya, karena kami tidak mau terlalu malu ketika mengetahui kalau wanita yang di dekati sudah punya pacar.
"Hmm emang kenapa coba?"
"Ya, takut aja gitu. Nanti pas di pertengahan jalan ada yang menghadang pula, dan marah-marah."
"Gak akan kok, karena gue masih jomblo."
'Alhamdulillah gusti, dia masih jomblo," kata gue dalam hati.
"Kalau gitu, boleh gak ...?"
"Boleh apa?"
"Daftar jadi pacar lu."
Seketika suasana langsung menjadi hening, ada perasaan canggung ketika pertanyaan itu gue lontarkan kepadanya. Dia hanya terus diam sampai rumah.
"Kamu kenapa diam, Melea?" tanya gue memecahkan suasana canggung itu ketika sudah sampai di depan rumahnya.
"Marah ya?"
"Terima kasih telah memberikan gue tumpangan," ucapnya seraya meninggalkan gue yang masih termenung.
Entah mengapa gue seakan-akan tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan dia yang pergi meninggalkan gue.
Sebelum dia membuka pintu rumah, dia berhenti dan melihat gue. "Nanti malam akan gue jawab!" teriak dia dari kejauhan.