BAB 26. BABAK BARU(4)

Sudah lebih dari satu Minggu aku menghindar dari keluargaku dan Pipit.

Terus terang aku belum siap untuk berhadapan lagi dengan mereka.

Terutama dengan Pipit.

Keputusanku untuk menyudahi hubungan kami yang kuyakini adalah yang terbaik untuk kami, tetap saja meninggalkan rasa sakit yang mendalam untukku.

Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta.

Berkhayal indah tentang suatu hubungan.Dan baru sesaat aku menikmati manisnya cinta, indahnya asmara kini aku harus menelan pil pahit karena patah hati.

Pipit memang tidak menolak ku.

Dia sudah menyerahkan tubuhnya untukku. Aku merasa tersanjung karena akulah orang pertama yang menyentuhnya.

Namun disisi lain akupun merasa sakit manakala aku menyadari bahwa aku bukan orang yang dicintai oleh Pipit.

Aku tahu Pipit tidak bisa menolak ku karena ikatan yang terlanjur ada di antara kita.Juga mungkin dia merasa berhutang Budi kepada keluargaku.

Membayangkan Pipit berjalan bersama laki-laki lain, membayangkan Pipit yang tersenyum bahagia dengan pria lain.Membuat dadaku semakin sesak.

Biarlah untuk sesaat aku disini.

Aku butuh waktu untuk kembali menata hati yang sudah hancur.

Mungkin aku harus berbesar hati melepaskan Pipit berbahagia dengan laki-laki lain.

"Terbang lah burung Pipit ku,kepakan sayapmu, Raihlah bahagiamu karena kau layak dapatkan itu".

TOK....

TOK.....

TOK.....

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku.

Kualihkan pandanganku ke arah pintu.

"Siapa??"

"Bukalah pintunya.....Apa kau akan terus mengurung dirimu seperti anak perawan yang lagi patah hati....."

terdengar suara ibu dibalik pintu.

Dengan gontai kulangkahkan kakiku menuju pintu.

"cklek..."

Tampak ibuku yang sedang berdiri di depan pintu kamar sambil tersenyum lembut ditangannya ada dua tas kresek besar berwarna kuning.

"Boleh ibu masuk?"

Tanya ibu sambil melangkah masuk tanpa menunggu jawabanku.

Aku kembali menutup pintu dan mengikuti ibu dari belakang.

Ibu berjalan menuju dapur.

Aku hanya menatapnya sambil duduk di meja makan yang memang menyatu dengan dapur.

Ibu tampak sibuk memasukkan barang bawaannya kedalam kulkas dan kemudian membuat dua cangkir kopi dan membawanya ke tempat aku duduk.Dia meletakkan kopi dan sepiring kue yang mungkin dia beli saat menuju ke tempatku.

Untuk sesaat kami sama terdiam.

Ibu menatap tajam kearah ku.

"Apa kau sungguh-sungguh ingin melepaskan Pipit?."tanya ibu dengan tatapan masih belum berubah.

Dia berusaha mencari kejujuran dalam diriku lewat tatapan penuh selidik.

Ku anggukan kepala perlahan sambil mengaduk kopi yang disuguhkan ibu.

Ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul di hatiku.

Aku menarik nafas dalam-dalam demi menetralisir perasaanku.

"Apa kau benar-benar tidak punya perasaan sedikit pun terhadap Pipit?."

Tubuhku gemetar, aku sedikit gugup dengan pertanyaan ibu yang seperti ingin menelanjangi ku.

Sesaat aku menyesap kopi untuk meredakan rasa gugup yang tiba-tiba muncul.

"Kenapa ibu tanyakan itu...."

"Karena ibu tidak ingin kamu menyesal dengan tindakanmu....."

Hening.....

"Pipit memutuskan untuk berhenti kuliah dan kembali ke rumah lamanya."ujar ibu setelah beberapa saat kami saling terdiam.

Aku menatap ke arah ibu untuk mencari kebenaran dari kata-katanya.

"Kenapa....?"

"Dia bilang tidak ada lagi alasan dia untuk tetap tinggal bersama kita."

"Ibu dan ayah sudah berusaha mencegahnya....."

"Tapi Pipit tetap teguh dengan keputusannya."

"Ibu tidak bisa menahan karena memang tidak ada alasan untuk membuat dia tetap berada bersama kita". suara ibu terdengar serak.

Matanya mulai berkaca-kaca

"Maaf..."ucapku lirih