Banyak orang yang menyukai pagi, bersemangat memulai hari. Apalagi hari ini adalah hari terakhir di tahun ini. Tapi bagi selin, pagi sama dengan mimpi buruk mematut diri di depan cermin, mengucir rambut, lalu melepasnya lagi.
"Linn, lama amat, sih!" seruan Ares terdengar dari ambang pintu. Cowok tinggi itu berdecak melihat kembarannya masih belum siap dengan rambut berantakan.
"Bad hair day, nih! Maklumin, dong!"
"Bad hair day lo itu setiap hari. Udah gue bilang, dikucir aja, sih!" Ares berdiri di belakang selin, lantas meraih sisir dari atas meja. Dengan cekatan, ia menyisir rambut panjang Iris, lalu mengikatnya.
"Nah, gini kek, biar muka lo nggak ketutupan rambut terus."
Selin memperhatikan pantulan dirinya pada stand mirror di hadapannya, lalu menggelengkan kepala.
"Pipi gue jadi kelihatan tembemnya, Res! Nanti gue dibilang galon berjalan lagi!" selin mendengkus sebal, tapi Ares menahan tangan cewek itu yang ingin melepas ikatannya.
"Siapa yang berani bilang lo galon, sih? Si personel smash itu?" sindir Ares.
Dibanding menyamakan dengan sosok di film legendaris Ada Apa dengan Cinta, Ares lebih sering menganggap Rangga sebagai salah satu member boyband Indonesia.
"Dia sih manggil gue mochi, bukannya galon." selin mencebikkan bibir, masih tidak menyukai penampilannya. "Gue hari ini mau interview buat ekskul model Res, nggak boleh kelihatan jelek."
Ares mendesah, cowok itu membalik tubuh Iris dengan setengal memaksa.
"Look at me." Suara Ares terdengar tegas sekaligus lembut, jenis suara protektif kakak terhadap adiknya.
"Kenapa sih, lo harus peduli sama komentar orang lain? Nggak ada yang salah dari diri lo,Lin."
"Gue terlalu.." jawab selin dengan nada rendah.
"Apa? Terlalu gendut? Kalau ada cewek gemuk yang dengar ocehan lo ini lo bisa langsung diamuk massa. Lo itu nggak ada gendut- gendutnya selin!"
Selin tidak menjawab kalimat Ares. Bukan hanya gendut, selin sadar betul wajahnya serba pas-pasan. Namun, ia tak punya kuasa untuk mengubah bentuk wajahnya. Jadi, satu-satunya usaha yang dapat ia lakukan adalah melangsingkan tubuh.
"Atau jangan-jangan lo di-bully di sekolah? Iya?" Ares menatap selin dengan sorot menyelidik.
Kalau sampai kembarannya benar-benar di- bully maka akan Ares pastikan ia sendiri yang akan turun tangan.
"Nggak kok!" sergah selin cepat.
"Kalau sampe lo di-bully dan si Keriting itu nggak nolongin lo, tewas dia."
Tak ingin berlama-lama membahas masalah ini, selin langsung menyambar tasnya, lantas menggandeng tangan Ares keluar kamar.
"Yuk, jalan, nanti kita telat." selin memamerkan deretan giginya yang rapi. Senyum itu sontak menular ke bibir kembarannya.
"Nah, gitu, dong!" jawab Ares setelah melihat selin terseyum.
Jarak rumah mereka dengan kantor Papa membuat Papa sering kali berangkat selepas subuh dan pulang setelah mereka terlelap. Maka dari itu, segala tanggung jawab rumah dan semua urusan Iris dengan sukarela Ares ambil alih. Dialah yang memastikan semua keperluan adiknya itu terpenuhi.
"Stop! Sini aja," selin menyetop Ares seratus meter sebelum gerbang. Seperti biasa, selin menolak diantar Ares sampai sekolah.
"cihh, kenapa sih nggak pernah mau gue anter sampai gerbang? Berasa kayak anak kecil pacaran backstreet."
Ares mengomel panjang lebar, tapi tetap menuruti keinginan Iris. Ares pernah mencoba untuk nekat menolak keinginan Iris, yang berakhir dengan motor Ares rebah di aspal.
"Males, nanti Katya cerewet lagi," selin menyengir lebar. Ia tentu saja berbohong. Satu-satunya alasan Selin tidak mengajak Ares adalah karena Ares cukup populer di sekolahnya.
Bukan cuma karena wajah yang di atas rata-rata, medali taekwondo yang berjejer di kamar cowok itulah yang lebih banyak berperan dalam melambungnya nama Ares.
Banyak orang yang mengetahui hubungan mereka, tapi lebih banyak lagi yang memercayai hal tersebut sebagai mitos.
Siapa sih, yang bisa terima kalau Ares Pamungkas yang keren abis itu ternyata kembarannya selin, cewek yang sama sekali tidak populer?
Cukup jadi pacar Rangga saja yang membuatnya kehujanan makian. Jangan sampai jadi kembaran Ares juga membuatnya jadi makhluk berdosa.
"Bilang sama bocah keriting itu ya, hari ini nganterin pulangnya jangan kemaleman, atau izin anter dia gue cabut!" Kalimat Ares membuat selin memutar bola matanya. Kenapa juga dunianya harus disesaki dengan cowok posesif?
"Udah ah, bye Ares!" selin berseru seraya berlari menuju gerbang, sebelum Ares mengoceh lagi.
Dari belakang, Ares menarik sudut bibirnya, Cowok itu selin sampai masuk ke dalam gerbang sebelum kembali melajukan motor menunggu menuju gedung sekolahannya sendiri.
Tepat setelah selin masuk ke dalam gerbang sekolah, saat itu juga suasana hatinya berubah.
Cewek itu mengembuskan napas pelan, lahu melepaskan ikat rambutnya. Ia tetap tidak percaya diri dengan bentuk wajahnya.