WebNovelCukup Satu100.00%

Tatapan

Pagi yang indah. Seindah mawar merah saat bersemi. Tapi sayang, hatiku tak seindah pemandangan yang kini kusaksikan. Malah lebih seperti anak ayam yang baru menetas dan sang induk ternyata sudah pergi menjadi kuliner sate ayam. Huh, benar-benar menjengkelkan. Untuk kesekian kalinya aku melihat diriku di cermin, dan mendapati sosok wajah pucat dengan rambut coklat panjang berantakan yang balas menatapku dengan sinar redup. Penampilan itu saja berhasil membuat siapapun yang melihatnya akan menganggap kalau orang itu barusaja mengalami mimpi buruk bertemu banshee atau syok karena ternyata pacarnya sudah punya banyak simpanan.

Oke yang terakhir mungkin agak berlebihan, tapi walaupun aku hiperbolis, kali ini aku tidak mengada-ngada. Pacarku, Fian. Tak disangka aku memergokinya tengah menembak seorang cewek saat mereka sedang di salah satu restoran ternama beberapa waktu lalu. Ini bukan berdasarkan laporan atau gosip beredar. Tapi aku sendiri yang menyaksikannya saat aku dan kak Daniel berada di restoran yang sama.

Awalnya tak yakin, tapi setelah kulihat ciri poni semir merah, suara yang tak begitu asing dan kemeja yang biasa ia pakai, tak perlu kaca pembesar atau mantel tebal dan topi khas gaya sherlock, semua orang bisa menebak kalau itu Fian. Sialnya, kenapa saat itu ia bersama cewek lain? Mereka tertawa mesra lagi.

Sebelum itukan, waktu aku chat dia mau jalan apa nggak, dia bilangnya lagi sakit. Tapi kenapa kenyataan berkata lain.

Terlebih itu belum selesai. Seperti yang kubilang, rasa sakit itu, tidak sampai di situ. Aku melihatnya memberikan setangkai mawar sambil mengucapkan kata yang membuat sosok wanita di hadapannya tersipu.

Oh sial! Andai aku punya keberanian, mungkin aku sudah melabraknya, merenggut mawar itu kemudian merobek-robek lantas melemparnya ke wajah sok tampan itu dengan angkuh kemudian tertawa terbahak-bahak seperti nenek sihir yang barusaja mengutuk manusia menjadi katak. Sayang keberanian itu hanya bisa ku telan mentah-mentah.

"Kamu lihat apa Salwa?"

Untung saja suara itu muncul. Tapi hatiku terlalu hancur untuk menjawab. Kak Daniel mengikuti tatapanku.

"Kamu lihat pasangan itu?" tanyanya kemudian. Entah perasaan itu sukses membuatku bisu.

"Hmm.. Kakak paham, nanti coba kakak carikan orang yang cocok buat kamu. Kamu jangan iri gitu donk. Makananmu dikerubungin semut tuh,"

Paham? Dia kira aku jomblo? Ya kali aku ngelihatin cowok sampai gak ngedip cuma gara-gara aku iri. Aku sakit hati mas. Diselingkuhin!. Dan kenapa juga dia bilang makananku dikerubungi semut di tempat yang bahkan bakteripun sungkan saking kerenya.

Hah, lawakan garingnya malah tambah membuatku makin emosi.

"Kak, pulang aja yuk,"  ujarku padanya.

"Lho, katanya mau beli hp baru. Kok tiba-tiba minta pulang?" pasti dia akan bilang begitu.

"Lain kali aja, aku lupa ada kerjaan sekolah, agak banyak, gak selesai kalau gak diberesin sekarang," alasanku sambil mulai beranjak

"Tadi bilangnya udah beres, emang nambah lagi kerjaannya? Soalnya kakak juga mau beliin sesuatu ni buat doi. Sengaja juga ngajak kamu biar tau apa selera cewek," balasnya.

Ah iya, aku memang bilang begitu padanya. Tapi whatever, pokoknya aku harus cepat sampai di rumah supaya bisa memeluk teddy bear kesayangan kemudian menumpahkan segalanya.

Hari-hari berikutnya, Fian seperti biasa selalu ngechat, menelponku, menjalani hari seolah hubungan kami memang baik-baik saja. Yang berubah hanya sikapku. Aku agak lebih dingin, tak lagi seantusias biasanya. Bahkan aku berhasil membuatnya bertanya apa yang sedang terjadi padaku. Tapi lagi-lagi aku sama sekali tak memiliki keberanian untuk menumpahkan rasa yang kupendam.

Dan inilah aku sekarang. Awal hari yang seharusnya penuh semangat dan energik. Aku malah tak bertenaga sama sekali. Hati memang selalu menjadi keajaiban yang penuh misteri. Sedikit saja hati merasakan sesuatu, maka seluruh tubuh akan merasakan hal yang sama, tapi dalam rasa yang lebih kuat.

Persis yang kurasakan. Kalian harus tau bahwa aku orang yang selalu ceria, tapi keceriaan seolah lenyap hanya sebuah tusukan kecil di hatiku.

Lalu apalagi yang kupikirkan? Ingin segera meninggalkannya? Sayang meski aku sakit, tapi hatiku yang terdalam lebih memilih untuk tetap menyukainya. Aku tahu itu terdengar bodoh. Tapi bukankah cinta itu buta.

Ketukan pintu seketika menghapus proyeksi khayalanku. Aku segera meraih tisu di meja samping kasur lantas mengusap mataku yang sembab. Hah, aku hanya akan menambah beban hati jika aku terus begini.

"Salwa? Kamu tidur lagi? Cepetan mandi baru makan, makanan dah mau siap tuh," suara kak Daniel. Aku tersenyum samar mendengar kalimat perhatian itu. Kalimat yang selalu kuharap keluar dari lisan seorang cowok yang ternyata semua itu tak lebih dari sekedar basa-basi. Tak perlu menunggu perintah kedua, aku pun segera bangkit dan membuka pintu.

"Ayah dah berangkat pagi buta tadi. Jadi sekarang kakak yang nganterin kamu. Pokoknya cepetan deh, soalnya kakak juga harus datang awal," desaknya yang kemudian berlalu begitu saja.

Dan setelah mandi selesai kemudian sarapan yang hanya di isi oleh aku, kak Daniel dan ibu, kami mulai berangkat. Tadi juga ibu sempat membahas bahwa ayah memang ada tugas tambahan yang membuatnya berangkat begitu pagi.

"Dah maaa.." kak Daniel melambaikan tangan kemudian masuk ke dalam mobil.

"Hati-hati ya sayang..!"

"Iya, maa.." aku mengecup tangan mamaku kemudian menyusul kak Daniel.

Mobil kemudian melesat ke jalanan.

Beberapa saat berlalu aku, hanya sibuk dengan ponsel. Tak ada percakapan, karena sepertinya kak Daniel juga sedang banyak pikiran. Aku turun setelah mobil kami menepi di SMK Nusa Bakti.

Bisa dibilang, ini merupakan salah satu sekolah elite. Fasilitas sangat memadai dan muridnya didominasi oleh orang-orang cerdas. Tempat ini juga merupakan awal kisah cintaku dengan Fian. Lelaki yang awalnya kuanggap sempurna.

Ini adalah hari kelima setelah aku memergokinya. Memang sulit rasanya berpapasan dengan orang yang pernah membuatmu berharap padanya, tapi ia menyia-nyiakan harapan itu. Belum lagi kami sekelas. Setiap momen di mana ia menggodaku, mencandaiku, bukannya membuatku senang. Tapi justru semakin menyakitkan. Karena yang kutahu sikap itu hanya semu belaka. Terpaksa dan tak tulus.

Aku berjalan menuju kelas melewati koridor. Beberapa siswa yang melintas menyapaku. Aku hanya membalas senyum. Tapi kemudian langkahku terhenti saat seseorang menahan lenganku.

"Hey Salwa, baru sampe ya?" sahut sosok itu tersenyum. Ternyata kawan akrabku, Amira.

"Apa tas yang masih kugendong ini belum cukup jelas?" tekanku.

"Iii.. Biasa aja donk, tumben-tumbennya kamu cemberut. Oh iya Salwa, kamu udah denger belum? Sekolah kita kedatangan murid pindahan. Laki sama cewek. Denger-denger sih mereka udah kaya pangeran sama princess gitu. Aku jadi gak sabar ketemu sama yang cowoknya. Menurutmu gimana Salwa? Seganteng apa dia menurut kamu?" tanyanya. Bahkan ia berbicara tanpa menghilangkan ekspresi senyumnya.

"Umm.. Seganteng apa ya?" aku memasang mimik wajah yang sama. "Kayaknya aku lebih suka lihat ketel panci daripada cowok ganteng itu," lanjutku ketus, "Dah ah, pagi-pagi udah halu. Bentar lagi mau bel, aku mau ke kelas." sahutku sambil mulai meninggalkannya. Menyebalkan, sebagai teman baik, seharusnya dia bisa paham kalau sekarang aku sedang tidak mood. Memang sih, aku tidak menceritakan masalahku yang satu itu. Tepatnya belum. Karena cepat atau lambat aku akan mengakhiri hubungan ini.

"Eh Salwa, jangan ninggalin aku donk.." kemudian Amira melangkah cepat menyusulku.

"Kamu kenapa? Kok murung banget. Mana gak kaya biasanya," tanyanya sambil memperbaiki posisi tas.

Aku menatapnya sekilas. Kemudian menggeleng "Gakpapa kok," balasku.

Melihat wajahku yang sama sekali masam, sepertinya Amira tak berniat melanjutkan. Bagus, akhirnya aku bisa merasa damai. Setidaknya untuk dua sampai lima menit ke depan.

Ya, dua atau lima menit ke depan  karena menit berikutnya perasaan damai itu lenyap.

"Eh ada Salwa," sahut sosok itu setelah aku melewati pintu masuk kelas.

Aku hanya tersenyum tipis kemudian segera menaruh tas. Semua dilakukan dengan terburu-buru karena aku akan kembali keluar. Tapi lagi-lagi langkahku tertahan saat sebuah lengan menahan gerakanku, hanya saja tangan itu kini terasa lebih besar. Spontan saja aku menepis gerakan itu dengan sedikit berteriak. Oke, mungkin itu cukup histeris. Tapi aku keluar karena bermaksud menghindarinya. Jadi aku sama sekali tak merasa bersalah.

"Salwa, ini aku. Kamu kenapa kok sensitif gitu? Kamu lagi PMS ya?" tanyanya.

Kamu tu yang PMS!! Pria Muka Sepuluh!!

"Ekhmm.. Aku cuma mau ke toilet kok. Jadi tolong lepasin tangan aku," balasku datar. Dengan canggung akhirnya ia melepaskanku. Kemudian aku pergi meninggalkannya. Bisa kurasakan tatapan prihatin Amira dan keheranan Fian terus mengikutiku. Aku tersenyum. Entah sejak kapan aku menyukai perasaan ini. Perasaan membuat orang lain merasa ada yang kurang tanpa dirimu.

Bel lonceng masuk berbunyi. Detik berikutnya jiwa dan ragaku sudah ada di dalam kelas. Aku mulai mempersiapkan alat tulis, begitu juga Amira - yang juga merupakan teman sebangkuku.

"Kamu kenapa Wa? Kamu bener-bener beda hari ini, cerita donk, aku jadi gak enak tau," pertanyaan yang sama, tapi intonasinya kini lebih terkesan memohon dan prihatin.

Aku membalas tatapan itu, kemudian tersenyum tipis.

"Ra, gimana menurut kamu. Seseorang yang udah ngasih harapan sama kamu, ngasih kamu rasa kenyamanan. Tapi di balik semua itu, ternyata semua yang dia kasih gak lebih dari sekedar memenuhi hasrat dan citranya? Semua bukan dari hatinya yang tulus. Padahal kamu sudah mempercayai dia sepenuh hati. Tapi dia malah memanfaatkan kepercayaan itu, dia meremehkan kamu Ra. Gimana perasaan kamu Ra kalau ada yang ngelakuin itu ke kamu?"

Oke, sepertinya baperku kelewat batas. Tapi terserahlah. Hanya itu yang ada di pikiranku. Sudah 17 tahunpun sepertinya sifat kekanakanku belum bisa hilang.

"Ini soal cowok kamu ya?" tanya Amira. Aku hanya terdiam menatapnya.

Amira menghela nafas "Pantes akhir-akhir ini kamu kelihatan beda gak kaya biasanya. Emang ada apa kamu sama dia? Perasaan hubungan kalian baik- baik aja. Dia juga kelihatannya cowok baik-baik Wa." balasnya.

Ingin sekali aku membantah kalimat terakhir itu dengan nada yang cukup keras. Tapi kehadiran Pak Hardian yang tiba-tiba masuk ke dalam kelas mengurungkan niatku. Seisi kelas yang semula ribut juga sontak terdiam dan bersidekap rapi. Di belakangnya mengikut seorang lelaki berpostur tinggi berkulit putih dengan rambut cepak hitam yang juga mengenakan seragam kelas XII Sains A. Sekilas ia memang sangat tampan. Apa ini murid pindahan yang disebut Amira tadi?.

"Eh, lihat Salwa. Itu yang tadi aku bilang waktu di koridor. Iii.. Ganteng bangetkan? Aku kira dia bakal masuk ke kelas lain," kemudian ia mengatakan beberapa kalimat yang tak lagi kudengar. Amira memang masih di sisiku. Tapi pikiran dan tatapan ku sudah terpaku ke murid pindahan itu.

"Ekhem, anak-anak. Kelas kita kedatangan satu murid baru. Dia pindahan dari salah satu SMK di Bandung. Rian, silahkan perkenalkan diri kamu," tutur pak Hardian.

Bisa kudengar murid lain mulai berbisik setelah pak Hardian menyebutkan nama murid itu. Amira bahkan menyenggol lenganku girang setelah mengetahuinya. Tapi aku terlalu sibuk untuk menanggapi wanita ini. Sibuk mengagumi wajahnya.

Oh sial. Setelah ia memperkenalkan dirinya dan mengatakan ini itu, ia beralih menatapku. Tatapan kami bertemu. Ia tersenyum, dan aku merasakan ada sesuatu yang tumbuh di hatiku.

***

Aku menghembuskan nafas panjang. Sudah waktunya untuk melupakan semua kenangan itu. Meski tak mudah, tapi terus mengenangnya justru membuat situasi semakin rumit. Kini, aku harus bersiap untuk memulai hidup baru. Di sekolah yang entah cocok atau tidak. Walau menurut ayahku, fasilitasnya lengkap dan dominan dengan orang pandai, sesuai dengan kriteria yang kuinginkan. Tapi belum tentu aku akan menyukainya. Yah, setidaknya masa sekolahku tinggal 1 tahun lagi. Aku tahu ini kepalang tanggung. Kenapa harus repot pindah jika sebentar lagi kau akan sampai di garis akhir. Sejujurnya bukan ini masalahku. Bukan masalah setahun atau dua tahun lagi. Ini personalitas dan aku tak punya waktu untuk menceritakannya.

"Den, kita sudah sampai," sahut supirku di depan.

"Oh, ini sekolahnya?" aku memastikan.

"Iya den. Apa saya perlu mengantarkan den Rian ke ruang kepala sekolah?"

"Oh, gak perlu. Tadikan mama minta bapak cepet pulang. Mungkin mama minta dianterin tuh," jawabku.

"Baiklah kalau begitu, den," balasnya. Setelah mengucapkan itu aku segera keluar dan menutup pintu. Mobil perlahan melesat ke jalanan.

Aku berbalik. Tugu SMK Nusa Bakti tampak megah disiram sinar mentari. Ada beberapa gedung sekolah yang semuanya tampak terawat. Ah iya, aku lupa menanyakan letak ruang kepsek. Seorang siswi lewat dan aku mencegatnya.

"Eh, bisa tolong tunjukin saya ruang kepala sekolah?" pintaku.

Alih-alih menjawab, dia malah gelagapan tak berkedip.

"Ee.. Hai.." ucapnya canggung mengangkat sebelah tangan.

"Hai? Oh ya.. Hai juga.." aku membalas sapaannya. Juga dengan canggung "Kamu tau di mana ruang kepala sekolah? Bisa tunjukin saya di mana tempatnya?" ulangku.

"Kepala sekolah? Aku bukan kepala sekolah.. Hehe," lagi-lagi dengan ekspresi yang sama.

Aku menghela nafas. Sepertinya benar apa yang dikatakan ibuku. Percaya deh, orang ganteng kaya kamu pasti banyak yang tergila-gila. Owsh*t, tapi ini bukan waktunya. Aku coba melotot dan mencekram lengannya.

"Denger! Saya murid pindahan di sini. Yang bener aja saya harus keliling setiap gedung cuma buat nyari satu ruangan kecil. Tolong jawab serius! Di mana ruang kepsek!?" volumeku naik satu oktaf.

"Ow.. Murid pindahan, jadi sekarang kamu nyari ruang kepsek? Kenapa baru bilang? ya udah ayo aku tunjukin," balasnya. Ia mengedipkan sebelah mata genit sebelum berbalik menuntunku. Cewek aneh, semoga aja murid yang lain gak seaneh dia.

Tak terasa semua berjalan lancar. Aku tak mau mengingat bagaimana ibu kepala sekolah menatapku dengan cara yang sama dengan cewek tadi. Dan lihatlah sekarang juga, aku berjalan menuju kelas diiringi sorotan mata dari berbagai penjuru. 

Ingin kurasanya berteriak dan membentak mereka semua, tapi itu terlalu pongah untuk ukuran murid pindahan. Aku tak mau profilku yang sudah high menjadi semakin high.

Di depanku berjalan sosok pria separuh baya yang akan menjadi guruku. Hari pertama, seperti biasa, introduce yourself.

"Selamat pagi anak-anak," sapanya.

"Pagiii paaaaak.." jawab mereka serentak.

Oh, ternyata begini isi kelas XII Sains A. Guru masuk pun semua masih tampak berantakan. Menyedihkan.

"Ekhem, anak-anak. Kelas kita kedatangan satu murid baru. Dia pindahan dari salah satu SMK di Bandung. Rian, silahkan perkenalkan diri kamu," pak Hardian kemudian duduk di kursinya.

Aku menatap seisi kelas dan mulai memperkenalkan diriku. Lega rasanya setelah hal itu berakhir. Beberapa murid juga tampak saling berbisik. Pandanganku mengedar mencari di mana calon pemanja bokongku nanti. Tapi, tatapanku terhenti saat melihat sosok yang terpaku menatapku. Oh, dia tampak berbeda dari yang lain. Dan entah sadar atau tidak, aku tersenyum padanya.