"Assalamualaikum mbak Maya,"
Segera aku tinggalkan aktifitas mengulek bumbu didapur. Berjalan dengan segera menuju pintu depan.
"Waalaikumsalam bu." Aku menjawab salam saat membuka pintu.
Ada Bu Sumi yang berdiri diambang pintu dengan membawa sekantong plastik berwarna putih.
"Ini ulih-ulih dari Bu Saida."
(Ulih-ulih=bingkisan dari njagong. Njagong=memberi amplop berisi uang ke orang yang mempunyai acara)
Aku menerima sekantong plastik itu. "Ini ulih-ulih apa ya Buk?"
"Acara selapanan cucunya bu Saida Mbak."
Keningku mengerut. "Lho buk, saya kan nggak njagong. Kok dikasih ulih-ulih?"
"Eh, disana ada catatannya Mbak. Buk Saida juga cerita, seminggu yang lalu mbak Maya njagongnya." Jelas buk Sumi yang semakin membuatku bingung. "Mbak Maya lupa kali. Udah ah, mbak ingat-ingat dulu ya. Saya masih harus ngantar ke rumah yang lainnya. Assalamualaikum mbak." Buk Sumi melangkah menjauh.
"Waalaikumsalam."
Setelah menutup pintu, aku mendekati mas Eros suamiku yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya didalam kamar.
Aku taruh bungkusan plastik putih itu diatas meja, melirik isinya. Beberapa telur ayam sekitar 15 biji.
"Mas, ini aneh lho." Aku duduk disampingnya sambil menepuk lengannya pelan.
"Kenapa dek?" dia letakkan ponsel diatas meja dan menatapku.
"Aku dapat ulih-ulih dari rumahnya buk Saida. Padahal aku nggak njagong kesana mas."
Mas Eros mengeryitkan keningnya heran. "Kamu ingat lagi Dek, mungkin lupa."
"Aku yakin mas. Dia bilang aku kesana seminggu yang lalu. Dan seminggu ini aku masuk kerja dari pagi pulang jam 5. Pulang kerja juga udah sibuk dirumah." Jelasku mengingat aktifitasku selama seminggu ini.
Mas Eros terdiam, sepertinya juga mengingat. "Iya ya. Lalu siapa yang kesana Dek?"
Kejadian seperti ini sudah aku alami 4 kali dan lima kali ini. Padahal aku baru dua bulan tinggal di kampung ini. Dulu aku tinggal di Jakarta bersama suamiku. Karna mbak Irma, kakak kandung mas Eros pergi untuk bekerja di Surabaya, mas Eros mengajakku pindah untuk mengurus ibuknya. Ibuk mertuaku sakit komplikasi, banyak pantangan makanan yang harus dia jauhi.
"Mas, ini udah yang kelima kita begini. Aku nggak njagong tapi dibilang njagong. Sekarang gimana mas? Kita balikin lagi aja ya telurnya." Usulku. Masa' iya, aku nggak ngasih uang njagong tapi dapat ulih-ulihnya. Kasian yang punya rumah.
"Percuma Dek, mereka nggak mau. Disana ada tulisannya kalau kamu datang. Sudah biarlah." Mas Eros kembali sibuk dengan ponselnya.
Aku membawa seplastik telur itu kedapur. Mulai sibuk memasak, karna ini sudah pukul 5 sore. Ibuk mertua harus meminum obat tepat waktu.
Saat sedang sibuk mengaduk sayur di atas kompor, aku melihat seklebet bayangan masuk ke kamar mandi. Seseorang yang menggunakan baju batik. Lalu pintu itu tertutup. Segera aku menoleh, kamar mandi masih gelap. Itu artinya tidak ada orang didalamnya, pintunya pun terbuka sedikit.
Siapa ya? Apa mas Eros yang masuk? Atau Adam?
Karna penasaran, aku mematikan kompor dan berjalan memeriksa pintu itu. Dengan dada yang berdebar, nyali yang tiba-tiba menciut. Aku meremas tanganku berkali-kali untuk menghilangkan rasa takut. Kubuka pintu kamar mandi pelan. Dan...kosong, tak ada siapapun.
Tapi tadi jelas aku melihat bayangan itu. Aahh sudahlah, mungkin mas Eros, tapi sudah keluar.
Aku mengambilkan makan untuk mertuaku. Mengantarkan kekamar serta minum sekalian. Setelah itu beranjak keluar rumah untuk membeli kerupuk diwarung sebelah.
Baru aja buka pintu depan, sudah liat Adam dan Mas Eros sibuk benerin sepeda.
"Mas, kamu tadi abis dari kamar mandi?" tanyaku saat ada didekat mereka.
"Enggak Dek, dari tadi benerin sepedanya Adam belum juga kelar." Jawabnya tanpa melihatku.
Aku kembali heran. Lalu, siapa yang tadi ke kamar mandi ya?
"Mama kenapa sih?" tanya Adam yang penasaran.
"Nggak papa sih. Mama mau beli krupuk dulu ya."
Aku berjalan meninggalkan rumah. Melewati dua rumah tetangga, dan sampailah diwarung bu Saida.
"Buk, beli krupuk." Ucapku sedikit berteriak. Karna tidak melihat penjualnya didalam warung.
Beberapa menit kemudian, bu Saida muncul dari dalam rumahnya. "Eh mbak Maya, krupuknya berapa Mbak?" tanyanya.
"Lima ribu saja buk."
Dia mulai sibuk mengambilkan kerupuk.
"Mbak, udah baikan sama suami?" tanyanya tiba-tiba.
"Hah??" aku kaget dan tak mengerti dengan pertanyaannya. "Maksudnya gimana buk?"
"Mbak Maya baru bertengkar sama suami kan?" aku kembali mengerutkan dahiku. "Semalam suami saya liat mbak Maya nangis diteras rumah. Sendirian. Pengen disamperin, tapi takut ada fitnah yang lain. Suami saya milih pergi." Lanjutnya.
Tiba-tiba bulukudukku berdiri semua. Aku merasa ini semakin aneh. Aku belum pernah sekalipun menangis selama tinggal disini. Apalagi malam -malam duduk diteras rumah. Aku nggak akan berani.
"Maaf buk, kemarin kok saya dikasih ulih-ulih ya? Padahal saya nggak njagong lho." Saking penasarannya, aku beranikan bertanya pada yang bersangkutan secara langsung.
"Eh, mbak Maya lupa ya? Hari kamis kemarin kesininya. Jam setengah enam sebelum magrib." Jawabnya yang semakin membuatku takut.
"Padahal hari kamis itu saya pergi sekeluarga lho buk. Makan di luar, sama Adam juga."
"Masa' sih mbak?"
"Ibuk yakin yang kesini itu saya?" tanyaku lagi untuk memastikan.
"Yakin banget mbak. Itu memang mbak Maya. Saya yang nemenin mbak Maya, mbak Maya pakai baju batik, rambutnya dibiarkan terurai." Jelasnya dengan sangat yakin.
Aku kembali merinding. Kok ini mirip yang tadi masuk ke kamar mandi ya? Jangan-jangan.....
"Buk, masih ingat nggak pas saya datang itu, kita ngobrolin apa aja?"
"Saya yang banyak ngomong. Mbak Maya saya ajakin ngomong nggak terlalu nanggapi. Cuma senyum aja." Jelasnya dengan kesal.
"Buk, saya bener nggak njagong ke rumah ibuk. Dan ini untuk yang ke lima kali ada orang ngasih saya ulih-ulih. Padahal saya nggak datang lho Buk." Jelasku meyakinkan.
Tiba-tiba bu Saida mendekatiku. "Mbak, kok saya jadi merinding ya. Jangan-jangan itu penunggu yang ada dirumahnya bu Siti." Bu Siti itu nama ibu mertuaku.
"Penunggu?" aku meyakinkan yang kudengar.
"Iya. Dulu ya mbak, tiap ada yang melamar mbak Irma, pasti selalu ditolak. Yang nolak ya mbak Irma sendiri. Padahal mbak Irma sendiri belum pernah ketemu sama yang mau melamar itu. Mbak Irma sering cerita ke saya lho mbak."
"Ah masa' si buk?" jujur, kali ini tengkukku terasa seperti ada yang meniupnya. Pori-pori berdiri semua, rasa dingin hampir menusuk tulang.
"Iya mbak. Makanya mbak Irma milih pergi merantau. Penunggu rumah joglonya bu Siti itu suka jelma jadi penghuni rumahnya." Bu Saida memegangi tengkuknya. Sepertinya dia merasakan takut seperti yang aku rasakan. "Ini krupuknya mbak. Saya jadi merinding ini."
Aku menerima seplastik krupuk dan menyerahkan uang lima ribuan.
"Makasih ya Buk, saya pamit dulu."
Berjalan pulang dengan penasaran yang mendalam. Ya gimana aku nggak penasaran, ada makhluk gaib yang katanya penunggu rumah. Parahnya itu makhluk suka ikut campur urusan manusia.
Aku pandangi bentuk rumah mertuaku sebelum aku melangkah masuk kedalam.
Memang ini rumah joglo dengan full dinding kayu berplitur. Semuanya masih sangat alami, dibagian depan terasnya selebar dua meter dan ada dua bangku kecil serta dua undakan tangga saat menuju teras rumah.
Isi didalam rumah, ada beberapa patung kecil dari kayu disudut rumah, ada satu keris yang tercantel diruang tamu. Mungkin itu keris pajangan. Bagian atas, atapnya dari tanah liat dan kayu-kayu yang berjajar rapi semua ada ukiran ukirannya.
Bulu kuduk kembali berdiri. Segera kututup pintu depan. Aku kembali melangkah menuju meja makan. Menyiapkan makan malam untuk suami dan anakku.
~~
Selesai shalat isya' aku duduk selonjoran didepan tv. Suamiku tiduran dipangkuanku. Menonton acara tv yang itu-itu saja.
"Mas, aku mau cerita." Aku berniat menceritakan yang aku dengar dari bu Saida.
"Cerita apa dek?"
"Tadi....."
Tok...tok...tok
"Assalamualaikum." Suara seorang laki-laki diluar rumah. Belum juga cerita, sudah ada tamu didepan.
"Waalaikumsalam." Jawabku cepat.
Suamiku bangun, akupun beranjak membukakan pintu.
Kriieett....
Suara pintu depan yang terbuat dari kayu jati, saking lamanya sampai selalu bersuara saat dibuka.
Pak Sidik, berdiri diambang pintu, dengan sarung yang dikalungkan dilehernya. Tangannya membawa senter. Aku sudah mempunyai firasat buruk.
"Mas Erosnya ada mbak?" tanyanya sambil tersenyum.
"Ada pak. Ada perlu apa ya?"
"Eh, pak Sidik, ada apa pak?" mas Eros sudah berdiri dibelakangku.
"gini mas, pak Imron nggak bisa ngeronda malam ini. Anaknya baru sakit. Mas Eros keberatan nggak kalau nemenin saya ngeronda? Saya takut kalau Cuma sendirian mas."
Aahhh pasti mau, padahal aku baru takut dirumah sendirian.
"Oh, baik pak. Saya ambil jaket dulu ya." Tuh kan jawabannya udah pasti nggak bakalan nolak.
Mas Eros berjalan menuju kamar, ngambil jaket dan sarungnya. Aku mengikutinya dibelakang.
Aku duduk ditepi ranjang. "Mas, aku takut dirumah sendirian. Nggak usah ngeronda ya." Rengekku.
Dia malah senyum. "Dek, kamu ini lho kaya' anak kecil. Dirumah ada Adam dan Ibuk. Kamu bobok aja sama Adam, nanti kalau aku pulang, aku bangunin."
Perasaanku benar-benar nggak nyaman banget. Mendengar cerita dari buk Saida tadi, membuat rasa takutku makin nambah.
"Mas, aku serius lho ini."
"Kasian lho dek pak Sidik. Masa' aku tega biarin dia ngeronda sendirian." Mas Eros mencium keningku. "Aku pergi dulu ya."
~~
Seperginya mas Eros, aku mematikan tv dan mulai merebahkan tubuh di kamar. Sibuk dengan ponsel, berselancar di dunia maya. Komen-komenan sama teman kerja dulu. Sekitar jam 10 malam, aku mulai merasa ngantuk. Kutaruh ponsel diatas nakas, mulai menarik selimut. Baru saja memejamkan mata sekitar 5 menit, aku melihat bayangan seorang wanita dengan wajah yang cantik tapi putih pucat. Dia memakai baju batik dan rambutnya terurai. Dia menyeringai melangkah kearahku. Mulai menunjukkan kuku panjang yang berwarna hitam.
Seketika, tubuhku seperti terikat. Aku tak bisa bergerak, hanya bisa mengedipkan mata tanpa henti. Sekuat tenaga mencoba berteriak memanggil Adam yang kamarnya ada disebelah kamarku. Nihil, suaraku hilang. Aku membaca doa yang saat ini melintas dikepalaku. Membaca Alfatihah beberapa kali, namun makhluk itu tak juga pergi. Serasa frustasi, jantuku terasa sangat berat. Mulai kehabisan nafas. Terlintas surah Yasin yang aku hafal, tapi memang tak semuanya. Aku membacanya sehafalku. Saat sampai ayat ke empat, makhluk itu menghilang dan aku bisa menggerakkan tanganku.
Aku bangun, mulai mengatur nafasku yang hampir pergi. Membawa selimut dan keluar kamar, membuka kamar Adam yang memang sudah sedikit terbuka.
"Dam, mama boleh masuk?" tanyaku. Dia masih sibuk dimeja belajar.
Adam menatapku. "Masuk aja ma." Dia kembali sibuk dengan bukunya.
Aku masuk dan kembali menutup pintu. Duduk ditepi ranjang. "Mama boleh kan ikut tidur disini dulu."
Adam mengerutkan keningnya. "Boleh ma. Emang papa kemana?"
"Papa ngeronda."
"Mama takut ya dikamar sendirian?"
Aku hanya nyengir dan merebahkan tubuhku. Adam nggak boleh tau tentang kejadian aneh dirumah ini. Aku nggak mau kalo dia merasa takut nantinya.
"Kamu masih lama ya?" udah malam anakku masih saja sibuk belajar. Dia memang sangat memikirkan nilai ujiannya.
"Bentar lagi ma."
"Mama tidur duluan ya."
"Iya."
Aku mulai merem dan pergi kealam mimpi.
~~
Pukul 5.00am
Semalam aku benar-benar tidur dikamar Adam. Sejenak kupandangi wajah anakku yang sudah berumur 13tahun ini. Nggak kerasa dia sudah mau remaja. Aku mencium pelan keningnya dan beranjak keluar kamar. Langsung kekamar mandi mengambil wudhu dan menunaikan dua rakaat.
Kulihat mas Eros masih terlelap diatas ranjang, bahkan wajahnya terlihat sangat kelelahan.
Lho, ini mas Eros tidur nggak pakai baju? Padahal semalam itu dingin lho. Dia kok Cuma pakai celana kolor aja.
Tak ku hiraukan itu, aku bergegas kedapur karna harus membuat sarapan untuk semuanya.
Pukul 6.00 mas Eros bangun, dia mengeliat. Memandangi aku yang sibuk ngulek di samping kompor.
"masak apa hari ini dek?" tanyanya, dia mendekatiku.
"Ini bikin prekedel tempe buat ibuk mas. Ibuk kan giginya udah nggak bisa makan tempe goreng."
Mas Eros melingkarkan tangan diperutku, dia masih dengan tubuh polosnya. Nggak biasanya dia begini.
"Dek, kamu minum jamu apa?" bisiknya tepat ditelingaku.
"Jamu?" aku terdiam mencari maksud mas Eros.
"Semalam mainmu buas banget. Aku sangat kewalahan. Tapi aku suka, kamu sangat memuaskan."
Aku tercengang. Mataku membulat. Segera berbalik kearahnya. "Mas, kamu ngomongin apa?"
"Lihat nih, sekarang tubuhku lemes banget dek."
"Lemes kenapa mas?" memang sekarang mas Eros kelihatan lemas dan agak pucat.
"Ya karna melayanimu semalam."