Tujuh

*

*

*

*

Happy Reading

Han tergelak-gelak seraya memegangi perutnya. Anna yang memandanginya dengan wajah kesal. Johan dan Mey kembali dengan wajah kebingungan.

"Apa? Apa? Kenapa Tuan Han menjadi seperti itu?" Tanya Johan dengan penasaran menghampiri Anna dan Han yang tertawa.

Anna memandang Mey dan Johan dengan wajah serius. "Menurut kalian, apa aku terlihat seperti orang yang mudah mati?" Tanya Anna.

Mey dan Johan saling pandang. Mereka berdua dengan wajah kebingungan memandangi nona mudanya. Wajah Anna yang menasaran membuat mereka bingung dengan pertanyaan aneh yang terlontar.

Han menghentikan kegiatan tertawanya dan mengembuskan napas dengan pelan. "Jangan paksa diri kalian untuk menjawab pertanyaan aneh nona muda." Sahut Han seraya tersenyum. Siraman air teh membasahi wajah dan pakaiannya. Senyuman Han tidak memudar sedikit pun.

Mey dan Johan memandangi Han dengan wajah terkejut dan khawatir. Anna yang kesal kembali meletakkan cangkir kosong di atas piring cangkir. Dengan wajah kesal Anna pergi meninggalkan para pelayannya. "Nona muda cukup mengerikan jika marah." Gumam Han seraya tertawa lirih.

...

Anna melipat kedua tangannya di depan dada. Han berkonsentrasi menyetir. Sesekali dia melirik Anna dan tertawa kecil. Anna memandang kesal ke luar jendela. Mendengar suara Han yang tertawa membuat Anna semakin kesal.

"Nona muda, jika terus menerus menekuk wajah anda, keriput akan muncul lebih cepat. Anda tidak ingin hal tersebut terjadi, bukan?" lontar Han dengan wajah menahan tawa. Anna menghembuskan napas dengan berat. "Nona muda, apakah anda sudah selesai membacanya, First Love?" Tanya Han.

"Belum. Kenapa kau menanyakan hal itu?" Tanya Anna dengan tenang.

"Saya sempat meminjamnya sebentar. Isinya cukup menarik. Saya menyarankan anda segera membacanya." Jawab Han.

Anna bergidik ngeri. "Mengingat kau yang menyarankannya, ini membuatku merinding. Pasti ada istilah atau pun hal yang tidak aku mengerti." Tebak Anna.

Hanya hanya tertawa lirih. "Anda benar. Kapan anda akan membacanya?" Tanya Han. Anna tidak menjawabnya. Dia menompang dagu dan pandangannya pada keluar jendela tidak terentrupsi.

Anna keluar dari mobil setelah setelah Han membukakannya pintu dan mengulurkan tangannya. Banyak orang yang mengenakan setelan dan gaun hitam. Beberapa polisi juga berjaga di sekitar tempat tersebut.

Anna mengedarkan pandangannya. "Apa ini? Bukankah seharusnya mereka mengamankan tempat kejadian?" tanyanya dengan wajah kebingungan. Sebuah tangan melingkar di pinggulnya membuatnya tersentak.

Seorang laki-laki bertubuh jangkung, bermata hijau tajam, rambut hitam yang di tarik ke belakang dengan membiarkan beberapa helainya terjatuh, dan bibirnya tidak lepas dari pipa rokok cangklong. Mengenakan setelan jas hitam, dan kemeja putih serta dasi kupu-kupu menghiasi lehernya.

Tangan kanannya melingkar di pinggul Anna, tangan kirinya mengambil pipa rokok cangklongnya, dan mengeluarkan asap putih dari dalam bibirnya. "Nyonya Baker meminta agar mayat suaminya segera di kebumikan. Saya sudah dengar kalau anda bertemu dengannya beberapa jam sebelum terbunuh. Sayang sekali saya tidak tertarik apa yang kalian bicarakan. Mari masuk bersama, Nona Anna Holmes." Paparnya dengan santai dan menekuk bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. "Tuan Pelayan, Saya pinjam gadis cantik ini." imbuhnya seraya menarik tubuh Anna.

Anna yang sedikit kebingungan hanya menurutinya. "Tu-tunggu! Apa yang anda lakukan di sini, Tuan Koby Harris?" Tanyanya. Han hanya menatap dingin kedua orang tersebut dan mengekorinya.

"Saya hanya ingin memeriksa beberapa tempat. Seorang pembunuh tidak mungkin membiarkan alatnya jauh dari jangkauan. Seperti dugaan kita, dia pasti orang terdekat dengan korban dan yang perlu kita cari tahu adalah motif di balik pembunuhan itu." ujar Koby Harris dengan santai memandangi sekitar.

"Baiklah. Kita lakukan dalam waktu kurang dari tiga puluh menit." Ajak Anna seraya tersenyum.

Koby membalasnya dengan senyuman. "Anda memang yang terburuk." Desisnya. Koby melirik Anna yang mulai menyetel waktu di arloji yang menjadi liontin kalungnya. "Dari semua perempuan yang saya kenal. Kenapa anda begitu senang menyiksa orang lain?" Tanya Koby.

"Benarkah itu? Kita mulai sekarang." Anna mendorong Koby menjauh darinya dan mulai berbaur dengan beberapa orang perempuan yang membentuk lingkaran.

"Tiga puluh menit sangatlah singkat. Lebih baik aku menyapa nyonya rumah." Rancau Koby pada dirinya sendiri dengan semangat. Dia memperbaiki jasnya setelah mengeluarkan abu dari pipa rokok dan menyimpannya di saku di balik jas yang dia pakai.

Han dengan tatapan dingin memperhatikan Koby yang perlahan mendekati seorang perempuan yang duduk sendiri di dekat peti mati. Pandangannya perlahan mengarah ke Anna yang sedang berbincang dengan beberapa orang perempuan.

Han perlahan mendekati Anna. Anna segera memisahkan diri dari orang-orang tersebut dan menghampiri Han. Anna membisikkan beberapa kata seraya berjalan beriringan dengan Han. Han membalasnya dengan jawaban dingin dan memisahkan diri dari Anna. Anna meliriknya sekilas, menghela napas, dan menghampiri Koby yang tengah bersama seorang perempuan.

"Nyonya Baker, saya turut berduka atas kematian suami anda." Anna duduk di sebelah seorang perempuan dengan usia berkisar tiga puluhan, bertubuh ramping, mengenakan gaun hitam, rambut hitam kemerahan membentuk sanggul di belakang kepala sebelah atas, dan wajahnya memancarkan kesedihan yang sangat dalam.

Perempuan itu perlahan mengangkat kepalanya dan memandangi Anna seraya tersenyum. "Terima kasih. Siapa anda?" tanyanya dengan wajah kebingungan. Wajah penuh kesedihan tidak lepas darinya. Matanya sangat sayu dan bengkak.

Anna hanya tersenyum dan mengelus lembut punggung perempuan itu. "Saya adalah Anna Holmes. Beberapa kali saya bertemu dengan Tuan Baker untuk urusan pekerjaan." Jawab Anna. Nyonya Baker hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menunduk.

"Suami saya pernah bercerita mengenai anda. Seorang gadis muda yang berbakat dalam bisnis dan dia berharap bisa bekerja sama dengannya. Itulah yang dia katakan saat bisnisnya meranjak naik. Saat makan malam, dia dengan semangat mengumumkannya pada seluruh penghuni rumah."

"Maaf menyela, Nyonya. Siapa saja yang berada di ruang makan selama makan malam?" sela Koby dengan wajah penasaran.

"Suami saya; anak perempuan saya, Marie; anak laki-laki saya, Brandon; dan saya sendiri. Hanya kami berempat." Jawab Nyonya Baker.

Koby memandangi Anna. Anna yang memandang balik Koby hanya menganggukkan kepala seraya mengelus lembut perempuan tersebut. Koby dan Anna memandangi seorang laki-laki muda dengan umur setara dengan Anna, bertubuh jangkung, rambut hitam kemerahan sedikit berantakan, mengenakan setelan jas hitam memandangi ibunya dengan tatapan iba. Matanya yang sayu dan wajah yang terlihat sedih namun, berusaha untuk tetap tegar. Di belakangnya ada seorang laki-laki paruh baya yang berjalan dibantu dengan sebuah tongkat berwarna hitam dengan ujung pangkalnya berbentuk bulat dan berlapis emas.

"Ibu, Paman Alex datang." Ujar laki-laki muda tersebut.

Nyonya Baker memandangi laki-laki paruh baya tersebut dengan tatapan sayu. Dia mencoba berdiri dan Anna membantunya. Mata penuh penyesalan terpancar dari Nyonya Baker. "Alex, maafkan aku. Jhon sudah ... Jhon ...." Sesalnya saat berdiri di hadapan laki-laki itu. Air mata yang terkuras perlahan muncul kembali.

"Eli, kau sudah melakukan yang terbaik. Tidak ada yang bisa dilakukan jika dia terbunuh. Bolehkah aku melihatnya?" tanyanya dengan tenang. Suaranya cukup berat namun, setiap katanya seolah memiliki makna tersembunyi. Nyonya Baker menghapus air matanya seraya menganggukkan kepala.

Laki-laki bernama Alex berjalan melewati Nyonya Baker dan Anna. Nyonya Baker berbalik dan mengikutinya dari belakang. "Saudaraku, siapa menyangka kita akan berpisah dengan cepat. Aku akan membantu Brandon untuk melanjutkan perusahaanmu." Ujar Alex yang telah berdiri di dekat peti mati yang belum tertutup. "Kapan gereja akan melakukan pemakamannya?" tanyanya.

"Sebentar lagi mereka akan datang. Ibu memintanya datang sore hari dan pemakanan dilakukan setelahnya." Jawab Brandon dengan suara seraknya.

Brandon menghampiri ibunya. Anna yang menyadarinya hanya tersenyum dan melepaskan tangannya dari Nyonya Baker. Koby hanya terdiam dan memandangi orang di sekitarnya dengan tatapan iba. Merasa dirinya tidak dibutuhkan, segera dia pergi. Anna yang masih berdiri di dekat Nyonya Baker dan Han berdiri sedikit menjauh dari mereka.

...

Anna dan Koby mengikuti seluruh sesi pemakanan setelah lima belas menit pihak gereja datang untuk membawa peti mati Tuan Holan Baker. Selama lima belas menit tersebut, Koby memisahkan diri dari Anna.

Anna hanya berdiri di sekitar Nyonya Baker dan Tuan Alex memperhatikan setiap gerak orang-orang tersebut. Anak perempuannya, Marie, berada di tempat lain di dalam rumah dan sedang mengobrol dengan beberapa tamu. Dia terlihat tidak ingin membiarkan dirinya sendiri larut dalam kesedihan, berbeda dengan ibu dan saudara laki-lakinya.

Anna hanya berpikir, mungkin inilah kekuatan DNA. DNA sang ibu akan lebih mendominasi pada anak laki-laki daripada anak perempuannya. Sedangkan, DNA sang ayah akan lebih mendominasi pada anak perempuan daripada anak laki-lakinya. "Aku tidak bisa mengingat seperti apa ayahku dulu." gumamnya pada diri sendiri.

"Tenang saja. Saya akan memberikan ingatan yang lebih baik daripada itu." bisik seseorang di telinga kanan Anna. Anna segera menoleh dan mendapatkan wajah Han dekat dengan wajahnya. Hidung Anna menyentuh pipi Han. "Apakah tawaran saya diterima?" Tanya Han tanpa memindah posisinya.

Kerutan kesal muncul di dahi Anna. Tangan kanannya yang terdekat mencubit perut Han dengan keras. Namun, Han masih tenang seolah tidak merasakan rasa sakit. "Nona muda, tidak baik untuk terus marah. Ini sungguh menyakiti saya." Protes Han. Anna melepaskan cubitannya dan mendorong Han dengan kasar.

Anna kembali memperhatikan keluarga Baker yang tidak lengkap tersebut. "Anak perempuan Keluarga Baker tidak dekat dengan ibunya. Oleh karena itu, dia memilih untuk melayani para tamu. Lihatlah, nona muda!" Han memberikan isyarat pada Anna untuk memperhatikan sesuatu.

Pandangan Anna teralih satu tempat ke tempat lain selama dua kali seolah memastikan sesuatu. "Saya merasakan sesuatu hal lain. Beberapa tamu mengatakan kalau sang anak perempuan sedikit membenci ibunya sejak kecil dan tidak diketahui alasannya. Sang anak perempuan lebih dekat dengan sang ayah dan anak laki-laki lebih dekat dengan sang ibu. Anak perempuannya lebih pintar dalam bisnis dan hal tersebut membuatnya memungkinkan akan meneruskan perusahaan ayahnya.

Akan tetapi, beberapa bulan yang lalu anak laki-lakinya mulai mencoba bekerja di perusahaan ayahnya. Saya rasa ini terkait dengan harta warisan. Sang ibu lebih memihak anak laki-laki dan sang ayah memihak pada anak perempuannya. Beberapa tahun terakhir semenjak anda menginjak dunia bisnis, ini menginspirasi para perempuan untuk memulai pekerjaan mandiri dan tidak bergantung pada penghasilan sang suami. Meski hal tersebut banyak pihak pro dan kontra." Jelas Han. Anna melipat kedua tangannya dan menghela napas berat.

"Saya lanjutkan. Selama perusahaan tersebut di bawah kendali sang ayah dan anak perempuan, keberuntungan selalu berada di atas. Akan tetapi, setelah anak laki-laki itu masuk ke dalam perusahaan, keadaan perlahan berubah. Tepat saat itu anda meminta saya untuk menyelidiki perusahaan beliau yang bisa berkembang lebih baik mengalami sebuah kemunduran.

Selain itu, beberapa orang mengatakan bahwa hubungan persaudaraan Tuan Baker memiliki sedikit masalah yang tidak bisa dijelaskan. Hubungan mereka renggang setelah anak laki-lakinya lahir dan baru beberapa bulan ini hubungan mereka kembali membaik." Jelas Han lagi.

Seorang perempuan dengan rambut hitam memakai gaun hitam menghampiri Anna dan Han. "Nona Holmes, apakah anda memiliki waktu untuk bertemu dengan saya besok di panti asuhan milik ayah?" tanyanya. Wajahnya tidak menunjukkan kesedihan namun, matanya berbicara seolah dunianya telah runtuh.

Anna berdiri lebih tegak dan terseyum. "Apa ada yang ingin anda bicarakan, Nona Marie? Jika anda mau, kita bisa membicarakannya di sana maupun di sini untuk membahas kerja sama kita untuk ke depannya. Bagaimana?" Tanya Anna dengan tenang. Marie hanya menatapnya dengan tatapan memohon. Anna menghela napas. "Saya tahu tempat yang bagus untuk kita bicara." Ucap Anna seraya melangkahkan kaki kanan untuk mendekat ke Marie. Bahu kiri Anna hampir menyentuh bahu kiri Marie yang berada di kanan dari sudut pandang Anna. "Anda bisa membicarakan semuanya di tempat tersebut." Bisik Anna seraya memberikan sebuah kertas pada tangan kiri Marie.

Marie menerima kertas tersebut dan mundur selangkah dari Anna. Dia memandangi kertas tersebut yang berbentuk seperti kartu nama dengan nama Koby Harris. "Dia adalah salah satu orang yang bisa kita percaya. Anda tidak perlu khawatir." Ujar Anna seraya tersenyum.

"Saya mempercayai anda, Nona Holmes."